KABARBURSA.COM - Bank Indonesia dan sejumlah ekonom meramal keterpilihan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) akan berdampak pada laju ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dampak yang akan dirasakan Indonesia sedikitnya ada tiga aspek, yakni tekanan terhadap nilai tukar Dolar AS, arus modal asing, hingga dinamika ketidakpastian di pasar keuangan.
Dihimpun dari AP, Jumat, 8 November 2024pukul 07.50 WIB, Donald Trump berhasil memenangkan Pemilu AS dengan perolehan suara 73.094.299 pemilih atau sekitar 50,8 persen dari total keseluruhan pemilih di AS. Sementara Kamala Harris, membuntuti dengan perolehan suara 68.641.031 pemilih atau 47,7 persen dari total pemilih sah di Pemilu AS.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM FEB) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky tak menampik potensi tersebut. Apalagi, kata dia, sosok Trump kurang diterima oleh para pelaku usaha.
“Ada potensi demikian (risiko ekonomi), terpilihnya Trump, yang kemudian akan menimbulkan ketidakpastian. Salah satu penyebabnya karena Trump kurang diterima secara baik oleh market. Jadi memang ada potensi dengan terpilihnya Trump ini akan berdampak terhadap pasar keuangan global, termasuk nilai tukar rupiah,” kata Riefky kepada Kabar Bursa, Jumat, 8 November 2024.
Kendati demikian, Riefky menilai, efek domino keterpilihan Trump terhadap laju ekonomi Indonesia tidak akan berlangsung lama. Menurutnya, pengaruh tersebut akan menurun seiring dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang nantinya akan dirilis oleh Donald Trump setelah resmi menjalankan pemerintahan AS.
“Initial reaction-nya memang nanti akan ada berdampak pada aliran modal asing Indonesia yang terbatas atau mungkin malah terjadi capital outflow, tapi saya rasa ini tidak akan berlangsung secara lama,” pungkasnya.
Untuk diketahui, paska kemenangan Donald Trump, nilai tukar rupiah menguat seiring melemahnya indeks dolar AS. Dihimpun dari Refinitive, rupiah ditutup di level Rp15.730 per dolar AS atau menguat 0,60 persen pada penutupan perdagangan Kami, 7 November 2024.
Risiko Ekonomi RI Usai Kemenangan Trump
Senior Economist Bank Mandiri Reny Eka Putri menilai keterpilihan Donald Trump dalam Pemilu di AS berpeluang meningkatkan inflasi harga komoditas energi yang dapat mendorong administered price. Pasalnya, tutur Reny, Trump lebih fokus pada produksi energi fosil ketimbang mendukung transisi energi hijau. Dia menilai, hal tersebut akan berdampak pada peningkatan prospek permintaan dan harga minyak ke depan.
“Jika dilihat dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, maka terdapat risiko kenaikan inflasi harga energi yang dapat mendorong inflasi administered price," kata Reny kepada Kabar Bursa, Kamis, 7 November 2024.
Sementara dampak keterpilihan Trump terhadap pasar keuangan, Reny menyebut, aset-aset USD berpeluang untuk kembali dilirik investor yang menekan rupiah untuk kembali melemah. Di samping itu, dia juga menilai adanya potensi pasar saham terkoreksi hingga yield obligasi domestik meningkat.
“Kita perlu mewaspadai aliran dana asing yang dapat keluar akibat kemenangan Trump," ungkapnya.
Untuk meredam volatilitas pasar yang kembali meningkat, Reny menilai, Bank Indonesia ke depan akan lebih defensif terhadap kebijakan suku bunganya untuk stabilisasi nilai tukar, sambil melihat perkembangan guidance The Fed, data ekonomi AS terakhir terkait inflasi dan tingkat pengangguran, serta spread antara UST yield dengan bunga acuan domestik.
Pasalnya, ungkap Reny, outlook inflasi yang kembali meningkat akan membuat The Fed lebih berhati-hati dalam memutuskan arah suku bunga acuannya. Apalagi, stance kebijakan Trump, seperti belanja tinggi dan pemotongan pajak berpotensi kembali meningkatkan inflasi AS ke depan, dan akan berimbas ke prospek pemangkasan suku bunga menjadi less aggressive.
"BI akan mengoptimalkan salah satunya melalui instrumen SRBI untuk stabilisasi rupiah ke depan," jelasnya.
Di sisi lain, Reny juga menilai, keterpilihan Trump juga berdampak pada kinerja perdagangan negara mitra, seperti Indonesia. Dia menyebut, tarif yang tinggi dari AS dapat menyebabkan perlambatan ekonomi di Tiongkok, terutama di sektor manufaktur.
"Perlambatan tersebut bisa memberikan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari hitungan kaki, penurunan 1 perseb PDB (Produk Domestik Bruto) Tiongkok akan menurunkan 0,37 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia," ungkapnya.
Kendati demikian, Reny tak menampik terdapat sisi positif dari keterpilihan Trump dalam Pemilu AS. Dia menyebut, Indonesia memiliki peluang ekspor ke AS yang dapat meningkatan peluang masuknya investasi dari Tiongkok.
Tarif pajak yang tinggi terhadap produk Tiongkok, kata Reny, menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendiversifikasi komoditas ekspor ke AS. Relokasi produksi produk Tiongkok ke Indonesia juga berpotensi dapat meningkatkan investasi asing ke Indonesia.
"Peningkatan investasi yang saat ini menjadi salah satu penggerak ekonomi, diharapkan dapat mendorong ekonomi untuk tetep tumbuh solid di sekitar 5 persen pada tahun 2024 dan 2025," tutupnya.
Bank Indonesia Cermati Keterpilihan Trump
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengaku tengah memonitoring perkembangan Pemilu AS, di mana hasil penghitungan cepat menunjukkan Trump mengungguli Kamala Harris. Akan tetapi, dia menyebut, keterpilihan Trump akan berdampak pada perekonomian sejumlah negara.
"Penghitungan sementaranya adalah Trump itu unggul. Dan prediksi-prediksi dari pasar dan kami juga akan melihat kemungkinan-kemungkinan akan menyebabkan dolar, mata uang dolar itu akan kuat, suku bunga Amerika itu akan tetap tinggi," kata Perry dalam paparan di Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 6 November 2024.
Perry menyebut, keterpilihan Trump berpotensi memperpanjang perang dagang antara Tiongkok dan AS. Untuk negara emergin market seperti Indonesia sendiri, kata Perry, keterpilihan Trump akan berdampak pada tiga aspek ekonomi.
"Satu tekanan terhadap nilai tukar, kedua arus modal, dan ketiga adalah bagaimana ini berpengaruh kepada dinamika ketidakpastian di pasar keuangan," jelasnya.
Karenanya, Perry sendiri mengaku, BI akan berhati-hati dalam menyusun kebijakan moneter ke depan. Dia menegaskan, BI akan terus menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta bersinergi erat dengan pemerintah dan KSSK.
"Bank Indonesia, untuk itu terus menyampaikan komitmen kami; menjaga stabilitas dan turut mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; bersinergi erat dengan pemerintah dan KSSK," tutupnya. (*)