KABARBURSA.COM - Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, melontarkan kritik tajam terhadap langkah pemerintah yang menawarkan peningkatan impor gandum dan kapas dari Amerika Serikat sebagai respons atas tekanan tarif tinggi yang diberlakukan selama masa pemerintahan Presiden Donald Trump.
Menurutnya, strategi tersebut justru melemahkan posisi Indonesia dalam percaturan dagang global dan menunjukkan sikap yang terlalu kompromistis atau terlalu mengalah terhadap tekanan negara besar.
“Strategi Indonesia yang menawarkan peningkatan impor dari Amerika Serikat sebagai alat negosiasi untuk menekan tarif tinggi Presiden Trump patut dipertanyakan efektivitasnya. Kebijakan ini terkesan menempatkan Indonesia dalam posisi pasif dan terlalu mengandalkan goodwill dari pihak AS,” tegas Syafruddin kepada KabarBursa.com di Jakarta, Rabu 9 April 2025.
Ia menilai, keputusan tarif dari AS sangat dipengaruhi oleh dinamika politik dan agenda proteksionisme dalam negeri mereka. Oleh karena itu, menawarkan peningkatan impor tanpa jaminan timbal balik konkret justru berisiko menyerahkan posisi tawar Indonesia tanpa kepastian manfaat ekonomi yang sepadan.
“Menawarkan peningkatan impor tanpa jaminan penurunan tarif yang konkret sama saja dengan menyerahkan posisi tawar tanpa kepastian imbal balik,” kata Syafruddin.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa pendekatan tersebut bisa mengaburkan arah kebijakan perdagangan nasional. Alih-alih memperkuat ketahanan pangan dan diversifikasi mitra dagang, Indonesia malah terseret dalam kebijakan reaktif yang justru membuatnya mudah ditekan.
“Ketika pemerintah lebih memilih jalan lunak tanpa menegosiasikan imbal balik yang jelas, posisi Indonesia sebagai negara berdaulat dalam perdagangan global menjadi lemah dan mudah ditekan,” ujar Syafrudin.
Ia juga menyoroti risiko preseden buruk yang bisa ditimbulkan dari strategi tersebut. Bila Indonesia terus bersikap terlalu kompromistis, maka akan muncul kesan bahwa Indonesia siap mengorbankan industri domestiknya hanya demi menghindari konflik dagang dengan negara besar.
“Dalam situasi seperti ini, sikap kompromi yang berlebihan bisa menciptakan preseden buruk: bahwa Indonesia bersedia mengorbankan pasar dan industrinya demi menghindari konflik dengan mitra dagang besar,” tuturnya.
Syafruddin membandingkan pendekatan Indonesia dengan negara-negara seperti Vietnam dan Korea Selatan yang menurutnya lebih berani dalam menunjukkan resistensi strategis melalui diplomasi yang berbasis pada kepentingan nasional.
“Negara-negara seperti Vietnam dan Korea Selatan telah menunjukkan bahwa resistensi strategis dan diplomasi berbasis kepentingan nasional jauh lebih dihargai dalam percaturan global,” tambahnya.
Vietnam Minta Tarif Setara
Untuk diketahui, Vietnam dikenakan tarif sebesar 46 persen oleh Trump. Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, To Lam, menyampaikan permintaan agar Amerika Serikat menurunkan tarif impor untuk produk-produk asal Vietnam hingga nol persen. Ia juga mengusulkan agar AS menerapkan perlakuan tarif yang setara terhadap barang-barang Vietnam, sebagaimana yang diberikan untuk produk-produk impor asal Amerika.
Sementara itu, Korea Selatan mengumumkan serangkaian langkah bantuan darurat untuk menopang sektor otomotifnya yang terdampak kebijakan tarif tinggi dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Sebagai informasi, tarif balasan terhadap produk otomotif Korea Selatan telah ditetapkan secara final sebesar 25 persen.
Untuk merespons tekanan tersebut, pemerintah Korea Selatan meluncurkan paket pendanaan darurat senilai 3 triliun won atau sekitar 2 miliar dolar AS guna mendukung industri otomotif dalam negeri.
Langkah ini mencakup penurunan pajak pembelian mobil dari 5 persen menjadi 3,5 persen hingga Juni 2025. Selain itu, subsidi untuk kendaraan listrik juga akan ditingkatkan, dari sebelumnya potongan harga sebesar 20–40 persen menjadi 30–80 persen. Masa pemberlakuan subsidi ini pun diperpanjang selama enam bulan, hingga akhir tahun 2025.
Oleh karena itu, lanjut Syafruddin, ia mengingatkan bahwa strategi peningkatan impor dari AS seharusnya tidak semata-mata untuk menghindari tarif balasan.
Pemerintah mesti memastikan adanya keuntungan nyata yang bisa diperoleh, seperti akses pasar ekspor, transfer teknologi, hingga kerja sama investasi yang memperkuat sektor industri dalam negeri.
“Jika satu-satunya hasil yang diperoleh hanyalah penundaan atau pengurangan tarif, maka strategi ini terlalu sempit dan jangka pendek,” ucap Syafruddin.
Ia pun menekankan bahwa diplomasi ekonomi seharusnya mampu memperbesar manfaat jangka panjang bagi Indonesia, bukan hanya meredakan tekanan sesaat dari negara mitra dagang.
“Pemerintah harus mampu merumuskan manfaat nyata yang bisa diperoleh. Tanpa hasil timbal balik yang sepadan, kebijakan ini akan menjadi bentuk konsesi sepihak yang tidak sebanding dengan potensi risiko yang ditanggung industri dalam negeri,” pungkasnya.
Produk Strategis Amerika
Di tengah tekanan kebijakan tarif dari Amerika Serikat, Indonesia memilih strategi ekonomi yang tidak biasa. Alih-alih retaliasi, pemerintah bersama pelaku usaha berencana menjajaki peningkatan impor produk-produk strategis dari AS yang memang dibutuhkan oleh dalam negeri. Langkah ini diambil untuk mengurangi defisit neraca dagang dengan AS.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menjelaskan bahwa strategi pemerintah saat ini fokus pada identifikasi produk-produk asal Amerika Serikat yang bisa diimpor Indonesia, selama tidak mengganggu industri dalam negeri. Tujuannya jelas: memperkecil defisit perdagangan antara Indonesia dan AS.
"Jadi pertama memang tarif itu dikenakan untuk semua negara. Tapi upaya apa ini sekarang kita melihat dari dua sisi. Satu, bagaimana mengurangi defisit Amerika-Indonesia," kata Shinta saat ditemui di Kementerian Perekonomian, Jakarta Pusat, Kemarin. Jakarta, Selasa 8 April 2025.
Menurutnya, dengan mengurangi defisit, Indonesia bisa memperkuat posisi dalam negosiasi dengan USTR (United States Trade Representative). Salah satu cara yang sedang dijajaki adalah memperbesar impor produk-produk yang memang dibutuhkan oleh industri dalam negeri dan belum memiliki substitusi.
"Kita ekspor besar dari tekstil, tapi kita juga bisa impor kapas dari Amerika. Hal-hal semacam itu sedang kita jajaki," jelas Shinta.
Beberapa produk yang disebut potensial untuk diimpor antara lain kapas (cotton), gandum (wheat), jagung (corn), hingga produk-produk yang berkaitan dengan sektor pertahanan dan energi seperti oil and gas. Khusus untuk sektor energi dan pertahanan, peningkatan impor kemungkinan akan ditangani oleh BUMN, sementara sektor pangan dan tekstil bisa diisi oleh swasta.(*)