Logo
>

Harga Minyak Naik Tipis Karena Serangan AS ke Houthi

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Naik Tipis Karena Serangan AS ke Houthi
Ilustrasi: Dua pekerja kilang minyak Pertamina berjalan di area fasilitas pengolahan minyak. Foto: Dok. BPH Migas.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Harga minyak menguat di awal pekan setelah Amerika Serikat menegaskan bakal terus menggempur kelompok Houthi di Yaman sampai mereka berhenti menyerang kapal-kapal di Laut Merah. 

    Dilansir dari Reuters di Jakarta, Senin, 17 Maret 2025, harga minyak Brent naik 41 sen atau 0,6 persen menjadi USD70,99 per barel (sekitar Rp1,17 juta), sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) juga naik 40 sen atau 0,6 persen ke USD67,58 per barel (sekitar Rp1,11 juta). 

    Serangan udara AS yang diklaim Kementerian Kesehatan Houthi telah menewaskan 53 orang ini disebut-sebut sebagai operasi militer terbesar AS di Timur Tengah sejak Donald Trump menjabat Presiden pada Januari lalu. Seorang pejabat AS mengatakan ke Reuters bahwa operasi ini bisa berlangsung selama berminggu-minggu. 

    Gangguan dari Houthi di jalur perdagangan Laut Merah bikin pusing banyak pihak, terutama karena serangan ini sudah menghambat perdagangan global. AS pun terpaksa menggelontorkan dana besar buat mencegat rudal dan drone kelompok tersebut. 

    Sementara itu, harga minyak yang sempat turun tiga minggu berturut-turut akhirnya berhasil naik lagi pekan lalu, meski tipis. Sentimen utama yang bikin harga rontok sebelumnya adalah kekhawatiran soal perlambatan ekonomi global akibat perang dagang yang makin panas antara AS dan negara lain. 

    Tapi euforia kenaikan harga ini tak bertahan lama. Setelah sempat melesat lebih dari 1 persen di awal sesi Asia, harga minyak terkoreksi lagi setelah China merilis data ekonomi yang campur aduk. Produksi industri mereka melambat di awal tahun ini, meskipun pertumbuhan penjualan ritel justru sedikit meningkat. 

    Pemerintah China sendiri tidak tinggal diam. Buat mendongkrak konsumsi domestik dan menjaga pemulihan ekonomi, mereka meluncurkan "rencana aksi khusus" yang diumumkan Minggu lalu. Tapi masalahnya, kebijakan ini muncul di tengah tekanan besar dari tarif dagang AS yang makin ganas terhadap China dan mitra dagang lainnya. 

    Di sisi lain, analis Goldman Sachs justru memangkas proyeksi harga minyak mereka. Bank investasi ini memperkirakan ekonomi AS bakal tumbuh lebih lambat dari yang diperkirakan, gara-gara efek tarif dagang Trump yang menekan negara seperti Kanada, China, dan Meksiko. 

    Goldman kini memotong target harga minyak Brent untuk Desember 2025 sebesar USD5 menjadi USD71 per barel (sekitar Rp1,17 juta), sementara WTI dipatok di USD67 per barel (sekitar Rp1,11 juta). Mereka juga merevisi rentang harga Brent ke USD65-80 per barel untuk 2026, dengan rata-rata harga Brent di USD68 dan WTI di USD64. 

    Alasannya adalah permintaan minyak global diprediksi tumbuh lebih lambat dari perkiraan sebelumnya, sementara produksi dari OPEC+ malah bakal melebihi ekspektasi. Selain itu, sentimen konsumen di AS anjlok ke level terendah dalam dua setengah tahun terakhir, sementara ekspektasi inflasi melonjak gara-gara tarif Trump yang diprediksi bakal bikin harga-harga naik dan menekan ekonomi. 

