Logo
>

Harga Rumah makin Mahal saat Daya Beli Turun

Ditulis oleh KabarBursa.com
Harga Rumah makin Mahal saat Daya Beli Turun

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Harga rumah tetap merangkak naik, meski dengan langkah hati-hati, di tengah penurunan kinerja penjualan properti residensial yang kian merosot pada kuartal II-2024.

    Menurut laporan terbaru dari Survei Harga Properti Residensial yang dirilis Bank Indonesia hari ini, Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) pada kuartal II mengalami peningkatan sebesar 1,76 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy).

    Kenaikan harga ini lebih terasa pada rumah-rumah kecil. IHPR untuk rumah tipe kecil melonjak paling tinggi, mencatat kenaikan sebesar 2,09 persen yoy, diikuti oleh rumah tipe besar yang mengalami kenaikan harga rata-rata sebesar 1,46 persen dalam periode yang sama. Sementara rumah tipe menengah mencatat kenaikan IHPR sebesar 1,45 persen.

    Peningkatan harga rumah terjadi di semua kota yang disurvei—sebanyak 18 kota—dengan Pontianak, Kalimantan Barat, menjadi pemuncak dengan lonjakan IHPR sebesar 5,40 persen yoy, diikuti oleh Pekanbaru dan Balikpapan.

    Namun, ada empat kota dari 18 yang mencatat perlambatan kenaikan harga rumah, salah satunya Kota Batam yang mengalami penurunan dari 4,58 persen pada kuartal pertama menjadi hanya 2,25 persen yoy pada kuartal kedua tahun ini.

    Penjualan Anjlok

    Meski kenaikan harga rumah terjadi di berbagai kota, laju penjualan rumah di pasar primer justru mengalami kemerosotan drastis secara kuartalan.

    Survei mencatat bahwa penjualan properti residensial pada kuartal II-2024 hanya mencapai 7,30 persen yoy, turun tajam dibanding kuartal sebelumnya yang mencatat angka 31,16 persen yoy. Penurunan ini paling terasa pada rumah tipe kecil.

    Penjualan rumah tipe kecil, yang pada awal tahun ini melonjak hingga 37,84 persen, kini hanya tumbuh 4,51 persen yoy. Rumah tipe menengah juga mengalami penurunan pertumbuhan, dari 13,57 persen menjadi hanya naik 3,01 persen yoy pada kuartal II.

    Sementara itu, rumah tipe besar masih menunjukkan performa penjualan yang cukup baik dengan pertumbuhan 27,41 persen, meski melambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang mencatat pertumbuhan sebesar 48,51 persen.

    Penurunan penjualan properti ini disinyalir disebabkan oleh sejumlah hambatan dari sisi pengembangan maupun pemasaran. Menurut responden, kendala utamanya meliputi kenaikan harga material bangunan, masalah perizinan, tingkat suku bunga KPR, serta tingginya proporsi uang muka dalam pengajuan KPR, jelas Bank Indonesia.

    Secara kuartalan, penjualan rumah di Indonesia pada kuartal dua juga mengalami kontraksi sebesar 12,8 persen qtq, setelah sebelumnya tumbuh 12,89 persen pada kuartal pertama.

    Penurunan tajam ini terutama disebabkan oleh penurunan kinerja penjualan rumah tipe kecil dan menengah, yang masing-masing mencatat angka negatif sebesar 16,68 persen dan 13,68 persen.

    Survei juga mengungkap bahwa mayoritas pengembang membiayai pembangunan properti residensial mereka dengan dana internal perusahaan, yang mencapai 74,69 persen dari total sumber pembiayaan. Sementara itu, pinjaman dari bank mencapai 15,52 persen dan pembayaran dari pembeli sebesar 6 persen.

    Di sisi konsumen, pembelian rumah pertama mayoritas dilakukan dengan dukungan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang mencakup 75,52 persen dari total transaksi. Mekanisme pembayaran tunai bertahap mencakup 17,1 persen, sedangkan pembayaran kas keras sebesar 7,38 persen.

    Secara tahunan, total nilai kredit KPR tercatat tumbuh 13,97 persen yoy, angka ini relatif stabil dibanding kuartal pertama 2024 yang mencatat pertumbuhan sebesar 13,91 persen yoy.

    Kinerja Properti 2024

    Pada tahun 2024, prospek sektor properti global tampak dibayangi ketidakpastian yang signifikan, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang masih lambat. Berbagai lembaga internasional, termasuk IMF, Bank Dunia, dan lainnya, telah merilis proyeksi mereka untuk tahun ini.

    Sebagian besar prediksi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2024 akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagai contoh, IMF pada 30 Oktober 2023 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya akan mencapai 2,9 persen, sedikit lebih rendah dari 3,0 persen yang diprediksi untuk 2023. Perlambatan ini sebagian besar disebabkan oleh melambatnya ekonomi di Amerika Serikat, Eropa, dan China.

    Sejalan dengan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi global, kinerja sektor properti diperkirakan akan terpengaruh. Di China, khususnya, sektor properti mengalami kemerosotan yang signifikan akibat krisis kebangkrutan beberapa korporasi besar dalam beberapa tahun terakhir, yang justru memperburuk perlambatan pertumbuhan ekonomi.

    Penurunan investasi properti berdampak luas pada perekonomian, mengurangi investasi di berbagai sektor lain. Hal ini disebabkan keterkaitan erat sektor properti dengan sektor-sektor ekonomi lainnya, seperti manufaktur bahan konstruksi, produk logam dan mineral, serta mesin dan peralatan.

    Pada September 2023, lembaga pemeringkat kredit Moody's menilai sektor properti di China masih dalam kondisi lemah secara fundamental. Moody's bahkan merevisi outlook sektor ini dari stabil menjadi negatif, seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi di China.

    Walaupun ada harapan untuk pemulihan sektor properti di China pada tahun ini, perbaikan tersebut diperkirakan akan terbatas, terutama untuk korporasi yang berstatus badan usaha milik negara (BUMN). Korporasi properti swasta diprediksi masih akan menghadapi tantangan besar akibat keterbatasan finansial dan akses pendanaan, dengan penjualan properti kemungkinan masih mengalami kontraksi dalam 12 hingga 18 bulan ke depan.

    Berbagai otoritas ekonomi di negara-negara telah mulai mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi sektor properti di wilayah mereka masing-masing. Di China, pemerintah dan otoritas keuangan telah meluncurkan kebijakan untuk memperbaiki kinerja keuangan korporasi di sektor properti serta meningkatkan daya beli masyarakat.

    Langkah-langkah tersebut mencakup dukungan finansial kepada pengembang dan pembeli rumah serta upaya untuk menanggulangi spekulasi di pasar properti. Otoritas pasar modal China, seperti China Securities Regulatory Commission (CSRC), pada November 2022 mengeluarkan kebijakan untuk mendukung pembiayaan berbasis saham bagi para pengembang, dengan tujuan menstabilkan kondisi pendanaan setelah akses utang menjadi sangat terbatas. (*)

     

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi