KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali melonjak pada Jumat, 4 Oktober 2024, hingga mencatatkan kenaikan mingguan terbesar dalam lebih dari satu tahun. Kenaikan ini didorong oleh meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, yang berpotensi memicu perang regional. Meski begitu, desakan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, agar Israel tidak menyerang fasilitas minyak Iran membatasi lonjakan harga tersebut.
Mengutip Reuters, Sabtu, 5 Oktober 2024, harga minyak mentah Brent naik 43 sen atau 0,6 persen menjadi USD78,05 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS juga naik 67 sen atau 0,9 persen, dan ditutup pada US$ 74,38 per barel.
Ketegangan semakin memuncak setelah Israel bersumpah akan menyerang Iran, yang dituduh meluncurkan serangan rudal pada 1 Oktober 2024. Serangan ini merupakan balasan atas pembunuhan pemimpin Hizbullah yang didukung Iran oleh Israel pada pekan sebelumnya. Para analis minyak memperingatkan, jika konflik ini berkembang menjadi perang besar, dampaknya bisa sangat luas.
Pada Jumat, harga minyak sempat melonjak hampir 2 persen, namun kembali turun tajam setelah Biden menyarankan Israel untuk mencari alternatif lain selain menyerang ladang minyak Iran. Sebelumnya, pada Kamis, 3 Oktober 2024, harga minyak melonjak lebih dari 5 persen setelah Biden mengonfirmasi adanya pembicaraan dengan Israel terkait dukungan AS untuk serangan terhadap infrastruktur energi Iran.
Secara keseluruhan, harga minyak mentah Brent mengalami kenaikan lebih dari 8 persen dalam sepekan terakhir, yang merupakan kenaikan terbesar sejak Januari 2023. WTI juga mencatatkan kenaikan mingguan 9,1 persen, tertinggi sejak Maret 2023.
Menurut analis komoditas JPMorgan, serangan terhadap fasilitas energi Iran bukanlah opsi yang diinginkan oleh Israel. Namun, dengan pasokan minyak global yang rendah, harga diprediksi akan tetap tinggi hingga ketegangan ini mereda.
Data dari Kpler, layanan pelacakan kapal, menunjukkan bahwa persediaan minyak global saat ini lebih rendah dibandingkan tahun lalu ketika harga Brent mencapai USD92 per barel, dengan total 4,4 miliar barel—level terendah yang pernah tercatat.
Ancaman Terhadap Fasilitas Minyak Iran
Brokerage StoneX memprediksi, jika fasilitas minyak Iran menjadi target serangan, harga minyak dapat meningkat antara USD3 hingga US$ 5 per barel.
Pada Jumat, 4 Oktober 2024, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, muncul di hadapan publik untuk pertama kalinya sejak negaranya meluncurkan serangan rudal, dan menyerukan perlawanan lebih keras terhadap Israel. Sementara itu, Wakil Komandan Pengawal Revolusi Iran, Ali Fadavi, menyatakan bahwa Iran akan menargetkan instalasi energi dan gas Israel jika serangan terjadi.
Sebagai anggota OPEC+, Iran memproduksi sekitar 3,2 juta barel per hari, atau sekitar 3 persen dari total produksi minyak global. Analis dari Rystad menyebut, kapasitas cadangan produksi OPEC+ memungkinkan anggota lain untuk meningkatkan produksi jika pasokan minyak dari Iran terganggu, yang dapat membatasi kenaikan harga.
Di sisi lain, kekhawatiran terhadap pasokan minyak dari Libya mulai mereda setelah pemerintah timur dan Perusahaan Minyak Nasional Tripoli sepakat membuka kembali semua ladang minyak dan terminal ekspor, menyusul penyelesaian sengketa kepemimpinan bank sentral negara tersebut.
Naik Tipis Usai Iran Luncurkan Rudal
Harga minyak mentah dunia sempat mengalami kenaikan tipis pada penutupan perdagangan Rabu, 2 Oktober 2024, atau sehari setelah Iran meluncurkan rudalnya ke Israel. Serangan misil balistik yang diluncurkan Iran ke wilayah Tel Aviv menambah kekhawatiran pasar bahwa ketegangan ini bisa bereskalasi lebih jauh dan mengganggu pasokan minyak global.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November naik 27 sen atau 0,39 persen, menutup perdagangan pada USD70,10 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara itu, harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember bertambah 34 sen atau 0,46 persen menjadi USD73,90 per barel di London Futures Exchange.
Pada awal perdagangan, harga minyak sempat melonjak hampir 4 persen setelah berita serangan misil Iran ke Israel mencuat. Kekhawatiran pasar bahwa Israel mungkin akan merespons dengan menargetkan infrastruktur minyak Iran menambah ketidakpastian, sehingga investor bergegas mengambil posisi di pasar energi. Namun, kenaikan harga ini mulai melambat setelah laporan data persediaan minyak AS menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan.
“Ketegangan geopolitik ini jelas mempengaruhi sentimen pasar, tetapi peningkatan stok minyak AS menekan potensi kenaikan lebih lanjut,” kata John Kilduff, mitra di Again Capital, sebuah perusahaan investasi yang fokus pada energi.
Kenaikan Stok Minyak AS Menekan Harga
Data dari Energy Information Administration (EIA) menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah AS meningkat sebesar 3,9 juta barel pekan lalu, sementara persediaan bensin juga mengalami kenaikan signifikan sebanyak 11 juta barel. Peningkatan persediaan ini berpotensi menekan harga minyak, yang seharusnya mengalami kenaikan lebih tinggi di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik.
Menurut para analis, kenaikan persediaan minyak di AS memperlihatkan bahwa pasokan minyak global masih relatif stabil, meskipun ada ancaman yang datang dari Timur Tengah.
Ancaman Balasan Israel
Sementara harga minyak sedikit terkoreksi oleh peningkatan persediaan, risiko ketegangan lebih lanjut tetap mengintai. Israel telah mengeluarkan peringatan keras bahwa pihaknya akan membalas serangan Iran dengan “tindakan yang menyakitkan”. Duta Besar Israel untuk PBB Danny Danon, menyatakan bahwa respon Israel terhadap Iran kemungkinan besar akan menargetkan infrastruktur penting.
Beberapa analis memperkirakan bahwa jika Israel memutuskan untuk menyerang kapasitas minyak Iran, atau jika kelompok proksi Iran menargetkan pengiriman minyak di kawasan Teluk Persia, pasar minyak global dapat mengalami gejolak yang lebih besar. Eskalasi lebih lanjut di wilayah ini akan mengancam stabilitas rantai pasokan minyak, yang dapat mendorong harga lebih tinggi secara signifikan.
“Jika kita melihat serangan yang mempengaruhi infrastruktur energi, terutama di Iran, kita bisa menyaksikan lonjakan harga yang lebih tajam lagi,” kata Helima Croft, kepala strategi komoditas global di RBC Capital Markets.(*)