KABARBURSA.COM – Harga minyak meroket, sementara bursa saham Amerika Serikat jatuh pada Jumat, 13 Juni 2025. Kecemasan pasar makin menjadi setelah Israel menggempur fasilitas nuklir dan militer Iran. Potensi eskalasi konflik dinilai bisa mengganggu aliran pasokan minyak global sekaligus menggoyang stabilitas ekonomi internasional.
Dilansir dari AP di Jakarta, Sabtu, 14 Juni 2025, indeks S&P 500 turun 1,1 persen dan menghapus seluruh kenaikan tipis yang sempat tercatat sepanjang pekan. Dow Jones Industrial Average ambles 769 poin atau 1,8 persen. Nasdaq Composite ikut tergelincir 1,3 persen.
Pasar minyak mencatat pergerakan paling tajam. Harga minyak mentah acuan Amerika Serikat (West Texas Intermediate) melonjak 7,3 persen ke level USD72,98 per barel (sekitar Rp1.189.574). Sementara Brent, acuan global, naik 7 persen menjadi USD74,23 per barel (sekitar Rp1.209.959).
Iran merupakan salah satu produsen minyak utama dunia. Namun, sanksi dari negara-negara Barat telah membatasi penjualan mereka. Jika konflik makin meluas, bukan tak mungkin pasokan minyak dari Iran ke pembeli global tersendat, membuat harga minyak dan bensin terus merangkak naik.
Selain faktor Iran, analis juga menyoroti risiko gangguan di Selat Hormuz—jalur sempit di pesisir Iran yang jadi rute strategis pengiriman minyak global. Sebagian besar minyak dunia melewati selat ini lewat kapal tanker.
Kepala Riset Jangka Pendek Minyak di S&P Global Commodity Insights, Richard Joswick,, mencatat dalam serangkaian ketegangan Israel–Iran sebelumnya, harga minyak memang sempat melonjak di awal, tapi akhirnya turun lagi setelah ketegangan mereda dan pasokan tetap lancar.
Namun saat ini, Wall Street belum berani ambil sikap. Harga saham-saham AS jatuh ke titik terendah harian setelah Iran membalas dengan meluncurkan rudal balistik ke wilayah Israel.
Harga minyak memang naik signifikan, meski secara keseluruhan masih lebih rendah dibanding awal tahun. “Ini kejutan ekonomi yang tidak diharapkan siapa pun. Tapi dampaknya lebih terasa ke sentimen ketimbang fundamental ekonomi,” kata Brian Jacobsen, Kepala Ekonom Annex Wealth Management.
Dampaknya membuat bursa AS terpukul, meski koreksi kali ini belum masuk kategori 15 penurunan terbesar sepanjang 2025.
Saham-saham perusahaan yang mengandalkan bahan bakar dan kepercayaan konsumen langsung terseret. Carnival, operator kapal pesiar, anjlok 4,9 persen. United Airlines turun 4,4 persen. Norwegian Cruise Line Holdings melemah 5 persen.
Tekanan ini menutupi kenaikan saham sektor energi dan pertahanan yang justru mendapat angin. Saham Exxon Mobil naik 2,2 persen, sementara ConocoPhillips menguat 2,4 persen. Kenaikan harga minyak memberi harapan akan profit yang lebih tebal bagi para produsen.
Perusahaan kontraktor pertahanan juga ikut terangkat. Lockheed Martin, Northrop Grumman, dan RTX masing-masing menguat lebih dari 3 persen, seiring meningkatnya tensi geopolitik di kawasan.
Harga emas ikut menanjak seiring pelarian investor ke aset lindung nilai. Emas naik 1,4 persen ke level tertinggi pekan ini, jadi tempat parkir uang paling aman di tengah kabar rudal dan retaliasi.
Dalam situasi geopolitik yang genting, obligasi pemerintah AS biasanya ikut diburu. Tapi kali ini tak terjadi. Harga surat utang negara justru turun, mendorong imbal hasil (yield) naik ke 4,41 persen dari sebelumnya 4,36 persen. Kenaikan harga minyak disebut-sebut jadi penyebabnya. Pasar khawatir inflasi kembali naik, membuat investor menjauh dari obligasi jangka panjang.
Inflasi memang masih jinak, mendekati target The Fed di kisaran 2 persen. Tapi tekanan baru muncul dari kebijakan tarif Presiden Donald Trump. Lonjakan harga energi bisa memicu efek berantai ke harga barang lain di pasar domestik.
Kenaikan yield bisa menekan harga saham dan aset lain, serta bikin biaya pinjaman naik buat korporasi dan rumah tangga di AS.
Data ekonomi yang lebih baik dari perkiraan juga ikut mengerek yield. Laporan awal dari University of Michigan menunjukkan sentimen konsumen AS membaik untuk pertama kalinya dalam enam bulan, setelah Trump menunda sebagian tarif. Ekspektasi inflasi konsumen juga menurun.
Sementara itu, saham Adobe terperosok 5,3 persen meski perusahaan kreator Photoshop itu membukukan laba di atas ekspektasi analis. Analis menyebut kinerjanya solid, tapi pasar tampaknya berharap lebih—terutama proyeksi pendapatan tahun depan yang tak sekencang dugaan.(*)