KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia melemah pada perdagangan Jumat seiring munculnya sinyal perlambatan ekonomi dari Amerika Serikat dan China, serta kekhawatiran akan bertambahnya pasokan global. Padahal, pasar sempat menguat oleh optimisme kesepakatan dagang AS dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi dalam jangka menengah.
Dilansir dari Reuters, harga minyak mentah Brent turun 32 sen atau setara 0,5 persen menjadi USD68,86 per barel (sekitar Rp1,12 juta dengan kurs Rp16.300). Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) turun 47 sen atau 0,7 persen ke USD65,56 per barel (sekitar Rp1,07 juta). Dalam sepekan, Brent tercatat melemah sekitar 1 persen, dan WTI turun sekitar 3 persen.
Presiden AS Donald Trump menyatakan peluang tercapainya kesepakatan dagang dengan Uni Eropa hanya 50:50 atau bahkan bisa lebih rendah. Meski begitu, ia mengklaim bahwa Brussels sangat ingin menyepakati perjanjian tersebut. Di sisi lain, sejumlah data ekonomi terbaru memperlihatkan bahwa zona euro tetap tangguh meski dibayangi ketidakpastian akibat perang dagang global.
Dari AS, pesanan barang modal buatan dalam negeri secara mengejutkan mengalami penurunan pada Juni. Meski pengiriman barang-barang tersebut masih tumbuh, data ini mengindikasikan bahwa belanja bisnis untuk peralatan menurun signifikan sepanjang kuartal kedua.
Trump juga mengungkapkan bahwa pertemuan terbarunya dengan Gubernur The Fed Jerome Powell berjalan baik. Ia mendapatkan kesan bahwa Powell mulai mempertimbangkan penurunan suku bunga. Ini merupakan langkah yang umumnya berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak karena menurunkan biaya pinjaman konsumen.
Namun kabar dari China justru menambah tekanan. Pendapatan fiskal negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia itu turun 0,3 persen sepanjang semester I 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menurut data Kementerian Keuangan China. Angka ini memperpanjang tren perlambatan sejak awal tahun.
Ancaman Pasokan Global
Pasar juga menghadapi tekanan dari sisi suplai. Pemerintah AS dilaporkan sedang bersiap memberi izin terbatas kepada mitra perusahaan migas Venezuela PDVSA, termasuk Chevron, untuk kembali beroperasi di negara tersebut. Jika terealisasi, ekspor minyak Venezuela bisa bertambah lebih dari 200.000 barel per hari—berita baik bagi kilang AS yang membutuhkan pasokan minyak mentah berat.
Dari Timur Tengah, Iran menyatakan akan melanjutkan pembicaraan nuklir dengan negara-negara Eropa setelah pertemuan langsung yang “serius dan mendalam” pada Jumat. Ini merupakan dialog pertama sejak serangan udara AS dan Israel terhadap Iran bulan lalu. Baik Iran maupun Venezuela adalah anggota OPEC. Jika sanksi ekspor terhadap kedua negara ini dilonggarkan, volume minyak global bisa meningkat tajam.
Sementara itu, Komite Pemantau Gabungan Menteri OPEC+ dijadwalkan bertemu pada Senin pukul 12.00 GMT. Namun empat sumber menyebut kepada Reuters bahwa pertemuan itu kemungkinan besar tidak akan mengubah kebijakan yang sudah ada, yaitu menaikkan produksi 548.000 barel per hari pada Agustus dari delapan negara anggota.
Di Rusia, produsen minyak terbesar kedua dunia setelah AS, ekspor minyak harian dari pelabuhan barat diperkirakan sekitar 1,77 juta barel per hari pada Agustus. Angka ini turun dari rencana Juli sebesar 1,93 juta barel, seiring ekspektasi peningkatan aktivitas kilang dalam negeri.(*)