KABARBURSA.COM – Rencana akuisisi PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) atau Gojek oleh Grab yang berbasis di Singapura, dinilai belum menemui kejelasan karena berbagai dinamika strategis dan kehati-hatian dari pemerintah.
Pengamat pasar modal Ibrahim Assuaibi menilai sikap pemerintah cukup tepat dan strategis dalam mengantisipasi potensi risiko dari akuisisi tersebut terhadap konsumen, karyawan, hingga stabilitas pasar kerja nasional.
“Memang pemerintah sudah ketakutan kalau akuisisi ini nanti membuat kendali terhadap Gojek sepenuhnya beralih ke entitas asing, dalam hal ini Grab dari Singapura,” kata Ibrahim kepada Kabarbursa.com melalui telepon pada Senin, 23 Juni 2025.
“Kekhawatiran itu wajar, karena begitu mayoritas saham dikuasai asing, maka arah kebijakan dan teknis operasional perusahaan pasti akan mengikuti kepentingan pemilik mayoritas," tambah dia.
Menurutnya, dalam banyak kasus, setelah suatu entitas lokal diakuisisi asing, perubahan struktur manajemen hingga kebijakan kerja akan menyesuaikan dengan visi pemegang saham baru.
“Jam kerja, skema komisi, aturan bonus, semua bisa berubah. Ini yang menjadi keresahan pemerintah dan masyarakat, terutama para mitra driver Gojek,” lanjut Ibrahim.
Ia menyebutkan bahwa pemerintah telah menunjukkan langkah yang cukup strategis dengan mulai menyuarakan keharusan adanya kesepakatan awal sebelum proses akuisisi berlangsung.
“Pemerintah cukup cerdik. Mereka mendorong agar ada perjanjian pra-akuisisi. Bukan sekadar penjajakan, tapi semacam pra-nikah, di mana masing-masing pihak menyepakati dulu poin-poin yang akan dijaga, terutama menyangkut perlindungan tenaga kerja dan konsumen," ucap dia.
Ibrahim juga mengingatkan bahwa pemerintah memiliki alasan kuat untuk mengawal proses ini secara ketat. Menurutnya, Gojek bukan sekadar perusahaan teknologi, tapi juga salah satu penopang lapangan kerja informal terbesar, terutama di wilayah perkotaan seperti Jakarta.
“Gojek itu menopang sekitar 20 persen pasar transportasi daring di DKI Jakarta. Ada ratusan ribu orang yang menggantungkan hidup dari sistem ini. Kalau akuisisi ini tidak disiapkan dengan matang, lalu terjadi perubahan besar dalam model bisnis, bisa jadi banyak driver yang keluar. Artinya, pengangguran akan bertambah,” ujarnya.
Ibrahim juga menyoroti bahwa status driver Gojek yang tidak menerima gaji pokok sebenarnya menjadi titik kritis dalam perdebatan status ketenagakerjaan.
“Selama ini pemerintah masih menganggap mereka bekerja karena ada penghasilan tetap, meski tanpa gaji pokok. Tapi kalau aturan main berubah dan driver banyak yang cabut, kita bisa melihat lonjakan angka pengangguran yang cukup signifikan di statistik," tutur dia,
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya MOU atau nota kesepahaman sebelum proses akuisisi dilanjutkan.
“Harus ada kesepakatan yang jelas bahwa tidak boleh ada pemotongan yang memberatkan mitra, atau penggantian skema kerja sepihak. Pemerintah juga tidak menginginkan Grab menguasai 100 persen Gojek. Kalau begitu, pusat kendali akan berpindah total ke Singapura, dan ini berbahaya untuk kedaulatan ekonomi digital nasional," ujar dia.
Ibrahim mengungkapkan bahwa akuisisi ini kemungkinan tertahan bukan hanya karena faktor domestik, tetapi juga karena tekanan geopolitik global.
“Dampak geopolitik, khususnya di Timur Tengah, membuat dunia perbankan lebih hati-hati dalam menyalurkan dana. Kami tahu bahwa baik Gojek maupun Grab selama ini mengandalkan pendanaan bank, dan dalam situasi global seperti sekarang, pencairan dana akan lebih selektif,” katanya.
Ia menambahkan bahwa instabilitas seperti serangan di wilayah Iran oleh Amerika Serikat dan eskalasi di kawasan Teluk Persia akan berimbas pada arus modal dan perbankan internasional. Perbankan menurut dia sekarang sangat berhati-hati. Mereka tidak akan sembarangan membiayai aksi korporasi skala besar jika geopolitik sedang bergejolak.
Ibrahim mendesak agar pemerintah berani menegakkan syarat-syarat proteksi domestik dalam aksi korporasi lintas negara seperti ini.
Rencana akuisisi Grab kembali menjadi perbincangan hangat setelah munculnya laporan bahwa proses merger yang diperkirakan senilai USD7 miliar tengah tertahan oleh sejumlah hambatan regulasi.
Meski pihak GOTO telah kembali menegaskan tidak ada informasi atau fakta material baru, para pengamat menilai kewaspadaan pemerintah dalam mengawal isu ini sangat krusial untuk menjaga kepentingan nasional.
Seperti diberitakan sebelumnya, GOTO dalam keterbukaan informasi terbaru tanggal 9 Juni 2025 kembali menegaskan bahwa tidak ada perkembangan baru atau fakta material terkait isu merger dengan Grab. Pernyataan ini menjadi klarifikasi keempat sejak Februari 2025 atas rumor yang berulang muncul di media dan pasar.
Dalam surat yang ditujukan ke OJK dan BEI, Sekretaris Perusahaan GOTO, R.A Koesoemohadiani, menyatakan: “Sampai dengan tanggal keterbukaan ini, tidak ada perubahan informasi terkait Perseroan.”
Ia juga menambahkan bahwa rumor tersebut tidak berdampak negatif terhadap operasional GOTO, yang tetap berjalan normal.
Meski demikian, tekanan dari publik dan pemerintah terus meningkat. Pada Mei 2025, ratusan pengemudi ojek daring melakukan unjuk rasa di sejumlah kota besar menolak kemungkinan merger. Mereka khawatir gabungan dua raksasa teknologi akan memperkecil ruang persaingan dan memperburuk insentif yang selama ini menjadi sumber penghasilan utama.
“Kalau dua perusahaan besar ini bergabung, kami khawatir tidak punya pilihan. Tarif bisa dipaksa turun, insentif dikurangi,” ujar salah satu pengemudi saat aksi di Jakarta.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, juga menyuarakan kekhawatiran terhadap kepemilikan asing dalam perusahaan digital nasional. Ia menyebut bahwa GOTO seharusnya tetap menjadi perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki investor domestik.
“Kami ingin ekonomi digital nasional dikendalikan anak bangsa,” katanya.
Menurut laporan tahunan 2024, sekitar 73,9 persen saham GOTO dikuasai investor asing, dengan dua pemegang saham utama yakni SoftBank (7,65 persen) dan Alibaba melalui Taobao (7,43 persen).
Sebagai catatan, Grab baru saja menerbitkan obligasi konversi senilai USD1,5 miliar, yang diyakini akan digunakan untuk ekspansi dan potensi akuisisi di Asia Tenggara. (*)