Logo
>

Industri Kena 'Prank' Momentum Ramadan-Lebaran

Banyak produsen terjebak dalam ekspektasi berlebihan terhadap lonjakan permintaan jelang Ramadan

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Industri Kena 'Prank' Momentum Ramadan-Lebaran
Kawasan Perkantoran Sudirman, Jakarta. foto: KabarBursa.com/Abbas Sandji

KABARBURSA.COM - Ekonom Senior Fithra Faisal menyoroti bahwa perlambatan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 tak hanya dipicu oleh sikap hati-hati konsumen, tetapi juga karena kesalahan perhitungan dari pelaku industri. 

Ia menyebut banyak produsen terjebak dalam ekspektasi berlebihan terhadap lonjakan permintaan jelang Ramadan, yang nyatanya tak terjadi.

"Mereka overbought, karena over expectation bahwa demand-nya Februari menjelang Maret itu akan tinggi. Ternyata banyak yang tidak belanja," kata Fithra dalam siara YouTube, Selasa 13 Mei 2025.

Hal ini kata Fithra menandakan penumpukan stok akibat barang yang tidak terserap pasar. “Artinya mayoritas ekonom dan juga dalam hal ini produsen, itu kecele (ketipu)  terhadap proyeksi demand di kuartal pertama,” tambahnya

Fithra juga menyoroti tren Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur yang sempat menunjukkan optimisme di awal tahun. Pada Januari dan Februari 2025, PMI masih berada di zona ekspansi. 

Bahkan, pada Februari, PMI Manufaktur Indonesia naik ke level 53,6 dari 51,9 di Januari—angka tertinggi dalam 11 bulan terakhir. Meskipun menurun, ekspansi masih berlanjut di Maret dengan angka 52,4. Namun kondisi tersebut berubah drastis di bulan April.

Sebagai informasi, berdasarkan data yang dirilis S&P Global pada Jumat, 2 Mei 2025, PMI manufaktur Indonesia berada di level 46,7. Ini menandakan kontraksi aktivitas manufaktur dan menjadi yang pertama kali sejak November 2024 atau dalam lima bulan terakhir.

"Di bulan April, PMI manufacturing anjlok ke 46. Jadi banyak yang di gudang itu yang nggak kejual," tegas Fithra.

Situasi ini menurut Fithra memperparah tekanan di sektor industri yang sudah dibayangi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan ketidakpastian ekonomi.

"Year-to-date saja sudah 24.000 PHK dari industri, dan mereka takut mungkin bulan depan saya yang di PHK," tambahnya.

Lebih jauh, Fithra juga menyoroti kekhawatiran masyarakat terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang turut memengaruhi perilaku konsumsi, termasuk keputusan untuk mudik.

Ia mencatat adanya penurunan jumlah pemudik secara signifikan, yakni mencapai 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Menurutnya, angka tersebut menjadi indikator kehati-hatian konsumen dalam membelanjakan uang di tengah ketidakpastian ekonomi.

"Sebagai pemudik saya happy, tapi sebagai ekonom saya khawatir," ucap Fithra.

Masyarakat Memilih Menabung: Hadapi Yang Terburuk

Lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I 2025 turut mencerminkan perubahan perilaku masyarakat yang kini lebih memilih menabung dibandingkan membelanjakan uangnya.

Ekonom Senior Fithra Faisal menilai, hal ini menjadi salah satu faktor utama di balik capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 4,87 persen yang berada di bawah ekspektasi.

“Mayoritas sudah meyakini bahwa kuartal I ini pasti di bawah 5 persen, tetapi ternyata konsensus ekonomi kemarin 4,91 persen. Forecast kami sebenarnya agak lebih optimis sedikit, 4,93 persen, tapi realisasinya 4,87 persen,” ujar Fithra dalam siaran YouTube Selasa, 13 Mei 2025

Ia menyebutkan bahwa pihaknya sebenarnya memperkirakan batas bawah pertumbuhan di angka 4,88 persen, namun sempat melihat potensi kenaikan di akhir Maret karena adanya kecenderungan konsumen membelanjakan THR. Sayangnya, hal itu tidak terjadi.

“Mereka lebih banyak saving ketimbang spending di bulan Lebaran terutama. Dan itu juga tercermin dengan adanya penurunan Consumer Confidence Index, justru di bulan Maret, di saat Ramadan dan Lebaran, itu 121, yang merupakan terendah semenjak 6 atau 7 bulan terakhir,” jelasnya.

Untuk diketahui, Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) untuk Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Maret 2025 sebesar 121,1. Posisi ini turun dari IKK pada Februari yang berada di posisi 126,4.

Fithra menyebutkan, kepercayaan konsumen yang melemah justru terjadi di momentum Ramadan dan Lebaran—periode yang biasanya identik dengan konsumsi tinggi. Menurutnya, tren ini sudah terlihat sejak awal tahun saat inflasi menunjukkan hasil di bawah perkiraan.

“Kalau kita lihat di bulan Januari, year-on-year inflasi 0,76 persen, padahal konsensus ekonomi pada saat itu 1,8 persen inflasi. Kemudian kita juga lihat di bulan Februarinya, justru deflasi ya, minus 0,09 persen, padahal konsensus ekonomi juga 0,4 persen,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa kesalahan dalam memproyeksikan permintaan tidak hanya terjadi di kalangan ekonom, tetapi juga produsen. Hal ini tampak dari Purchasing Managers' Index (PMI) sektor manufaktur yang semula menunjukkan ekspansi, namun kemudian jatuh tajam.

“Mereka overbought, karena over expectation bahwa demand-nya Februari menjelang Maret itu akan tinggi. Ternyata banyak yang tidak belanja ya, di bulan-bulan Ramadan. Sehingga pada akhirnya itu menumpuk inventory cost, dan kita bisa melihat bagaimana di bulan April Purchasing Manager Index in manufacturing anjlok ke 46,” katanya. 

(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.