KABARBURSA.COM - Surya Darma, Ketua Indonesian Center for Renewable Energy Studies (ICRES), menyatakan bahwa kebijakan tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam sektor Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia dianggap sebagai penghalang bagi investasi dalam PLTS domestik.
"Investasi dalam pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia telah terlihat stagnan dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan sebagaimana diharapkan," kata Surya, dikutip Senin, 20 Mei 2024.
Meskipun demikian, menurut Surya, PLTS diharapkan dapat menyumbangkan sekitar 7 gigawatt pada tahun 2025, sesuai dengan target dalam bauran energi yang diatur oleh Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Namun kenyataannya, instalasi PLTS baru mencapai sekitar 200 megawatt, yang jauh dari harapan. Permasalahan muncul karena Indonesia belum memiliki industri yang dapat mendukung pencapaian Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam PLTS.
Ia menjelaskan, saat ini di Indonesia hanya ada satu pabrikan yang mampu memproduksi modul surya berkapasitas 560 watt-peak, sedangkan mayoritas pabrikan lainnya hanya mampu memproduksi modul surya berkapasitas 450 watt-peak. Sebanyak 21 pabrikan lainnya merupakan perusahaan perakitan yang mengimpor sel surya dari luar negeri.
Akibatnya, harga modul surya buatan dalam negeri lebih mahal sekitar 30 persen-45 persen dibandingkan dengan produk impor. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5/M-IND/PER/2/2017 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 54/M -IND/PER/3/2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan menyebutkan bahwa nilai TKDN untuk modul surya minimal 60 persen yang berlaku sejak 1 Januari 2019.
Peraturan tersebut kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 54/M IND/PER/3/2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, di mana nilai TKDN barang minimal untuk modul surya minimal 60 persen mulai 1 Januari 2025.
"Hal ini pada umumnya mendapat keluhan dari industri PLTS dalam negeri," tutur Surya.
Suya bilang sebetulnya Kementerian ESDM pernah mengusulkan penurunan ketentuan TKDN modul surya untuk PLTS menjadi 40 persen untuk memberikan keleluasaan bagi investor dalam membangun fasilitas tersebut di dalam negeri.
Selain itu, masa relaksasi ketentuan TKDN untuk proyek PLTS diharapkan berlaku 3-4 tahun, sebelum batasan komponen bahan baku lokal dinaikkan secara bertahap, atau mempertahankan TKDN 40 persen untuk modul surya hingga 4 tahun ke depan.
Banyak pihak yang menyarankan agar pemerintah melakukan moratorium pemberlakuan kebijakan TKDN untuk proyek-proyek PLTS, paling tidak hingga akhir tahun 2025. Ketentuan TKDN tersebut dinilai menghambat investasi dan kepastian pembiayaan dari lembaga keuangan internasional.
"Dengan adanya moratorium diharapkan akan memberikan akses lebih luas untuk pendanaan dari lembaga internasional dan menciptakan pasar menarik bagi investasi di sisi hulu," ungkap Surya.
Menurut Surya, hal tersebut karena lembaga keuangan internasional sulit untuk mengucurkan pendanaan pada proyek dengan kebijakan eksklusif pada produsen domestik, seperti TKDN. Karena itu, jika benar ada upaya mencabut pemberlakuan ketentuan TKDN tersebut akan merupakan kabar gembira bagi kalangan industri dan investor PLTS. Paling tidak, satu di antara penghambat peningkatan Pembangunan industri PLTS telah bisa diselesaikan.
Vietnam Balap Indonesia
Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna mengatakan penggunaan PLTS di Indonesia kalah jauh jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yakni Vietnam. Penggunaan PLTS Indonesia hanya mencapai 0,2 persen pada 2022, sedangkan, Vietnam telah mencapai 13 persen menggunakan PLTS pada 2023.
“Seiring dengan dunia yang berlomba-lomba mengadopsi energi terbarukan, Indonesia ketinggalan dibandingkan Vietnam dan India,” kata Putra Adhiguna.
Padahal, kata dia, perusahaan dan investor semakin menuntut ketersediaan energi bersih untuk investasi mereka. Pasalnya kini tenaga surya jadi pemasok utama pertumbuhan listrik di seluruh dunia.
Bahkan, dibandingkan dengan batubara, tenaga surya unggul dengan mampu memberikan tambahan tenaga listrik dua kali lebih banyak.
Adapun tenaga surya mempertahankan status sebagai sumber listrik dengan pertumbuhan tercepat di dunia selama 19 tahun berturut-turut, melampaui tenaga angin, dan menjadikannya sumber listrik baru terbesar selama dua tahun berturut-turut.
“Tenaga surya menghasilkan tambahan dua kali lebih banyak dibandingkan batu bara pada 2023,” ungkap dia.
Sementara, jika mengacu pada laporan tahunan Global Electricity Review 2024 pertumbuhan tenaga surya dan angin mendorong listrik energi terbarukan dunia melampaui 30 persen untuk pertama kalinya pada 2023. Namun, sangat disayangkan pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia tak setinggi tren global, dengah hanya 20 persen listrik berasal dari energi terbarukan pada 2022.
Kendati demikian, merujuk pada renewables target tracker milik EMBER, mengatakan Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (JETP) mengusulkan agar 44 persen pembangkitan listrik di Indonesia berasal dari energiterbarukan pada 2030.
Namun, hal ini bergantung pada mobilisasi dana JETP di tahun mendatang, untuk merealisasikan proyek-proyek yang diusulkan dalam rencana investasi dan kebijakan komprehensif (CIPP).
“Kita sedang menyaksikan perubahan di tingkat global, dan pemerintahan baru Indonesia perlu mempertimbangkan implikasi makro dan peluang transisi energi, melampaui fikasasi tradisional pada angka biaya-manfaat yang sempit dari operator jaringan listrik,” pungkas Putra.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.