KABARBURSA.COM - Menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti perjalanan panjang 10 tahun pemerintahannya. Semua kebijakan dan pertumbuhan selama dua periode Jokowi tak luput dari evaluasi, dengan sejumlah catatan penting yang tampaknya masih harus digarap lebih serius.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengungkapkan bahwa meski terdapat sejumlah capaian, kenyataannya masih ada banyak persoalan yang perlu dibenahi.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang hanya berkutat di angka 5 persen belum mampu membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap, sebuH status yang seolah menjadi jeratan permanen.
"Pertumbuhan 5 persen ini nyatanya tidak bisa mendorong Indonesia keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah," tegas Esther dalam Seminar Nasional Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024.
Namun, pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya sorotan. Ketimpangan ekonomi yang terus membayangi bahkan semakin melebar, menurut Esther, menjadi sinyal bahaya lain yang tak bisa diabaikan.
Modal dan kekayaan terus menumpuk di tangan segelintir elit, sementara investasi yang masuk tak kunjung membawa angin segar bagi penciptaan lapangan kerja. Realitas ini, bagi Esther, merupakan bom waktu yang harus segera ditangani.
"Ini semua menimbulkan kekhawatiran. Indonesia harus keluar dari jebakan pendapatan menengah," lanjutnya
Tak hanya di bidang ekonomi, sorotan Esther juga mengarah pada kemunduran demokrasi di bawah pemerintahan Jokowi. Demokrasi yang kian tergerus, disertai praktik KKN yang semakin terang-terangan, menurutnya adalah tanda bahwa Indonesia sedang mengalami pelambatan dalam proses demokratisasi.
“Status Indonesia saat ini adalah slow democracy,” ungkapnya
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana mengungkapkan masih terdapat regulasi yang dianggap membebani demokrasi dan memperburuk indeks persepsi korupsi seperti UU KPK dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2021 tentang Proyek Strategis Nasional (PSN).
Regulasi ini, tegas Andri, justru memperparah kondisi demokrasi dan menjauhkan kepercayaan investor dalam jangka panjang. Indonesia, yang dahulu dikenal sebagai negara dengan potensi demokrasi yang besar, kini terlihat tenggelam dalam birokrasi korup yang merusak fondasi ekonomi negara.
"Regulasi-regulasi yang menghambat indeks demokrasi dan persepsi korupsi seperti UU KPK ini jugalah yang sebenarnya berkontribusi menyebabkan tingkat ICOR tetap tinggi serta menjauhkan kepercayaan investor dalam jangka panjang," jelas dia kepada Kabar Bursa, 3 Oktober 2024.
Diketahui, angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di Indonesia mencapai 6,5. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samorin, menilai tingginya ICOR ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk investasi yang tidak efisien, korupsi, ketidakpastian regulasi, serta perencanaan yang buruk.
"Untuk tumbuh di atas 8 persen itu sangat berat bagi Indonesia, karena kita memiliki hambatan ekonomi yang boros modal. Untuk mencapai pertumbuhan tinggi, tentunya dibutuhkan investasi, tetapi ICOR Indonesia cenderung meningkat, yaitu 6,5," ujar Wijayanto.
Menurut Wijayanto, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp12.480 triliun, atau setara dengan 52 persen dari PDB, sebuah angka yang hampir mustahil dicapai dalam jangka pendek.
"ICOR yang tinggi ini mengindikasikan bahwa investasi di Indonesia tidak berjalan optimal. Banyak biaya tersembunyi yang membuat ekonomi kita boros modal," jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) turut menyumbang pada tingginya ICOR.
"Proyek-proyek ini adalah contoh dari perencanaan terbalik, di mana pemerintah tampak terburu-buru tanpa perhitungan matang sejak awal. Ini jelas berdampak buruk pada daya saing ekonomi kita," tegas Wijayanto.
Dalam konteks ini, ia menyarankan agar pemerintah mendatang lebih fokus pada kualitas pertumbuhan ekonomi, bukan hanya mengejar angka.
"Kita tidak bisa terus terjebak dalam dogma pertumbuhan 8 persen. Yang terpenting adalah bagaimana pertumbuhan tersebut bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya bagi segelintir elite," tutupnya.
Lebih lanjut, Wijayanto menyoroti kekhawatirannya terhadap tingginya ICOR di Indonesia, yang kini mencapai 6,5. Angka ICOR ini menjadi hambatan serius bagi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen.
Wijayanto menjelaskan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar itu, Indonesia memerlukan investasi yang sangat besar, yakni sekitar Rp12.480 triliun, atau setara dengan 52 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, ia menganggap hal ini hampir mustahil dalam jangka pendek, mengingat kondisi ekonomi saat ini.
"ICOR yang tinggi menunjukkan bahwa investasi di Indonesia tidak efisien. Ini artinya kita membutuhkan investasi yang lebih besar untuk mencapai pertumbuhan, tetapi hasilnya relatif kecil. Ini adalah ukuran dari inefisiensi penggunaan modal," jelasnya.
Wijayanto menekankan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang tinggi, efisiensi modal harus diperbaiki. "Meningkatkan investasi penting, tetapi menekan ICOR juga tak kalah pentingnya," pungkasnya.
Ia juga menyoroti bahwa rasio investasi saat ini baru mencapai 30 persen, sehingga target pertumbuhan 8 persen sulit tercapai dalam waktu dekat. Menurutnya, fokus pemerintah seharusnya pada efisiensi modal, bukan hanya meningkatkan investasi.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.