KABARBURSA.COM - Ketua Umum Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Pardjuni, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi peternak ayam broiler mandiri atau peternak rakyat yang semakin terdesak oleh dominasi bisnis perusahaan integrator. Menurutnya, kontrol yang dimiliki oleh integrator mulai dari pengendalian bibit ayam (day old chicken/DOC) hingga proses budi daya telah memberikan dampak negatif pada perekonomian peternak rakyat.
Pardjuni menyoroti Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 32 Tahun 2017 yang dianggapnya tidak efektif dalam mencegah praktik penguasaan pasar oleh integrator. Meskipun peraturan tersebut mengamanatkan bahwa pelaku integrator harus mengalokasikan sebagian produksi DOC dan Parent Stock (PS) kepada peternak mandiri, namun implementasinya masih jauh dari optimal. Sebagian besar produksi DOC dan PS masih dimanfaatkan oleh perusahaan integrator dan mitranya, meninggalkan peternak rakyat dengan akses yang terbatas.
Dalam konteks ini, perlindungan terhadap keberlangsungan usaha peternak mandiri menjadi semakin penting. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk mengontrol dominasi integrator dalam industri peternakan ayam broiler, termasuk perbaikan dan penegasan regulasi yang lebih efektif serta langkah-langkah lain yang mendukung kemandirian peternak rakyat dalam usaha mereka.
"Perusahaan integrator yang tidak mematuhi aturan pemerintah ini yang menyebabkan peternak rakyat mandiri gulung tikar. Kenapa saya sebut begini? Karena populasi yang mereka dalam aturan itu hanya maksimal 50 persen dari bibit yang mereka miliki, tetapi prakteknya mereka lebih dari itu. Jadi bisa 70 persen-80 persen. Ini yang membuat kondisi perunggasan di negara kita ini akhirnya menjadi kacau balau," kata Pardjuni, Rabu 21 Februari 2024.
Kendati demikian, Pardjuni menyebut belum ada langkah tegas dari pemerintah untuk menindak dan memberi sanksi kepada perusahaan-perusahaan integrator yang tidak taat aturan itu.
"Perusahaan-perusahaan besar ini merasa dia punya kemampuan, selalu memberikan alasan kepada pemerintah yang notabene-nya mengubah opini pemerintah, untuk seakan-akan dia harus hidup. Ini yang nggak bener. Jadi ke depan ini semoga perusahaan-perusahaan yang tidak taat aturan ini ditertibkan. Dan jika perlu diberi sanksi dan dicabut izinnya," ucapnya.
Pardjuni menyoroti kondisi harga ayam hidup di peternak, yang saat ini berada di kisaran Rp17.000-Rp18.000 per kg untuk daerah Jawa Tengah, sedangkan harga pokok penjualan (HPP) mencapai Rp20.000 per kg. Dia mengungkapkan bahwa produksi ayam broiler selama Januari-Februari tahun ini masih tinggi karena populasi day old chicken (DOC) yang beredar, yang menyebabkan kekhawatiran atas kemampuan peternak untuk bertahan. Potensi oversupply ini menuntut peternak untuk lebih berhati-hati dalam mengelola bisnis mereka.
Selain itu, Pardjuni meminta agar perusahaan integrator mengurangi populasi ayam broiler, sesuai dengan ketentuan dalam Permentan 32 Tahun 2017 yang menetapkan bahwa maksimal 50 persen dari bibit harus dialokasikan untuk perusahaan, sementara minimal 50 persen untuk peternak mandiri.
Dia menegaskan bahwa kelebihan populasi ayam broiler merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup peternak mandiri. Oleh karena itu, penting bagi integrator untuk mengurangi populasi ayam broiler agar tidak mengganggu keseimbangan pasar. Pardjuni menekankan bahwa implementasi regulasi yang ada perlu dijalankan dengan sungguh-sungguh agar dapat memberikan dampak yang nyata bagi kelangsungan usaha peternak mandiri.