KABARBURSA.COM - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan bahwa Pemerintah tidak punya waktu yang banyak untuk mencegah kenaikan tempratur yang mana bakal berdampak pada perubahan iklim
"Nah kita punya waktu terbatas untuk mencegah kenaikan temperatur lebih tinggi dari satu setengah derajat," katanya kepada Kabar Bursa, Sabtu 1 Juni 2024.
Pasalnya, Ia menambahkan, dampak perubahan iklim diproyeksikan akan semakin besar pada tahun 2030 dan puncaknya di 2050, dengan kenaikan temperatur yang signifikan.
"Perubahan iklim disebabkan oleh pemanasan global, yang membuat temperatur bumi lebih tinggi dari seharusnya. Temperatur yang lebih tinggi ini mengganggu sistem iklim di bumi," kata Fabby.
Diketahui, Kementerian Keuangan mengestimasikan bahwa perubahan iklim tidak dapat teratasi akan berdampak pada pemangkasan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 2,87 persen.
Dengan estimasi tersebut Fabby menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak ragu untuk berinvestasi menggunakan instrumen APBN demi melakukan transisi energi di Indonesia.
"Jika pemerintah sudah mengakui dampak perubahan iklim, seharusnya mereka berani berinvestasi dalam transisi energi. Ini juga bisa mendorong negara-negara lain untuk mempercepat transisi energi mereka," jelasnya.
Lebih lanjut, Fabby menjelaskan hari ini temperatur global sudah naik 1,2°C sejak abad ke-19. Para ahli telah memperingatkan bahwa kenaikan ini tidak boleh terus terjadi karena dampaknya pada sosial dan ekonomi akan sangat besar.
Sementara kesepakatan di Paris Agreement menyatakan bahwa kenaikan temperatur maksimum harus di bawah 2°C. Lalu pada pada 2018, para ahli memperingatkan bahwa kenaikan 2°C akan memiliki dampak ekonomi lebih tinggi. Sehingga kesepakan yang baru yakni temperatur maksimum harus di bawah 1,5°C.
"Sekarang, seluruh dunia berupaya memastikan kenaikan temperatur tidak lebih dari 1,5°C," katanya.
Di samping itu, Fabby juga mengomentari pernyataan kemenkeu soal dampak negatif perubahan iklim dapat mengurangi pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 2,87 persen.
angka yang dilaporkan oleh Kementerian Keuangan ini dianggap masih terlalu rendah. Menurut Fabby, berdasarkan beberapa studi, dampak perubahan iklim sebenarnya bisa mengurangi PDB hingga 5 persen.
“Angka 2,87 persen itu tergolong rendah karena beberapa studi menunjukkan bahwa dampaknya bisa berkisar antara 2 persen hingga 5 persen,” ujarnya
Fabby menjelaskan, bahwa pemangkasan PDB memang bisa dipengaruhi oleh perubahan iklim, tergantung pada kenaikan temperatur. Kenaikan temperatur ini dapat menyebabkan berbagai hal yang dapat mempengaruhi ekonomi, salah satunya adalah kenaikan muka air laut.
Dia menerangkan, saat es di kutub mencair, muka air laut naik, menyebabkan daerah pesisir tenggelam. Kerugian yang timbul dari ini adalah tanah yang tidak bisa lagi menjadi tanah produktif, seperti tambak di pinggir laut yang hilang potensinya. Infrastruktur seperti jalan dan jembatan juga terdampak, dan kawasan pertanian bisa terganggu oleh intrusi air laut.
“Kemudian, daerah pemukiman akan terdampak, orang harus pindah dan melakukan relokasi, serta ada kerugian ekonomi dari infrastruktur yang tergenang akibat kenaikan muka air laut tersebut,” jelas dia.
Selain itu, kenaikan temperatur juga dapat menurunkan produktivitas kerja karena orang lebih mudah sakit, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan output ekonomi.
Perubahan iklim juga mengganggu produksi pangan, setiap kenaikan 0,1 derajat Celsius bisa mengurangi produktivitas pangan hingga 10 persen.
Jika produktivitas pangan menurun, akan terjadi kekurangan pasokan yang menyebabkan harga naik, dan hal ini berdampak pada inflasi.
Fabby pun mengatakan untuk mengurangi risiko perubahan iklim, Pemerintah harus memangkas emisi gas rumah kaca, yang mana 70 persen dari emisi gas rumah kaca itu dihasilkan oleh energi fosil.
“Jadi, dampak perubahan iklim terhadap ekonomi kita sangat besar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk mengakselerasi transisi energi,” tandas dia.
Kurangi Pendapatan PDB
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa dampak negatif perubahan iklim dapat mengurangi pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 2,87 persen. Namun, angka yang dilaporkan oleh Kementerian Keuangan ini dianggap masih terlalu rendah. Menurut Fabby, berdasarkan beberapa studi, dampak perubahan iklim sebenarnya bisa mengurangi PDB hingga 5 persen.
“Angka 2,87 persen itu tergolong rendah karena beberapa studi menunjukkan bahwa dampaknya bisa berkisar antara 2 persen hingga 5 persen,” ujar Fabby kepada Kabar Bursa, Jumat, 31 Mei 2024.
Fabby menjelaskan, bahwa pemangkasan PDB memang bisa dipengaruhi oleh perubahan iklim, tergantung pada kenaikan temperatur. Kenaikan temperatur ini dapat menyebabkan berbagai hal yang dapat mempengaruhi ekonomi, salah satunya adalah kenaikan muka air laut.
Dia menerangkan, saat es di kutub mencair, muka air laut naik, menyebabkan daerah pesisir tenggelam. Kerugian yang timbul dari ini adalah tanah yang tidak bisa lagi menjadi tanah produktif, seperti tambak di pinggir laut yang hilang potensinya. Infrastruktur seperti jalan dan jembatan juga terdampak, dan kawasan pertanian bisa terganggu oleh intrusi air laut.
“Kemudian, daerah pemukiman akan terdampak, orang harus pindah dan melakukan relokasi, serta ada kerugian ekonomi dari infrastruktur yang tergenang akibat kenaikan muka air laut tersebut,” jelas dia.
Selain itu, kenaikan temperatur juga dapat menurunkan produktivitas kerja karena orang lebih mudah sakit, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan output ekonomi.
Perubahan iklim juga mengganggu produksi pangan, setiap kenaikan 0,1 derajat Celsius bisa mengurangi produktivitas pangan hingga 10 persen. Jika produktivitas pangan menurun, akan terjadi kekurangan pasokan yang menyebabkan harga naik, dan hal ini berdampak pada inflasi.