KABARBURSA.COM - Pada penutupan perdagangan Selasa, 2 Juli 2024 sore, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami penurunan di tengah tren positif yang terjadi di bursa saham kawasan Asia.
IHSG turun sebesar 14,48 poin atau 0,20 persen, berakhir di level 7.125,14. Indeks LQ45, yang terdiri dari 45 saham unggulan, juga mencatat penurunan sebesar 3,93 poin atau 0,44 persen, berakhir di posisi 892,71.
Tim Riset Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan dalam kajian mereka di Jakarta bahwa penguatan bursa saham Asia didorong oleh pandangan positif pelaku pasar terhadap data manufaktur Amerika Serikat (AS) yang menunjukkan kontraksi.
Menurut laporan dari Institute for Supply Management (ISM), aktivitas manufaktur AS berada di angka 48,5, sedikit turun dari 48,7 pada bulan sebelumnya dan di bawah angka 50 yang menandakan kontraksi.
Data tersebut memberikan gambaran mengenai kondisi ekonomi AS yang melemah, sehingga meningkatkan peluang pemangkasan suku bunga acuan oleh The Federal Reserve (The Fed).
Sementara itu, Menteri Keuangan Jepang, Shunichi Suzuki, menegaskan kembali pada hari Selasa bahwa pemerintah Jepang terus mengawasi pergerakan mata uang asing.
Suzuki menyatakan bahwa nilai tukar mata uang mencerminkan berbagai faktor kompleks yang harus diperhatikan.
Selain itu, pasar didukung oleh kenaikan harga minyak mentah berjangka. Harga Brent naik di atas USD86,8 per barel, sedangkan WTI mencapai USD83,38 per barel.
Kenaikan ini disebabkan oleh prospek permintaan yang lebih tinggi selama musim panas dan spekulasi terhadap penurunan suku bunga The Fed setelah moderasi inflasi AS memicu optimisme akan pemangkasan suku bunga lebih awal.
IHSG dibuka menguat dan bertahan di teritori positif hingga penutupan sesi pertama perdagangan. Namun, pada sesi kedua, IHSG bergerak ke zona merah hingga penutupan perdagangan.
Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, empat sektor mengalami kenaikan, dipimpin oleh sektor energi yang naik sebesar 1,44 persen, diikuti oleh sektor properti yang naik 0,71 persen, dan sektor barang konsumen non-primer yang naik 0,28 persen.
Di sisi lain, tujuh sektor mengalami penurunan, dengan sektor industri turun paling dalam sebesar 1,43 persen, diikuti oleh sektor transportasi dan logistik yang turun 1,25 persen, serta sektor kesehatan yang turun 0,96 persen.
Saham-saham yang mengalami kenaikan terbesar antara lain LABA, WIKA, KPIG, ATLA, dan GDST. Sementara itu, saham-saham yang mengalami penurunan terbesar adalah KJEN, IBOS, BULL, TOSK, dan DATA.
Frekuensi perdagangan tercatat sebanyak 979,69 kali transaksi dengan volume perdagangan mencapai 13,66 miliar saham senilai Rp10,16 triliun. Ada 261 saham yang naik, 270 saham turun, dan 251 saham tidak mengalami perubahan nilai.
Di bursa regional Asia, indeks Nikkei mengalami kenaikan 443,59 poin atau 1,12 persen ke level 40.074,69, indeks Hang Seng naik 50,53 poin atau 0,29 persen ke 17.769,14, indeks Shanghai naik 2,28 poin atau 0,08 persen ke 2.997,01, dan indeks Strait Times naik 27,55 poin atau 0,83 persen ke 3.366,12.
Rupiah Melemah
Pada perdagangan hari ini, Selasa, 2 Juli 2024, nilai tukar Rupiah mengalami pelemahan sebesar 75 poin atau 0,46 persen menjadi Rp16.396 per USD. Data mencatat, Rupiah dibuka pada level Rp16.375 per USD sebelum mengalami penurunan.
Ibrahim Assuaibi, seorang Pengamat Pasar Uang, menjelaskan bahwa dolar AS stabil terhadap mata uang lainnya setelah mengalami pemulihan dari penurunan pada Senin, 1 Juli 2024. Fokus pasar saat ini terpusat pada isyarat terkait kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed) AS yang akan dirilis dalam beberapa hari ke depan.
Jerome Powell, Gubernur The Fed, dijadwalkan untuk berbicara pada konferensi Bank Sentral Eropa pada hari itu, sementara risalah pertemuan The Fed untuk bulan Juni akan dirilis pada Rabu, 10 Juli mendatang.
