KABARBURSA.COM - PT Avia Avian Tbk atau AVIA, emiten cat milik konglomerat Hermanto Tanoko, bersiap melakukan aksi korporasi strategis dengan mengalokasikan dana hingga Rp1 triliun untuk pembelian kembali saham atau buyback.
Rencana ini masih menunggu persetujuan dari pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang dijadwalkan berlangsung pada April 2025. Jika mendapat lampu hijau, buyback akan dilakukan dalam kurun waktu maksimal 12 bulan sejak persetujuan diberikan.
Dalam keterangan resmi, Perseroan menargetkan untuk membeli kembali hingga 1,424 miliar lembar saham, yang setara dengan sekitar 2,3 persen dari total modal disetor dan ditempatkan. Tujuan utama dari aksi ini adalah menjaga stabilitas harga saham agar lebih mencerminkan nilai fundamental dan kinerja sesungguhnya dari AVIA. Selain itu, buyback juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap prospek bisnis perusahaan.
Sumber pendanaan untuk buyback akan berasal dari saldo kas internal, dengan jaminan bahwa aksi ini tidak akan berdampak negatif terhadap kemampuan keuangan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang akan jatuh tempo. Saham hasil buyback akan disimpan sebagai saham treasuri, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pengalihan saham tersebut dapat dilakukan dalam jangka waktu tiga tahun setelah proses buyback selesai, dengan kemungkinan perpanjangan sesuai regulasi yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kinerja Keuangan AVIA
Dalam aspek kinerja keuangan, AVIA mencatatkan pertumbuhan yang solid sepanjang 2024. Laporan keuangan menunjukkan bahwa perusahaan berhasil membukukan penjualan bersih sebesar Rp7,47 triliun, naik 6,48 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp7,01 triliun.
Segmen solusi arsitektur masih menjadi penyumbang utama dengan kontribusi Rp5,84 triliun, meningkat dari Rp5,61 triliun pada 2023. Sementara itu, segmen barang dagangan juga menunjukkan pertumbuhan signifikan, naik 16,07 persen secara tahunan menjadi Rp1,62 triliun.
Jaringan distribusi perusahaan tetap menjadi pilar utama dalam menopang pendapatan, dengan penjualan melalui distributor sendiri menyumbang Rp6,69 triliun. Distributor pihak ketiga dan penjualan langsung masing-masing menyumbangkan Rp735,51 miliar dan Rp40,45 miliar.
Seiring dengan peningkatan pendapatan, beban pokok penjualan juga meningkat 7,75% secara tahunan menjadi Rp4,13 triliun, menghasilkan laba kotor sebesar Rp3,34 triliun, tumbuh 4,94 persen dari tahun sebelumnya.
Laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk tercatat sebesar Rp1,66 triliun, mengalami kenaikan 1,35 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini mencerminkan ketahanan bisnis AVIA di tengah dinamika pasar, serta efektivitas strategi perusahaan dalam mempertahankan profitabilitasnya.
Dengan kombinasi strategi buyback dan pertumbuhan kinerja keuangan yang stabil, AVIA menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga nilai bagi pemegang saham. Langkah ini tidak hanya menjadi sinyal optimisme dari manajemen terhadap prospek bisnis perusahaan, tetapi juga menjadi strategi untuk mempertahankan daya tarik saham AVIA di pasar modal.
Fundamental AVIA
Mengintip analisis teknikal saham AVIA, yang dipaparkan Kabarbursa.com, tren berikutnya cenderung Bearish. Hal ini didukung oleh beberapa indikator, seperti RSI yang berada di level 22,9, menunjukkan bahwa saham ini berada dalam kondisi oversold, namun belum ada tanda pembalikan arah.
MACD yang berada di bawah garis sinyal juga mengindikasikan momentum penurunan yang kuat. Harga saat ini berada di bawah MA10, MA50, dan MA200, menunjukkan tren jangka pendek, menengah, dan panjang yang lemah.
Selain itu, harga mendekati batas bawah Bollinger Bands, yang bisa menjadi indikasi potensi breakdown jika tekanan jual berlanjut. Volume perdagangan yang tinggi pada hari ini dengan penurunan harga menguatkan tekanan jual.
Jika terjadi breakdown, target support berikutnya bisa berada di sekitar level 330, sementara resistance terdekat berada di sekitar level 360. Investor disarankan untuk berhati-hati dan menunggu konfirmasi lebih lanjut sebelum mengambil keputusan investasi.
Rekomendasi Buffett
Performa keuangan suatu perusahaan sering kali menjadi indikator utama bagi investor dalam menilai prospek jangka panjangnya. Berdasarkan data yang tersedia, kinerja bisnis yang dianalisis menunjukkan angka yang kurang menggembirakan dalam beberapa aspek fundamental.
Return on Capital Employed (ROCE), yang mencerminkan efisiensi perusahaan dalam menggunakan modalnya untuk menghasilkan keuntungan, tercatat di angka 0,00 persen, jauh di bawah standar ideal yang seharusnya melebihi 15 persen. Ini menunjukkan bahwa perusahaan belum mampu mengoptimalkan modal yang digunakan untuk menghasilkan laba, yang bisa menjadi indikasi rendahnya efisiensi operasional atau beban finansial yang tinggi.
Hal serupa juga terlihat pada margin operasi atau Operating Margin yang berada di level 0,00 persen, sementara angka idealnya adalah di atas 10 persen. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perusahaan belum mampu menghasilkan keuntungan dari operasional bisnisnya setelah memperhitungkan biaya langsung dan tidak langsung.
Rendahnya margin operasi bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk biaya produksi yang tinggi, persaingan ketat di pasar, atau strategi harga yang kurang optimal.
Di sisi lain, Economic Moat Score, yang mencerminkan keunggulan kompetitif perusahaan dibandingkan pesaingnya, hanya berada di angka 3 dari skala yang idealnya lebih dari 7. Ini menunjukkan bahwa perusahaan belum memiliki keunggulan bisnis yang signifikan untuk mempertahankan dominasinya dalam industri dalam jangka panjang.
Keunggulan kompetitif yang lemah dapat membuat perusahaan lebih rentan terhadap tekanan pasar, inovasi dari pesaing, atau perubahan tren industri.
Selain itu, Earnings Stability Score, yang mengukur stabilitas pendapatan perusahaan dari waktu ke waktu, juga berada pada tingkat rendah dengan skor hanya 1, padahal standar yang baik seharusnya lebih dari 7. Ketidakstabilan dalam pendapatan ini dapat disebabkan oleh fluktuasi dalam permintaan pasar, ketergantungan pada segmen tertentu, atau tantangan eksternal seperti kondisi ekonomi yang kurang kondusif.
Secara keseluruhan, angka-angka ini menunjukkan bahwa perusahaan menghadapi tantangan besar dalam hal profitabilitas, stabilitas keuangan, dan keunggulan kompetitif. Untuk meningkatkan kinerja ke depan, perusahaan mungkin perlu mengevaluasi ulang strategi bisnisnya, mengoptimalkan efisiensi operasional, dan mencari cara untuk meningkatkan daya saingnya di pasar.
Perubahan dalam struktur biaya, inovasi produk, atau ekspansi ke pasar baru bisa menjadi langkah yang perlu dipertimbangkan guna memperbaiki kondisi keuangan dan memperkuat posisi bisnis dalam jangka panjang.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.