KABARBURSA.COM - Antam, salah satu perusahaan pertambangan terkemuka di Indonesia, menghadapi proses penting dalam mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk tambang nikel PT Sumber Daya Arindo (SDA) dan PT Nusa Karya Arindo (NKA). Proses ini menjadi lebih menarik setelah penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 pada akhir Mei 2024, yang memperbolehkan pemegang konsesi untuk beroperasi dengan syarat kepemilikan minimal 30 persen dalam kegiatan hilir.
SDA dan NKA, yang mayoritas dimiliki oleh Antam dan anggota MIND ID, tampaknya memenuhi syarat tersebut karena kepemilikan mayoritas mereka di PT Feni Haltim (FHT) dan 30 persen di HPAL JVco. Timothy Wijaya, seorang analis dari BRI Danareksa Sekuritas, menyatakan dalam risetnya bahwa manajemen Antam optimis bahwa persetujuan RKAB untuk SDA dan NKA dapat diperoleh pada Juli mendatang. Ini berpotensi meningkatkan penjualan Antam menjadi 13-14 wmt pada tahun ini, dibandingkan dengan asumsi sebelumnya sebesar 12 wmt.
Namun, upaya Antam tidak hanya terfokus pada persetujuan RKAB. Perusahaan juga sedang menjajaki pembiayaan utang untuk smelter RKEF FHT. Rencananya, pekerjaan EPC akan dilanjutkan pada kuartal I-2025, dengan konstruksi dimulai pada pertengahan 2025 dan diharapkan dapat beroperasi pada awal 2027. Antam berharap dapat memanfaatkan dana sebesar Rp7 triliun yang diperoleh dari hasil spin-off SDA dan FHT untuk penyertaan modal di FHT dan HPAL JVco.
Selain itu, Antam sedang mencari penyewa di kawasan industri FHT untuk mengembangkan coal-fired power plant (CFPP), yang akan memasok listrik ke FHT, HPAL JVco, dan smelter feronikel (FeNi) P3FH milik Antam. Langkah ini sejalan dengan strategi perusahaan untuk mengurangi biaya energi dengan beralih ke sumber daya yang lebih murah.
Misalnya, smelter FeNi di Pomalaa akan mulai menggunakan jaringan PLN mulai Oktober, diharapkan dapat menurunkan biaya listrik sebesar 40 persen menjadi Rp 990/kWh. Sementara itu, smelter FeNi P3FH diharapkan dapat mengurangi biaya listrik menjadi Rp 1.100/kWh dari Rp 2.000/kWh dengan beralih ke CFPP di kawasan industri FHT.
Timothy memperkirakan bahwa jika peralihan sumber daya listrik berjalan lancar, Antam dapat menurunkan biaya tunai secara signifikan menjadi US$ 11.000/ton dari sebelumnya US$ 12.000-12.500/ton. Meskipun demikian, masih ada beberapa risiko yang perlu dipertimbangkan, termasuk penurunan harga nikel, tingkat utilitas yang lebih rendah, dan potensi penundaan pelaksanaan proyek.
Dengan berbagai langkah strategis yang diambil, BRI Danareksa Sekuritas tetap optimis terhadap kinerja saham ANTM, dan mempertahankan rating beli dengan target harga saham sebesar Rp 2.000. Target harga tersebut mencerminkan PE 2024 sebesar 16,6 kali, setara forward PE standard deviation band -0,5 kali.
Meskipun demikian, langkah-langkah strategis yang diambil Antam dalam menghadapi tantangan dan risiko potensial tersebut menunjukkan komitmen perusahaan untuk mencapai pertumbuhan dan keberhasilan jangka panjang.
PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) terus mengukuhkan posisinya sebagai salah satu pemain utama dalam industri pertambangan Indonesia. Dengan portofolio yang beragam dan strategi yang kokoh, perusahaan ini telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memperluas operasinya, meningkatkan efisiensi, dan menghadapi tantangan yang ada.
Salah satu fokus utama Antam saat ini adalah memperoleh persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk tambang nikel PT Sumber Daya Arindo (SDA) dan PT Nusa Karya Arindo (NKA). Pada akhir Mei 2024, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 yang memperbolehkan pemegang konsesi untuk beroperasi dengan syarat kepemilikan minimal 30 persen dalam kegiatan hilir.
Dengan mayoritas kepemilikan di SDA dan NKA, Antam optimistis untuk mendapatkan persetujuan RKAB pada Juli nanti. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan volume penjualan nikel perusahaan.
Selain itu, Antam juga sedang menjajaki pembiayaan utang untuk smelter RKEF Feni Haltim (FHT). Perusahaan berencana melanjutkan pekerjaan EPC pada kuartal I-2025 dan menargetkan beroperasi pada awal 2027. Dana sebesar Rp 7 triliun dari hasil spin-off SDA dan FHT akan digunakan untuk penyertaan modal di FHT dan HPAL JVco.
Dalam upaya untuk mengurangi biaya energi, Antam berencana untuk beralih ke sumber daya yang lebih murah. Smelter FeNi di Pomalaa akan beralih ke jaringan PLN mulai Oktober, diharapkan dapat menurunkan biaya listrik sebesar 40 persen. Sedangkan smelter FeNi P3FH akan menggunakan tenaga diesel dari Pomalaa sebelum beralih ke coal-fired power plant (CFPP) di kawasan industri FHT, yang akan mengurangi biaya listrik secara signifikan.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.