“Diperkirakan data utama nonfarm payrolls untuk bulan Juni yang akan dirilis pada Jumat akan memberikan wawasan lebih lanjut mengenai pasar tenaga kerja, yang merupakan pertimbangan utama bagi The Fed dalam kebijakan pemangkasan suku bunga,” ungkap Ibrahim dalam risetnya.
Pasar juga mencermati pernyataan dari sejumlah pejabat Fed yang menekankan perlunya lebih banyak kepercayaan diri dalam mengendalikan inflasi sebelum memangkas suku bunga. Di samping itu, pernyataan dari menteri Jepang menunjukkan kewaspadaan terhadap pergerakan pasar mata uang, khususnya terkait dengan pasangan USD-JPY yang diperdagangkan di atas level 160 yen, yang sebelumnya memicu intervensi pada bulan Mei.
“Para pedagang spekulasi bahwa pemerintah mungkin akan menunggu volume pasar yang rendah selama libur Hari Kemerdekaan AS pada 4 Juli untuk melakukan intervensi,” tambah Ibrahim.
Sementara itu, data terbaru mengenai indeks manajer pembelian dari China memberikan isyarat yang beragam mengenai pemulihan ekonomi di negara tersebut. Sidang Pleno Ketiga Partai Komunis China yang dijadwalkan pada bulan Juli diharapkan dapat memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai arah kebijakan ekonomi China ke depan.
Sentimen domestik terkait dengan kondisi industri manufaktur Indonesia menjadi sorotan utama dalam analisis Ibrahim, dimana Purchasing Manager’s Index (PMI) menurun menjadi 50,7 pada Juni 2024 dari 52,1 pada bulan sebelumnya. Meskipun terjadi perlambatan ekspansi, sektor ini telah menunjukkan kondisi ekspansif selama 34 bulan berturut-turut hingga Juni 2024.
Pemerintah memberikan apresiasi terhadap upaya industri dalam mempertahankan optimisme dan produktivitas di tengah ketidakpastian ekonomi global. Namun, menurut Ibrahim, optimisme pelaku industri terkait dengan perkembangan bisnis mendatang menurun signifikan.
Laporan S&P Global juga mengindikasikan bahwa manufaktur nasional kehilangan momentum pada Juni 2024 akibat kenaikan output yang melambat, permintaan baru yang turun, dan penjualan yang melambat. Hal ini mengakibatkan penurunan dalam PMI manufaktur Indonesia pada bulan tersebut.
Kepercayaan terhadap kondisi output 12 bulan mendatang juga masih rendah, mencatat posisi terendah dalam 4 tahun terakhir sejak Mei lalu, yang dipengaruhi oleh menurunnya pesanan dari luar negeri akibat kondisi pasar global, restriksi perdagangan, dan regulasi yang kurang mendukung.
Salah satu regulasi yang disebut adalah Peraturan Menteri Perdagangan No 8/2024 yang merelaksasi impor barang sejenis dengan produk dalam negeri, yang juga berdampak negatif terhadap optimisme industri dan PMI.
Berdasarkan analisis ini, Ibrahim memprediksi bahwa nilai tukar Rupiah untuk perdagangan berikutnya akan cenderung fluktuatif, dengan perkiraan penutupan dalam rentang Rp16.380-Rp16.470 per USD. Sentimen ekonomi domestik yang menurun ini akan terus menjadi fokus pasar dalam mengukur kesehatan ekonomi Indonesia ke depan.
Kurs rupiah menguat pada Senin, 1 Juli 2024. Rupiah di pasar spot menguat 0,33 persen ke level Rp16.321 per dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara itu, di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah juga naik 0,23 persen ke level Rp16.355 per dolar AS.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan, penguatan rupiah didorong sentimen deflasi bulanan di Indonesia pada Juni 2024. Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia mencatat deflasi bulanan sebesar 0,08 persen Month on Month (MoM) pada Juni 2024, lebih dalam dibandingkan periode sebelumnya yang sebesar 0,03 persen MoM.
Selain itu, secara tahunan, inflasi melambat menjadi 2,51 persen secara year on year (YoY) dari 2,84 persen YoY. Perlambatan inflasi tahunan ini meningkatkan real yield dari aset domestik, sehingga menarik aliran masuk ke pasar keuangan domestik.
“Penguatan rupiah juga didukung sentimen risk-on di pasar global, sejalan dengan hasil Pemilu Prancis,” kata Josua kepada media, Senin, 1 Juli 2024 kemarin.
Namun, Josua memprediksi rupiah akan bergerak melemah terbatas, seiring dengan proyeksi membaiknya data-data manufaktur dan konstruksi AS. (*)