KABARBURSA.COM – Di tengah meningkatnya tensi perdagangan global akibat konflik tarif antara Amerika Serikat dan China, pemerintah Indonesia tetap percaya diri dengan ketahanan dan daya saing industri nasional. Meskipun tantangan eksternal terus membayangi, sejumlah indikator perdagangan dan reformasi domestik memberikan sinyal optimisme.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa selama ini Indonesia memang menghadapi tarif bea masuk yang relatif tinggi dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, terutama untuk produk unggulan seperti tekstil, elektronik, apparel, dan sepatu. Namun, hal itu tidak serta-merta melemahkan daya saing ekspor Indonesia di pasar global.
“Terkait dengan daya saing, sebenarnya Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya selama ini mendapatkan bea masuk yang lebih tinggi di negara-negara Eropa maupun di Amerika Serikat, terutama untuk produk-produk tekstil, elektronik, apparel, dan sepatu,” jelas Airlangga dalam konferensi pers virtual di Jakarta dikutip Sabtu 19 April 2025.
Meski demikian, Indonesia masih mampu menjaga neraca perdagangan tetap positif dengan sejumlah mitra dagang utama. “Daya saing kita cukup baik. Oleh karena itu, kita memiliki neraca perdagangan yang positif, termasuk dengan Amerika Serikat, India, dan berbagai negara lainnya. Bahkan dengan China pun, perbedaan neraca perdagangannya semakin lama semakin tipis,” tambahnya.
Pemerintah pun berharap perundingan dagang yang tengah berlangsung, seperti Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA), dapat membawa hasil yang konstruktif. Airlangga menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin dampak perang dagang ini sampai merugikan tenaga kerja atau menurunkan minat investasi.
“Oleh karena itu, pemerintah optimis bahwa dengan adanya perundingan ini, hasilnya akan positif. Pemerintah juga tidak menginginkan adanya dampak terhadap para pekerja maupun terkait dengan investasi,” tuturnya.
Senada dengan Airlangga, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu menekankan pentingnya reformasi dalam negeri sebagai kunci untuk memperkuat daya saing industri. Menurutnya, menghadapi ketidakpastian global seperti perang dagang, langkah paling realistis adalah membenahi hambatan struktural di dalam negeri.
“Mungkin terlepas dari perang dagang, cara terbaik menghadapi situasi yang tidak pasti ini adalah dengan fokus ke dalam negeri untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing kita,” ujar Mari.
Pemerintah, kata Mari, telah menyiapkan paket deregulasi menyeluruh untuk mengurangi high cost economy yang selama ini membebani pelaku usaha.
“Karena itu, sudah disusun dan Presiden telah memberi arahan untuk melakukan paket deregulasi yang komprehensif guna menurunkan apa yang disebut sebagai ekonomi biaya tinggi yang tengah dihadapi oleh dunia usaha, baik dalam negeri maupun oleh investor luar negeri,” jelasnya.
Di samping itu, Mari juga menyoroti pentingnya investasi di sektor jangka menengah, seperti infrastruktur, logistik, serta penguatan sumber daya manusia dan teknologi. “Tentunya dalam jangka menengah juga ada isu-isu lain seperti infrastruktur, logistik, dan sumber daya manusia—yakni meningkatkan kapasitas dan keterampilan sumber daya manusia kita, serta tentu saja terkait dengan inovasi dan teknologi,” imbuhnya.
Ekspor Indonesia ke AS Relatif Kecil
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai kebijakan proteksionis Amerika Serikat yang berpotensi menghambat arus ekspor tidak akan memberikan tekanan besar terhadap perekonomian Indonesia.
Menurut Fahmy, porsi ekspor Indonesia ke AS relatif kecil dibanding negara tujuan ekspor lainnya.
“Ekspor kita ke Amerika itu hanya sekitar 10 sampai 20 persen. Sementara 80 persen lainnya ke Asia, Jepang, dan Eropa,” ujar Fahmy kepada KabarBursa.com di Jakarta, Minggu, 20 April 2025.
Ia menilai, jika skenario terburuk terjadi, seperti kenaikan tarif impor tinggi oleh AS, dampaknya masih dapat ditoleransi.
“Kalau misalnya Indonesia dikenakan tarif tinggi, sejujurnya tidak terlalu berpengaruh. Karena ekspor ke AS porsinya kecil,” jelasnya.
Sebagai langkah antisipatif, Fahmy mendorong pemerintah untuk memperluas pasar ekspor non-AS dan memperkuat permintaan domestik. “Pasar lain yang sudah jadi tujuan ekspor bisa digarap lebih serius. Termasuk membuka pasar baru,” katanya.
Ia menambahkan, beberapa produk ekspor seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik dapat diarahkan ke pasar dalam negeri. Namun, ia mengakui pasar domestik masih sulit bersaing dengan produk impor, terutama dari China.
“Produk lokal masih kalah bersaing karena barang dari China masuk legal maupun ilegal. Ini perlu dibenahi. Bisa lewat kuota impor dari China, atau penindakan tegas impor ilegal,” ungkapnya.
Fahmy menegaskan, jika strategi diversifikasi pasar berjalan optimal, maka industri dalam negeri tidak akan terpukul, bahkan bisa tumbuh.
“Kalau ini dilakukan, ekspor tetap berjalan, pasar dalam negeri juga tumbuh. Jadi tidak akan membangkrutkan industri kita,” tutupnya.(*)