KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia menguat pada Selasa waktu Amerika atau Rabu, 8 Januari 2025 dini hari WIB karena didorong kekhawatiran soal terbatasnya pasokan dari Rusia dan Iran akibat sanksi Barat. Pasar juga masih was-was soal ekspektasi peningkatan permintaan dari China.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, harga minyak Brent ditutup di level USD77,05 per barel, naik 75 sen atau 0,98 persen. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 69 sen atau 0,94 persen menjadi USD74,25 per barel.
Menurut analis pasar Forex, Razan Hilal, pasar sedang berharap pada stimulus ekonomi dari China untuk memacu pertumbuhan. Apalagi, pasokan minyak global masih ketat setelah libur Natal dan Tahun Baru.
“Meskipun pergerakan pasar masih dalam rentang tertentu, kenaikan harga ini didorong ekspektasi permintaan yang lebih baik berkat lonjakan aktivitas liburan dan janji-janji ekonomi dari China,” tulis Hilal dalam catatan paginya. “Namun, tren utamanya masih cenderung bearish.”
Di sisi lain, menurut analis UBS Giovanni Staunovo, beberapa pelaku pasar mulai memperhitungkan potensi gangguan kecil pada ekspor minyak Iran ke China.
Ketatnya pasokan akibat sanksi juga mendorong permintaan minyak Timur Tengah meningkat. Hal ini tercermin dari kenaikan harga minyak Saudi untuk Asia pada Februari, yang menjadi kenaikan pertama dalam tiga bulan terakhir.
Sementara itu, di China, Shandong Port Group mengeluarkan larangan bagi kapal tanker yang dikenai sanksi AS untuk bersandar di jaringan pelabuhannya. Larangan ini dapat membatasi akses kapal-kapal tersebut ke terminal energi besar di pesisir timur China, termasuk Qingdao, Rizhao, dan Yantai.
Di sisi Barat, cuaca dingin ekstrem di AS dan Eropa meningkatkan permintaan minyak pemanas. Namun, data ekonomi global membatasi kenaikan harga minyak secara signifikan. Inflasi zona euro naik pada Desember, meskipun kenaikan ini diperkirakan tidak akan menggagalkan rencana pemangkasan suku bunga oleh Bank Sentral Eropa (ECB).
“Inflasi yang tinggi di Jerman memicu spekulasi bahwa ECB mungkin tidak bisa memangkas suku bunga secepat yang diharapkan,” ujar Analis Panmure Liberum, Ashley Kelty.
Sinyal teknis menunjukkan harga minyak berpotensi berada di area overbought, sehingga banyak penjual yang siap masuk memanfaatkan kenaikan ini untuk menjual saham mereka dan meredam kenaikan lebih lanjut, kata Harry Tchilinguirian, kepala riset Onyx Capital Group.
Pelaku pasar kini menunggu data ekonomi terbaru, termasuk laporan ketenagakerjaan AS pada Jumat mendatang.
“Kita sedang berada di pasar yang pasokannya sangat ketat, dan permintaan melampaui pasokan. Ini kemungkinan akan membuat cadangan minyak global terus menyusut,” kata Analis Senior Price Futures Group, Phil Flynn.
Terseret Data Ekonomi AS dan Jerman
Harga minyak dunia sebelumnya melemah pada perdagangan Selasa, 6 Januari 2025, dini hari WIB karena tertekan oleh sentimen negatif dari Amerika Serikat dan Jerman yang menggoyang kepercayaan pasar. Penurunan ini terjadi meskipun ada faktor positif, seperti pelemahan dolar AS dan lonjakan permintaan energi akibat badai musim dingin.
Berdasarkan data Reuters, minyak mentah Brent turun 21 sen atau 0,3 persen menjadi USD76,30 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) merosot 40 sen atau 0,5 persen ke USD73,56 per barel. Keduanya tetap berada dalam zona overbought selama tiga hari berturut-turut setelah reli selama lima hari sebelumnya.
Data ekonomi menunjukkan sinyal pelambatan di dua kekuatan ekonomi global. Di AS, pesanan baru untuk barang manufaktur pada November turun, terutama karena melemahnya permintaan pesawat komersial. Belanja bisnis untuk peralatan juga melambat pada kuartal keempat, berdasarkan data Biro Sensus AS.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan penurunan aktivitas ekonomi di negara yang menjadi konsumen energi terbesar dunia.
Sementara itu, inflasi tahunan Jerman pada Desember naik lebih tinggi dari perkiraan akibat lonjakan harga makanan dan penurunan harga energi yang tidak terlalu signifikan dibandingkan bulan sebelumnya. Inflasi yang tinggi memicu spekulasi bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) mungkin akan kembali menaikkan suku bunga, langkah yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menekan permintaan energi.
Di sisi lain, pelemahan dolar AS sempat menjadi kabar baik bagi pasar minyak. Dolar yang turun 1,1 persen terhadap sekeranjang mata uang global membuat komoditas seperti minyak menjadi lebih murah bagi pembeli internasional. Namun, penguatan dolar kembali terjadi setelah Presiden terpilih Donald Trump membantah rumor bahwa timnya mempertimbangkan kebijakan tarif impor yang lebih selektif.(*)