KABARBURSA.COM - Hingga penutupan sesi pertama bursa saham Rabu, 9 April 2025, Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG masih terpantau melemah dengan penurunan 0,33 persen atau turun 19 poin di level 5.976. IHSG dibuka melemah sebesar 0,40 persen ke level 5.972.
Meski cenderung mengalami pelemahan hingga sesi I, IHSG mulai menunjukkan penguatan setelah mengalami trading halt karena koreksi mendalam pada Selasa, 8 April 2025. Pada pukul 10:41 WIB misalnya, indeks terpantau menghijau dengan penguatan 0,69 persen ke level 6.037.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, penguatan IHSG dikarenakan fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat.
"Jadi, ini membuat IHSG kita seperti semacam anomali jika dibandingkan (dengan bursa di kawasan Asia yang rata-rata merah, tapi anomali positif," kata Nafan saat dihubungi KabarBursa.com, Rabu, 9 April 2025.
Faktor lainnya yang membuat IHSG mulai menguat ialah kondisi daya beli masyarakat Indonesia yang relatif masih kuat. Nafan mengatakan, inflasi Indonesia kini berada di kisaran antara 1,5 persen hingga 3,5 persen.
"Di sisi lain, kita mengapresiasi bahwasannya PMI Manufaktur Indonesia sudah ekspansif selama 4 bulan berturut-turut," jelas dia.
Selain itu, menurut Nafan, keputusan pemerintah dalam melakukan negosiasi mengenai tarif baru Amerika Serikatt menciptakan win win solution dalam hal pemenuhan nasional interest untuk kedua negara.
"Sebenarnya bisa kita menegosiasikan kembali misalnya kita membeli produk-produk yang kita tidak miliki dari Amerika Serikat, sehingga bisa menjadi balance of trade (5:08) yang lebih adil," pungkasnya.
Adapun Analis Teknikal dari MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana atau yang akrab disapa Didit, menjelaskan saat ini IHSG kemungkinan sedang bergerak di bagian wave (iii) dari wave [v] dalam skenario hitam.
“Meskipun menguat, nampaknya akan terbatas untuk menguji rentang 6.026–6.114. Namun waspadai tetap koreksi lanjutan di mana IHSG akan mengarah ke 5.633–5.770,” ujar Didit dalam catatan teknikal harian yang dikutip KabarBursa.com, Selasa, 9 April 2025.
Dalam waktu dekat, kata Didit, IHSG diperkirakan akan bergerak dengan batas bawah (support) di kisaran 5.825 hingga 5.742. Sementara untuk batas atas (resistance), penguatan indeks kemungkinan tertahan di area 6.142 sampai 6.265. Artinya, meskipun ada peluang teknikal untuk naik, ruang geraknya masih terbatas dan rawan dibalik arah oleh tekanan jual.
MNC Sekuritas juga membagikan daftar saham yang menarik untuk dipantau dengan strategi Buy on Weakness. Meski banyak saham mengalami tekanan, beberapa di antaranya justru berada di ujung koreksi dan berpotensi rebound.
Inflasi Rendah, Domestik Lemah: Pertumbuhan Direvisi Turun
Tren inflasi Indonesia pada Maret 2025 menunjukkan sinyal campuran. Meski secara bulanan mengalami lonjakan karena faktor musiman, tekanan harga secara tahunan masih tergolong rendah.
Ekonom senior Fithra Faisal Hastiadi menilai bahwa inflasi rendah justru bisa menjadi sinyal lemahnya permintaan domestik, di tengah ancaman ketidakpastian global dan pelemahan nilai tukar rupiah.
“Pada Maret 2025, indeks harga konsumen (IHK) hanya naik 1,03 persen secara tahunan (year-on-year), lebih rendah dari konsensus pasar sebesar 1,16 persen, meski masih lebih tinggi dari perkiraan internal kami yang sebesar 0,8 persen setelah penurunan 0,09 persen pada Februari 2025,” ujar Fithra dalam risetnya yang diterima oleh KabarBursa.com di Jakarta, Rabu 9 April 2025.
Ia menjelaskan, lonjakan inflasi bulanan sebesar 1,65 persen yang membalikkan deflasi 0,48 persen di Februari lebih dipicu oleh efek musiman menjelang Idulfitri dan normalisasi tarif listrik yang sebelumnya sempat mendapat diskon pada awal tahun. Namun, angka tersebut masih berada di bawah proyeksi pasar sebesar 1,79 persen.
“Permintaan musiman dan efek basis rendah dari bulan sebelumnya akibat pengurangan subsidi pemerintah mendorong kenaikan ini. Tapi secara umum inflasi inti tetap stabil karena harga komoditas melemah seiring turunnya pendapatan petani,” jelasnya.
Dalam pandangan pasar, lanjut Fithra, lingkungan inflasi yang relatif jinak ini memberikan ruang bagi investor untuk mempertimbangkan aset pendapatan tetap seperti obligasi pemerintah jangka panjang, karena ekspektasi suku bunga yang tidak terlalu agresif. Namun, ia mengingatkan bahwa sektor konsumsi yang selama ini menjadi motor penggerak pasar saham juga menghadapi tantangan baru.
“Sektor kebutuhan pokok dan ritel makanan bisa mendapat keuntungan, tetapi tekanan biaya yang terus naik bisa mempersempit margin keuntungan jika inflasi inti meningkat,” katanya.
Meski angka utama inflasi menunjukkan kenaikan, Fithra memperkirakan tekanan harga inti akan tetap terkendali dalam waktu dekat. Namun demikian, ia melihat bahwa rendahnya inflasi bisa menjadi refleksi dari permintaan yang lemah, bukan hanya keberhasilan kebijakan pengendalian harga.
“Kita harus jujur bahwa inflasi yang rendah ini juga bisa berarti daya beli masyarakat masih lemah. Ini sejalan dengan revisi pertumbuhan PDB Indonesia untuk tahun 2025 yang diturunkan menjadi 4,8 hingga 4,9 persen dari sebelumnya 4,97 persen,” ungkap Fithra.
Ia menambahkan, suku bunga kemungkinan besar masih akan tetap tinggi karena nilai tukar rupiah yang rentan terhadap gejolak global, khususnya dari dinamika suku bunga eksternal dan ketegangan geopolitik.
“Jadi meskipun inflasi terkendali, prospek pertumbuhan tetap harus dibaca dengan hati-hati,” pungkasnya.(*)