KABARBURSA.COM – Harga minyak melemah tipis pada Jumat, Juni 2025, tapi masih mengarah ke kenaikan mingguan pertamanya dalam tiga pekan. Hal ini terjadi setelah Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping kembali membuka jalur komunikasi dagang. Investor pun berharap pertumbuhan ekonomi dunia ikut menguat, begitu pula permintaan energi dari dua negara dengan ekonomi terbesar itu.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Jumat, futures minyak Brent turun 12 sen menjadi USD65,22 (sekitar Rp1.075.000) per barel pada pukul 08.33 WIB. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) asal AS turun 15 sen ke level USD63,22 (sekitar Rp1.043.000) setelah sempat menguat 50 sen sehari sebelumnya.
Secara mingguan, kedua acuan harga minyak ini tetap menunjukkan kenaikan. Brent naik dua koma satu persen, sedangkan WTI tercatat menguat empat persen selama sepekan terakhir, mematahkan tren penurunan dua minggu berturut-turut.
Pergerakan harga masih sensitif terhadap perkembangan negosiasi tarif dan data ekonomi global yang menunjukkan dampak ketidakpastian perang dagang. Kantor berita Xinhua menyebut pembicaraan Trump dan Xi berlangsung atas permintaan Washington.
Trump menilai hasilnya sangat positif dan menyatakan hubungan dagang AS–China berada dalam kondisi sangat baik.
Sementara itu, Kanada juga melanjutkan pembicaraan dagang dengan AS. Menurut Menteri Industri Melanie Joly, Perdana Menteri Mark Carney menjalin kontak langsung dengan Presiden Trump.
Pasar minyak juga mendapat dukungan dari penurunan produksi di Kanada akibat kebakaran hutan yang belum terkendali.
Di sisi lain, Arab Saudi memangkas harga minyak mentah untuk pasar Asia pada pengiriman Juli ke level terendah dalam dua bulan terakhir. Meski begitu, pemangkasan ini lebih kecil dari ekspektasi, setelah OPEC+ sepakat menaikkan produksi sebesar 411 ribu barel per hari pada bulan Juli.
Arab Saudi sebelumnya mendorong peningkatan produksi yang lebih besar sebagai bagian dari strategi merebut kembali pangsa pasar sekaligus menekan negara-negara anggota OPEC+ yang over-produksi. OPEC+ sendiri merupakan gabungan negara-negara pengekspor minyak dan sekutunya, termasuk Rusia.
Dari sisi indikator ekonomi, sektor jasa AS mengalami kontraksi pada Mei untuk pertama kalinya dalam hampir setahun. Klaim pengangguran mingguan juga naik lagi.
Ini menunjukkan pasar tenaga kerja mulai mendingin. Para pelaku pasar kini menunggu laporan tenaga kerja non-pertanian AS hari Jumat hari ini untuk mencari sinyal arah kebijakan suku bunga The Fed.
JP Morgan: Harga Minyak Masih bisa Tergelincir Hingga 2026
Meski meredanya tensi dagang antara Amerika Serikat dan China sempat menyulut secercah harapan di pasar minyak, JP Morgan memilih tak ikut bersorak. Alih-alih ikut optimistis, bank investasi asal Wall Street itu justru memperkirakan harga minyak masih akan terus menyusut dalam dua tahun ke depan.
Dalam laporan riset terbarunya, JP Morgan memproyeksikan harga minyak Brent bakal stagnan di kisaran USD66 per barel (Rp1,08 juta) pada 2025, dan turun lebih jauh ke USD58 (Rp951 ribu) per barel pada 2026. Ramalan ini tak berubah meski pasar global tengah bergairah menyambut gencatan tarif antara dua ekonomi terbesar dunia.
Kepala Strategi Komoditas Global JP Morgan, Natasha Kaneva, menyebut dorongan sentimen saat ini belum cukup untuk mendorong harga kembali menembus level USD70-an. Menurut dia, arah kebijakan Presiden Donald Trump justru berperan menjaga harga minyak tetap rendah sebagai cara meredam tekanan inflasi menjelang pemilu.
“Memang ada pandangan bahwa pernyataan damai dagang dan pergeseran kebijakan dari tarif ke pajak dan deregulasi bisa mendorong harga kembali ke level menengah USD70-an. Tapi kami melihat, untuk sektor energi, ‘Trump put’ tidak berlaku,” kata Kaneva dalam laporan yang dikutip dari laman JP Morgan.
Trump, menurut JP Morgan, justru secara terang-terangan ingin menjaga harga minyak di kisaran USD50 atau lebih rendah—yang ia nilai penting untuk mendukung stabilitas domestik. Selama harga belum turun ke bawah USD50 per barel jenis WTI—yang disebut sebagai titik kritis produksi shale oil AS—pemerintah diperkirakan tak akan intervensi.(*)