KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia menguat hampir 2 persen pada Sabtu, 10 Mei 2025, dini hari WIB dan membukukan kenaikan mingguan pertama sejak pertengahan April. Sentimen positif dipicu oleh kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Inggris, yang membuat investor lebih optimistis menjelang pertemuan penting antara pejabat tinggi AS dan China.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, harga minyak Brent ditutup naik USD1,07 atau 1,7 persen ke USD63,91 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) menguat USD1,11 atau sekitar 1,9 persen ke USD61,02 per barel. Dalam sepekan, kedua acuan harga minyak ini berhasil mencatatkan kenaikan lebih dari 4 persen.
Pendorong utama kenaikan harga minyak adalah langkah Presiden AS Donald Trump yang pada Jumat menyatakan bahwa China seharusnya membuka pasarnya untuk produk AS. Ia juga menyebut tarif 80 persen untuk barang China “terasa pas,” sehari setelah mengumumkan kesepakatan yang menurunkan tarif untuk ekspor mobil dan baja Inggris. Hal ini memberikan angin segar bagi pelaku pasar energi yang selama ini tertekan oleh ketidakpastian dagang.
“Pasar energi yang selama ini bearish mulai melepaskan pesimisme dan mulai menangkap sinyal optimisme pasar yang kembali muncul, seiring kemajuan dalam hubungan dagang,” ujar Alex Hodes, analis minyak di StoneX. Ucapannya mencerminkan bagaimana harga minyak mulai bangkit setelah lama tertekan oleh isu perang dagang.
Kesepakatan dagang dengan Inggris dan komentar Trump soal China memicu harapan akan terjadinya kesepakatan serupa antara Washington dan Beijing. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dijadwalkan bertemu dengan Wakil Perdana Menteri China, He Lifeng, di Swiss pada 10 Mei mendatang.
Saat ini, tarif AS untuk produk China masih berada di level tinggi, yakni 145 persen, namun rencana pemangkasan ke 80 persen dianggap sebagai langkah positif yang bisa memicu penguatan harga minyak lebih lanjut.
Sementara itu, data terbaru menunjukkan ekspor China naik lebih cepat dari perkiraan pada April, sementara impor mereka mencatatkan penyusutan yang lebih kecil. Ini memberikan sedikit kelegaan bagi Beijing di tengah persiapan menghadapi negosiasi dagang yang alot.
Di luar isu dagang, ketegangan geopolitik di Timur Tengah juga turut mendorong harga minyak. Nikos Tzabouras, analis senior di platform perdagangan Tradu, menyebutkan bahwa militer Israel baru saja mencegat misil yang diluncurkan dari Yaman.
Serangan ini terjadi hanya beberapa hari setelah Oman memediasi kesepakatan gencatan senjata antara AS dan kelompok Houthi Yaman, yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Meski harga minyak mendapat dorongan positif minggu ini, prospeknya tetap diliputi ketidakpastian. Marcus McGregor, kepala riset komoditas di Conning, mengatakan bahwa arah harga minyak ke depan sangat bergantung pada kondisi ekonomi AS, kebijakan dagangnya, dan penerapan sanksi terhadap Iran dan Rusia.
Tambahan tekanan datang dari langkah AS yang kembali menjatuhkan sanksi terhadap kilang minyak independen China karena pembelian minyak mentah dari Iran. Ini terjadi menjelang putaran keempat pembicaraan nuklir di Oman akhir pekan ini, yang juga berpotensi mempengaruhi harga minyak global
Faktor lain yang menahan lonjakan harga minyak adalah rencana kenaikan produksi oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya atau yang dikenal dengan OPEC+. Namun, survei Reuters menemukan bahwa produksi minyak OPEC justru sedikit menurun pada April akibat penurunan output di Libya, Venezuela, dan Irak yang lebih besar daripada peningkatan produksi yang dijadwalkan.
“Hasil survei ini memberikan tambahan harapan bagi pasar yang sudah optimistis menjelang pembicaraan dagang AS-China,” tulis John Evans, analis dari PVM.
Perlukah Investor Indonesia Cemas?
Setiap kali harga minyak dunia merangkak naik, obrolan soal dampaknya bagi investor Indonesia langsung mencuat. Nada-nada peringatan biasanya mengisi ruang-ruang diskusi: “Waspada! Harga minyak naik bisa mengguncang pasar.” Namun, seberapa besar sebenarnya pengaruh itu terhadap pasar modal domestik?
Data terbaru menunjukkan wajah nyata industri energi Indonesia yang, boleh dibilang, jauh dari julukan negara eksportir minyak. Sepanjang 2024, produksi minyak nasional tercatat sekitar 16,86 juta ton. Angka ini turun 5,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Di sisi lain, volume impor justru melonjak. Total impor minyak Indonesia, baik mentah maupun produk olahan seperti bensin, solar, dan avtur, mencapai 53,74 juta ton. Angka ini naik 19 persen dari tahun sebelumnya. Kondisi ini mencerminkan fakta bahwa kebutuhan energi nasional semakin bertumpu pada pasokan luar negeri.
Artinya, setiap kali harga minyak global beranjak naik, yang paling terdampak langsung bukanlah para eksportir atau produsen migas domestik, melainkan pemerintah yang harus memikirkan ulang beban subsidi dan neraca perdagangan. Bagaimana dengan investor ritel di pasar modal? Tidak serta-merta ikut gemetar.
Sementara beberapa emiten energi seperti PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) atau PT Elnusa Tbk (ELSA) mungkin terdorong naik seiring tren harga global, itu pun tak sesederhana mencomot angka di layar. Kontrak jangka panjang, fokus proyek, hingga efisiensi produksi di level domestik, semuanya ikut menentukan sejauh mana lonjakan harga minyak benar-benar menguntungkan mereka.
Lebih jauh, sebagian besar sektor di bursa, mulai dari perbankan, barang konsumsi, hingga tambang nonmigas, tidak secara langsung terseret arus naik-turunnya minyak dunia. Dampaknya lebih banyak terasa di tingkat makro, seperti inflasi, nilai tukar rupiah, dan beban anggaran negara. Jalur transmisi ini yang kerap luput dibaca.
Dengan demikian, setiap berita soal lonjakan harga minyak tidak selalu harus dibaca sebagai alarm bagi investor Indonesia. Ada konteks yang perlu diperiksa, ada detail yang perlu ditelusuri. Sebab, yang ramai di pasar global belum tentu langsung bergaung keras di lantai bursa Jakarta.(*)