KABARBURSA.COM - Ekonomi Inggris kehilangan lebih dari 257 miliar poundsterling (sekitar Rp5.328,46 triliun) dalam bentuk produksi potensial akibat pekerja yang tidak termotivasi tahun lalu. Krisis produktivitas ini membuat Inggris tertinggal dari negara-negara maju lainnya.
Hanya satu dari sepuluh pekerja di Inggris yang dikategorikan sebagai terlibat di tempat kerja. Artinya, hanya sedikit yang memberikan usaha ekstra dalam tugas mereka, menurut penelitian Gallup yang dirilis pada Rabu 12 Juni 2024. Temuan ini menunjukkan penurunan motivasi pekerja selama dekade terakhir.
Pada awal 2010-an, Inggris memiliki proporsi pekerja yang terlibat tertinggi kedua di negara maju G7. Kini, angkanya turun di bawah rata-rata G7 dan negara-negara Eropa lainnya, jauh di bawah rata-rata global sebesar 23 persen.
Para peneliti Gallup menyatakan, tingkat keterlibatan ini menunjukkan Inggris menghadapi masalah dengan "silent quitters," yaitu pekerja yang hanya melakukan pekerjaan seminimal mungkin tanpa keterlibatan aktif.
Studi ini meneliti hubungan antara motivasi pekerja dan produksi perusahaan di berbagai sektor, menemukan bahwa hilangnya produksi dan potensi bisa merugikan Inggris sebesar 11 persen dari produk domestik bruto (PDB).
"Ancaman berbahaya bagi ekonomi Inggris adalah tenaga kerja yang pada dasarnya telah menyerah, dan politik tidak membantu," kata Jeremie Brecheisen, managing partner Inggris di Gallup. Dia menambahkan bahwa pekerja merasa ditinggalkan oleh politisi dalam menghadapi dampak peristiwa seperti Brexit, menunjukkan ketidakpercayaan pada sistem dan kegagalan pemerintah.
Sentimen ini mencuat menjelang pemilihan umum pada 4 Juli mendatang. Jajak pendapat menunjukkan bahwa pemilih kemungkinan akan mengakhiri 14 tahun pemerintahan Konservatif, dengan partai Perdana Menteri Rishi Sunak kalah bersaing dengan oposisi Partai Buruh dan partai Reformasi Inggris yang berhaluan kanan.
Hasil penelitian Gallup juga menyoroti tantangan bagi Partai Buruh jika mereka memenangkan pemilu, dengan hambatan untuk menghidupkan kembali ekonomi dan meningkatkan standar hidup.
Inggris tengah berjuang meningkatkan ekonomi yang berujung pada resesi ringan tahun lalu. Bank of England memprediksi pertumbuhan yang lemah untuk sebagian besar tahun ini. Para ekonom memperkirakan penurunan kecil dalam produksi ketika angka April diterbitkan pada Rabu.
Produktivitas adalah bagian besar dari masalah ini. Produksi per jam kerja stagnan sejak krisis keuangan, tertinggal di belakang AS dan negara-negara maju lainnya. Selain itu, Inggris memiliki lebih sedikit pekerja dibandingkan sebelum Covid, dengan lebih dari 800.000 orang berhenti bekerja karena sakit jangka panjang, pensiun, atau pendidikan.
Gallup menemukan bahwa kurangnya kejelasan tentang tujuan yang harus dicapai adalah salah satu pendorong utama rendahnya keterlibatan. Meskipun sebagian disebabkan oleh manajemen yang buruk, di Inggris situasinya diperburuk oleh serangkaian guncangan dari Brexit hingga pandemi dan ketidakpastian ekonomi makro, kata Brecheisen.
Faktor eksternal seperti politik menyumbang sekitar 30 persen dari perbedaan tingkat keterlibatan secara keseluruhan, tambahnya.
Inggris mendapatkan nilai baik dalam beberapa ukuran. Sekitar 40 persen karyawan Inggris mengalami stres setiap hari, di bawah rata-rata Eropa. Namun, tenaga kerja yang terdemotivasi membuat negara ini lebih sulit menarik dan mempertahankan pekerja terampil.
Warga Inggris juga lebih mungkin mengalami emosi negatif lainnya seperti kesedihan atau kemarahan setiap hari, demikian temuan Gallup.
"Masih ada banyak hal menarik tentang Inggris, namun risikonya di masa depan adalah hal ini mulai mengikis merek nilai karyawan di negara ini," kata Brecheisen.
"Orang-orang terbaik dan tercerdas tidak akan mau datang ke Inggris jika ini adalah tempat yang buruk untuk bekerja. Mereka lebih cenderung ingin pergi ke Kanada, Amerika, Jerman, atau tempat lain di mana mereka tahu akan mendapatkan pengalaman kerja yang lebih baik." (*)