Logo
>

Harga Minyak Naik Tipis, Diuntungkan Damai Dagang AS–China

Harga minyak dunia naik moderat usai meredanya ketegangan dagang AS–China, meski pasar masih dibayangi potensi lonjakan pasokan dari Iran dan OPEC+.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Naik Tipis, Diuntungkan Damai Dagang AS–China
Harga minyak naik tipis didorong meredanya tensi AS–China. Tapi potensi lonjakan pasokan Iran dan OPEC+ jadi ancaman baru untuk pasar. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Harga minyak mentah dunia menguat pada perdagangan Sabtu, 17 Mei 2025, dini hari WIB, dan menandai kenaikan mingguan kedua berturut-turut. Sentimen damai dagang Amerika Serikat dan China jadi penopang utama, meskipun pasar tetap waspada terhadap potensi lonjakan pasokan dari Iran dan negara-negara OPEC+.

Dilansir dari Reuters di Jakarta, Sabtu, harga minyak Brent naik USD0,86 atau sekitar 1,35 persen menjadi USD65,40 per barel. Sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat USD0,94 atau 1,5 persen ke posisi USD62,56 per barel.

Secara mingguan, kedua acuan harga minyak ini menguat masing-masing 2,3 persen dan 2,5 persen. Ini terjadi setelah sepanjang sesi sebelumnya sempat tertekan lebih dari 2 persen akibat kabar bahwa kesepakatan nuklir Iran kian mendekati titik terang. Kondisi ini berpotensi membuka kran ekspor minyak Iran ke pasar global.

“Ekspektasi kenaikan produksi dari OPEC+ dan kemungkinan tercapainya kesepakatan nuklir Iran telah memunculkan kembali sentimen bearish di pasar,” ujar Wakil Presiden Senior BOK Financial, Dennis Kissler.

Kissler menambahkan, untuk beberapa waktu ke depan, permintaan musiman—terutama sektor transportasi saat musim libur—akan sangat krusial guna menahan tekanan dari sisi suplai.

Presiden AS Donald Trump mengatakan Washington kini hampir mencapai kesepakatan nuklir baru dengan Teheran. Secara informal, Iran sudah “setuju” dengan sebagian besar isi perjanjian. Meski begitu, seorang sumber Reuters yang terlibat dalam pembicaraan menyebut masih ada beberapa poin krusial yang belum disepakati.

Analis dari ING menulis jika sanksi atas Iran resmi dicabut, negara tersebut bisa meningkatkan produksinya hingga 400 ribu barel per hari—angka yang cukup signifikan untuk menambah tekanan pada pasar global.

Sentimen investor juga terdongkrak oleh kabar baik dari dua raksasa ekonomi dunia. AS dan China, dua konsumen minyak terbesar, sepakat menekan tombol jeda atas perang dagang mereka selama 90 hari. Dalam periode itu, kedua pihak akan menurunkan bea masuk secara substansial sebagai bentuk goodwill.

Padahal sebelumnya, saling balas tarif antara kedua negara telah menimbulkan kekhawatiran soal dampak terhadap pertumbuhan ekonomi global—yang ujungnya bisa menekan permintaan energi secara luas.

Namun, analis dari BMI Research (unit Fitch Solutions) tetap mengingatkan, “Masa tenggang 90 hari ini memang memberi ruang bagi kemajuan pembicaraan, tapi ketidakpastian kebijakan perdagangan jangka panjang tetap menjadi ganjalan bagi reli harga minyak.”

Dari sisi geopolitik, negosiasi antara Ukraina dan Rusia untuk gencatan senjata kembali gagal. Pertemuan langsung pertama dalam tiga tahun itu berakhir tanpa titik temu. Namun, Ukraina menyebut syarat dari Moskwa sebagai “tidak masuk akal”.

Sementara itu, nilai tukar dolar AS menguat pada Jumat kemarin setelah data ekonomi terbaru menunjukkan lonjakan harga impor meskipun sentimen konsumen belum pulih. Dolar pun mencetak penguatan mingguan keempat secara berturut-turut.

