Militer Israel mengklaim telah meluncurkan "serangan terarah" terhadap milisi Hamas di Rafah timur, menyusul instruksi evakuasi yang ditujukan kepada warga sipil di daerah tersebut. Serangan ini memicu balasan dari milisi Gaza, yang menembakkan roket ke wilayah selatan Israel.
Operasi militer Israel ini berlangsung setelah Hamas menyetujui perjanjian gencatan senjata, yang kemudian ditolak oleh Israel karena dianggap “jauh dari memenuhi tuntutan mereka.” Meskipun belum jelas detail kesepakatan tersebut, diperkirakan mencakup pembebasan warga Israel yang disandera oleh Hamas dan pemulangan warga Palestina ke Gaza.
Sebelumnya, Israel telah mendesak sekitar 100.000 warga Palestina untuk meninggalkan Rafah timur sebelum operasi militer “terbatas” dimulai. Tentara Israel menegaskan bahwa ini bukan evakuasi massal, dan pengungsi akan diarahkan ke kota tenda di Khan Younis dan al-Mawasi.
Serangan tersebut menandai eskalasi terbaru sejak pertempuran dimulai pada 7 Oktober, ketika pejuang Hamas menyerbu Israel selatan, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 252 orang. Sejak itu, lebih dari 34.700 orang dilaporkan tewas di Gaza, menurut data dari kementerian kesehatan yang dikelola Hamas.
Dalam pernyataan terbaru, pasukan pertahanan Israel (IDF) mengonfirmasi serangan di Rafah, menyasar posisi Hamas di wilayah timur kota tersebut. Tank-tank Israel terlihat mendekati perbatasan Gaza-Mesir, meski laporan ini belum bisa diverifikasi.
Serangan tersebut berlangsung seiring dengan adanya laporan bahwa Hamas telah menyetujui proposal gencatan senjata yang dimediasi oleh Qatar dan Mesir. Namun, Israel tetap menyatakan bahwa kesepakatan tersebut jauh dari harapan mereka, dan berniat mengirim delegasi untuk perundingan lebih lanjut.
Tak lama setelah serangan udara Israel, sirene berbunyi di Israel selatan sebagai tanda peringatan serangan roket dari Gaza. Kelompok Jihad Islam Palestina mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut sebagai balasan atas serangan Israel. Sistem pertahanan Iron Dome terlihat mencegat sejumlah roket yang mengarah ke Sderot dan Nir Am.
Pada Mei 2024, di tengah gencatan senjata yang diupayakan antara Israel dan Hamas, serangan Israel terhadap Rafah mengguncang kawasan tersebut. Meskipun ada janji perhentian konflik yang seharusnya memberi nafas lega bagi penduduk Gaza, serangan yang dilancarkan di Rafah menggarisbawahi betapa rapuhnya perdamaian itu.
Serangan ini terjadi setelah negosiasi yang dilakukan oleh mediator internasional seperti Mesir dan Qatar tampaknya belum sepenuhnya berhasil mengamankan gencatan senjata yang efektif di lapangan. Israel menyatakan serangan tersebut sebagai "operasi yang ditargetkan" terhadap milisi Hamas di wilayah Rafah timur, yang dikenal sebagai salah satu titik panas dalam konflik.
Penduduk Rafah, yang sudah hidup di bawah ancaman serangan dan tekanan pengungsian, kembali dilanda ketakutan. Rumah-rumah yang tersisa dari serangan sebelumnya rusak lebih parah, sementara para keluarga yang sempat kembali ke wilayah tersebut dalam harapan akan stabilitas, kini kembali terpaksa mencari perlindungan.
Sementara itu, Hamas menuding Israel melanggar kesepakatan dan menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah provokasi yang dapat membatalkan semua upaya perdamaian yang telah dilakukan. Situasi ini memicu ketegangan baru, memperkeruh proses negosiasi yang belum menemukan solusi jangka panjang.
Serangan di Rafah ini menunjukkan bahwa bahkan di tengah upaya gencatan senjata, wilayah Gaza tetap rentan terhadap eskalasi baru, dan penduduknya terus berada di garis depan konflik yang tampaknya tak berkesudahan.
Di sisi lain, militer Israel terus mendorong evakuasi di Rafah timur. IDF mengumumkan bahwa evakuasi ini hanya bersifat sementara dan terbatas, mengarahkan warga ke wilayah al-Mawasi dan Khan Younis yang dianggap lebih aman. Namun, para pengungsi Palestina yang tinggal di kamp-kamp darurat merasa bingung dan khawatir tentang masa depan mereka.
Wakil pemimpin Hamas mengungkapkan bahwa kesepakatan gencatan senjata mencakup pertukaran tahanan dalam tiga fase, yang dimulai dengan jeda pertempuran selama 42 hari. Pada fase pertama, Hamas akan membebaskan 33 sandera sebagai imbalan pembebasan tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel. Namun, hingga kini, Israel masih meragukan kelengkapan kesepakatan tersebut.
Fase kedua akan melibatkan penghentian penuh operasi militer Israel di Gaza, sementara fase ketiga mencakup pertukaran jenazah dan rekonstruksi Gaza yang diawasi oleh Qatar, Mesir, dan PBB. Namun, Israel tetap mempertanyakan realisasi dari usulan ini, dan perundingan lebih lanjut masih diperlukan. (*)