KABARBURSA.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Besaran Harga Indeks Pasar (HIP) Bahan Bakar Nabati (BBN) Jenis Bioetanol untuk Februari 2025 sebesar Rp13.508 per liter. Harga ini mulai berlaku efektif per 1 Februari 2025, sebagaimana tertuang dalam surat resmi yang ditandatangani Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi.
Penetapan harga ini dilakukan berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri ESDM No. 6034K/12/MEM/2016 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang Dicampurkan ke Dalam Jenis Bahan Bakar Minyak. Dalam dokumen resminya, ESDM menegaskan komitmennya dalam transisi energi.
“Dengan semangat transisi energi, Direktorat Jenderal EBTKE berkomitmen menerapkan core value ASN BerAKHLAK untuk mewujudkan pelayanan publik yang prima dan berintegritas, dalam rangka pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani,” tulis Eniya dalam surat keterangan HIP BBN yang dikutip Selasa, 11 Februari 2025.
Metode Penetapan Harga Bioetanol
Perhitungan HIP bioetanol Februari 2025 didasarkan pada harga rata-rata molases atau tetes tebu dalam tiga bulan terakhir yang dipublikasikan oleh KPBN (KPB Nusantara). Namun, karena KPBN tidak melakukan lelang untuk periode 15 Desember 2024 hingga 14 Januari 2025, maka data harga molases yang digunakan mengacu pada periode tiga bulan terakhir yang tersedia. Konversi nilai kurs yang digunakan dalam perhitungan ini mengacu pada rata-rata kurs tengah Bank Indonesia, yakni Rp16.177 per USD.
Adapun formula perhitungan HIP Bioetanol adalah sebagai berikut:
HIP = (Rata-rata tetes tebu KPB periode 3 bulan x 4,125 Kg/L) + 0,25 USD/Liter
Berdasarkan formula tersebut, harga bioetanol Februari 2025 ditetapkan sebesar Rp13.508 per liter.
Pihak Terkait dan Implementasi
Surat resmi HIP bioetanol ini ditembuskan kepada sejumlah pihak terkait, antara lain:
- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
- Menteri Keuangan
- Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi
- Direktur Utama PT Pertamina (Persero)
- Ketua Perkumpulan Perusahaan Pemegang Izin Niaga Umum Bahan Bakar Minyak
- Ketua Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI)
- Ketua Asosiasi Spiritus dan Ethanol Indonesia (ASENDO)
Dengan harga terbaru ini, industri bioetanol diharapkan semakin berkembang dan mendukung ketahanan energi nasional, terutama dalam mendorong substitusi bahan bakar fosil serta mewujudkan target energi bersih Indonesia.
Ada Peluang Insentif, tapi Harus Bangun Ekosistem
Kementerian ESDM lagi gencar mendorong energi baru terbarukan (EBT) lewat BBM bioetanol buat mengurangi emisi karbon. Salah satu wacana yang mulai berhembus adalah insentif untuk kendaraan berbahan bakar bioetanol.
Tapi, jangan senang dulu. Sampai sekarang, wacana ini masih sebatas wacana. Belum ada pembahasan resmi soal bagaimana skema insentifnya bakal berjalan. Menurut Eniya, peluang itu tetap ada.
“Untuk dapat menikmati insentif ini, para produsen harus membangun ekosistem bioetanol dari hulu ke hilir, mirip dengan apa yang telah dilakukan oleh industri kendaraan listrik berbasis baterai,” katanya pada Senin, 23 September 2024 lalu, dikutip dari laman indonesia.go.id.
Singkatnya, produsen kendaraan berbahan bakar bioetanol mesti berani investasi besar kalau mau dapet insentif, sama seperti industri mobil listrik. Contohnya, Hyundai yang berani bangun fasilitas packing baterai di Cikarang dengan investasi Rp900 miliar. Langkah ini tak cuma bikin ekosistem kendaraan listrik jalan, tapi juga bikin pemerintah kepincut buat kasih insentif. Jadi, kalau industri bioetanol mau nasib yang sama, harus serius membangun ekosistemnya.
Saat ini, bioetanol di Indonesia sudah mulai diimplementasikan lewat Pertamax Green 95, bensin dengan campuran bioetanol 5 persen (E5) yang dijual di 75 SPBU di Jakarta dan Surabaya. Ini jadi langkah awal pemerintah buat meningkatkan campuran bioetanol dalam bensin sampai 10 persen pada 2029.
Tapi kalau melihat progresnya, masih jauh panggang dari api. Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015, seharusnya campuran bioetanol sudah mencapai 20 persen (E20) pada 2025. Kenyataannya? Sekarang masih mentok di E5.
Kendalanya banyak. Salah satunya, belum banyak industri bioetanol yang bisa bikin bahan bakar dengan kualitas fuel grade. Dari 13 industri bioetanol yang ada di Indonesia, cuma dua yang memenuhi standar fuel grade, sementara yang lain masih berkutat di food grade.
Artinya, kalau mau percepatan, perlu kebijakan yang lebih agresif buat mendorong industri ini tumbuh lebih cepat. Tanpa ekosistem yang matang—baik dari sisi produksi maupun distribusi—bioetanol bakal sulit berkembang.
Tapi kalau semua bisa dipenuhi, insentif buat kendaraan berbahan bakar bioetanol bukan sekadar mimpi. Malah, bisa menarik lebih banyak investor dan pemain industri buat terlibat yang ujung-ujungnya bikin ekonomi dan lingkungan sama-sama diuntungkan.
Bioetanol dan Transisi Energi Bersih
Bicara transisi energi bersih, bioetanol jadi salah satu pemain kunci yang bisa membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih hijau. Dengan sumber daya melimpah dan kebutuhan energi ramah lingkungan yang makin meningkat, Indonesia punya potensi besar buat jadi raja bioetanol di kawasan. Tapi, tentu saja, itu semua tal bisa terjadi kalau cuma wacana tanpa aksi nyata.
Butuh dukungan dari semua lini—mulai dari pemerintah, pelaku industri, sampai masyarakat—buat memastikan bahan bakar nabati ini bisa berkembang dan bersaing dengan bahan bakar fosil. Tanpa dukungan itu, bioetanol cuma bakal jadi wacana manis tanpa eksekusi.
Menurut Eniya, kunci utamanya adalah membangun ekosistem industri yang kuat. “Ekosistem harus dibangun, dan insentif akan mengikuti,” ujarnya. Artinya, kalau industri bioetanol bisa menunjukkankeseriusan dengan membangun rantai pasok yang matang, insentif dari pemerintah bakal datang sebagai bentuk dukungan.
Tapi ini bukan cuma soal insentif. Kalau ekosistem bioetanol bisa berkembang dengan baik, dampaknya bakal lebih besar: industri tumbuh, lapangan kerja bertambah, dan yang paling penting, target net zero emission 2060 makin realistis buat dicapai.(*)