JP Morgan: Harga Minyak bakal Turun di 2025-2026


Meski harga minyak sempat rebound di tengah mencairnya ketegangan dagang Amerika Serikat dan China, lembaga riset JP Morgan tetap memproyeksikan tren pelemahan harga bakal berlanjut setidaknya hingga dua tahun ke depan.

Dalam laporan terbarunya, JP Morgan mematok proyeksi harga Brent hanya USD66 per barel pada 2025 dan makin turun ke level USD58 per barel pada 2026. Proyeksi ini ditegaskan tak berubah, meskipun pasar saat ini sedang didorong euforia atas jeda perang tarif dua raksasa ekonomi dunia.

Kepala Strategi Komoditas Global JP Morgan, Natasha Kaneva, menyebut optimisme pasar tak cukup kuat untuk mengerek harga minyak ke level USD70-an seperti dulu. Pasalnya, pemerintahan Presiden Donald Trump justru lebih fokus menahan harga minyak agar tetap rendah guna menekan inflasi.

“Memang ada pandangan bahwa pernyataan damai dagang dan pergeseran kebijakan dari tarif ke pajak dan deregulasi bisa mendorong harga kembali ke level menengah USD70-an. Tapi kami melihat, untuk sektor energi, ‘Trump put’ tidak berlaku,” kata Kaneva dalam laporan yang dikutip dari laman JP Morgan.

Trump, menurut JP Morgan, justru secara terang-terangan ingin menjaga harga minyak di kisaran USD50 atau lebih rendah—yang ia nilai penting untuk mendukung stabilitas domestik. Selama harga belum turun ke bawah USD50 per barel jenis WTI—yang disebut sebagai titik kritis produksi shale oil AS—pemerintah diperkirakan tak akan intervensi.

Permintaan Loyo, Pasokan Makin Melimpah


Dari sisi fundamental, JP Morgan melihat keseimbangan antara pasokan dan permintaan masih condong ke arah bearish. Laju permintaan minyak global kini diperkirakan tumbuh hanya 800 ribu barel per hari (kbd) pada 2025, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 1,1 juta barel.

Sementara itu, sisi pasokan terus menanjak. OPEC dikabarkan menambah produksi 411 ribu barel per hari pada Juni lalu—bagian dari upaya disiplin kuota antaranggota. Namun, pasar global tampaknya belum banyak memperhitungkan sinyal baru ini. “Pasar masih meremehkan efek perubahan perilaku OPEC, padahal ini lebih bearish dibanding potensi perlambatan permintaan,” ujar Kaneva.

Negara-negara produsen utama juga mulai tancap gas. Uni Emirat Arab (UEA) memperluas kapasitas ladang-ladang minyak seperti Upper Zakum dan Bab, yang diprediksi menghasilkan tambahan 200 kbd per tahun selama 2025–2026. Kazakhstan lewat proyek pengeboran Tengiz menyumbang produksi baru 200 kbd, sementara Irak meningkatkan kapasitas penyulingannya di Kirkuk dan Basra.

Kuwait pun ikut bermain, memperkuat kapasitas dari formasi Light Jurassic, dan wilayah netral Saudi–Kuwait juga mencatat kenaikan produksi sekitar 40 kbd pada 2025.

Yang menarik, gelontoran dana jumbo untuk ekspansi ini sebagian besar datang dari perusahaan minyak raksasa dunia. JP Morgan memperkirakan lebih dari USD10 miliar dana asing akan diguyur ke proyek-proyek hulu minyak di Timur Tengah tiap tahun dari 2025 hingga 2027.

“Daya dorong harga dari pemangkasan satu juta barel per hari (mbd) sudah semakin loyo—dari USD10 di 2023, menjadi USD8 di 2024, dan hanya USD4 pada 2025,” kata Kaneva. “Kalau begitu, strategi menaikkan produksi justru bisa jadi cara paling realistis buat negara produsen untuk maksimalkan pendapatan.”

Tapi konsekuensinya, JP Morgan mengingatkan, pasar minyak dunia berisiko mengalami reset harga besar-besaran antara 2025 dan 2026, apalagi jika eskalasi pasokan tak diimbangi pemulihan permintaan.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).