    Bank Sentral AS, The Fed, yang bakal rapat pekan depan diperkirakan masih bakal menahan suku bunga acuannya di kisaran 4,25-4,50 persen setelah memangkas 100 basis poin sejak September. Mereka masih berhitung soal dampak kebijakan Trump terhadap ekonomi sebelum ambil langkah selanjutnya. 

    EIA: Harga Minyak Bakal Melempem di 2025

    Grafik dari Badan Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan tren produksi dan konsumsi minyak dunia, perubahan stok minyak, serta proyeksi harga minyak mentah Brent hingga akhir 2026.

    Badan Informasi Energi AS (EIA) memproyeksi rata-rata harga minyak Brent bakal turun dari USD81 per barel (sekitar Rp1,34 juta) di 2024 ke USD74 per barel (sekitar Rp1,22 juta) pada 2025, lalu turun lagi ke USD66 per barel (sekitar Rp1,09 juta) di 2026.  

    Penyebabnya adalah produksi minyak global tumbuh lebih cepat dibanding permintaan. Jadi, meskipun ada ketegangan geopolitik dan OPEC+ masih menahan produksi, pasokan yang lebih besar bikin harga cenderung melemah.  

    Tapi, ada satu hal yang belum masuk hitungan, sanksi tambahan AS ke sektor minyak Rusia yang diumumkan 10 Januari 2025 lalu. Kalau sanksi ini benar-benar menghambat ekspor minyak Rusia, bisa saja keseimbangan pasokan global berubah dan harga minyak tak turun secepat prediksi awal.  

    Di sisi lain, EIA tetap melihat tren pelemahan harga berlanjut hingga 2026. Salah satu faktornya adalah lonjakan produksi dari negara-negara di luar OPEC+, sementara permintaan global tumbuh lebih lambat dibanding rata-rata sebelum pandemi. Dengan produksi yang lebih besar dari konsumsi, stok minyak dunia diperkirakan bakal terus menumpuk.  

    Meski begitu, bukan berarti harga bakal ambruk tanpa perlawanan. OPEC+ kemungkinan masih bakal membatasi produksi di 2025 dan 2026 demi menahan penurunan harga yang lebih dalam. Tapi kalau harga makin murah, investasi pengeboran minyak di AS juga bisa terhambat. Itu sebabnya, EIA memperkirakan produksi minyak AS hanya akan bertambah sedikit di 2026.  

    Satu hal yang pasti, yakni prediksi harga minyak selalu penuh tanda tanya. EIA sendiri mengakui bahwa banyak faktor bisa bikin harga berbelok dari skenario yang mereka susun.  

    Beberapa variabel utama yang bisa mengacak-acak harga minyak ke depan:  

    1. Kebijakan OPEC+: Kalau OPEC+ tiba-tiba melepas rem produksi, mereka bisa kehilangan pangsa pasar ke negara-negara lain.  
    2. Produksi Minyak AS: Pasokan minyak dari AS sangat tergantung harga. Kalau harga naik lebih tinggi dari prediksi, produksi AS bisa ikut melesat. Sebaliknya, kalau harga jeblok, produksi bisa ikut tersendat.  
    3. Permintaan Global: Sejauh ini, proyeksi EIA mengasumsikan konsumsi minyak bakal tumbuh lambat. Tapi kalau ekonomi dunia malah kencang atau ada perubahan struktural yang bikin permintaan naik tajam, harga bisa melonjak lebih tinggi dari ekspektasi.  


    Sebenarnya, tren ini sudah terlihat sejak 2023 dan 2024. Negara-negara di luar OPEC+ sukses meningkatkan produksi mereka dengan cukup signifikan, cukup untuk mengimbangi permintaan minyak dunia, meskipun OPEC+ menahan pasokan.  

    Sepanjang 2024, OPEC+ disebut memangkas produksi sebesar 1,3 juta barel per hari (bph), sementara negara-negara di luar kelompok ini malah menambah pasokan 1,8 juta bph. Tren ini masih diprediksi lanjut ke 2025 sebelum mulai melambat di 2026, seiring OPEC+ kembali meningkatkan produksi.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).