KABARBURSA.COM - Perusahaan tekstil asal China disebut tertarik untuk berinvestasi di Indonesia. Pemerintah kemudian merespons hal tersebut dengan menyiapkan sebuah lahan di Kertajati, Majalengka, Jawa Barat.
Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) mengungkapkan peletakan batu pertama atau groundbreaking dilakukan setelah masalah tanah terselesaikan. Dia telah berkomunikasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono, untuk segera mengeluarkan status tanah yang diperlukan.
“(Agus mengatakan) bisa diselesaikan dalam sepekan, ya bulan depan kita akan lihat mulai konstruksi,” ujar Luhut, dikutip Minggu, 23 Juni 2024.
Lebih lanjut, Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan, Penanaman Modal Asing (PMA) terus mendominasi investasi di Indonesia. Pada semester I 2024, realisasi investasi sebesar Rp401,5 triliun, dengan PMA mencapai Rp204,4 triliun (50,9 persen). Sepanjang tahun lalu, realisasi investasi mencapai Rp1.418,9 triliun, dengan PMA sebesar Rp 744 triliun (52,4 persen).
PMA memberikan dampak positif seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan sektor konstruksi, peningkatan penerimaan negara, dan peningkatan ekspor. Namun, PMA juga memiliki sisi negatif yang harus diperhatikan.
PMA adalah modal asing yang pada akhirnya akan kembali ke negara asalnya sehingga tidak sepenuhnya dinikmati oleh Indonesia. Hal ini tercermin dalam defisit neraca pendapatan investasi langsung pada transaksi berjalan. Sepanjang 2023, defisit neraca ini mencapai USD21,81 miliar, sedikit menurun dari defisit USD21,99 miliar pada tahun sebelumnya. Pada kuartal I 2024, defisit neraca pendapatan investasi langsung mencapai USD5,47 miliar.
Transaksi Berjalan Tertekan
Defisit pada neraca pendapatan investasi langsung memberi tekanan pada transaksi berjalan secara keseluruhan, yang hampir selalu defisit. Ketika transaksi berjalan defisit, fundamental mata uang menjadi lemah. Transaksi berjalan mencerminkan arus valuta asing dari ekspor-impor barang dan jasa yang bersifat tahan lama dan berkelanjutan, berbeda dengan investasi portofolio di sektor keuangan yang mudah datang dan pergi.
Defisit transaksi berjalan menunjukkan fundamental nilai tukar mata uang yang lemah. Pada kuartal I 2024, transaksi berjalan Indonesia defisit USD2,16 miliar atau 0,64 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit transaksi berjalan akan berada di kisaran 0,1-0,9 persen PDB. Defisit ini menjadi salah satu faktor melemahnya nilai rupiah, yang turun hampir 6 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun ini.
Data menunjukkan bahwa defisit NPI Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023, defisit neraca pendapatan investasi langsung mencapai USD20,1 miliar, dan pada kuartal I 2024 defisit NPI mencapai USD6,4 miliar.
Lebih jauh defisit pada transaksi berjalan tidak hanya mempengaruhi nilai tukar mata uang, tetapi juga berdampak pada stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Defisit yang berkepanjangan dapat menyebabkan peningkatan ketergantungan pada pinjaman luar negeri untuk membiayai kekurangan tersebut, yang pada akhirnya meningkatkan beban utang negara. Pada akhir 2023, total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar USD417,5 miliar, meningkat 3,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Beban utang ini semakin memberatkan jika ditambah dengan defisit transaksi berjalan yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, beban pada transaksi berjalan harus dikurangi dengan mengurangi ketergantungan pada investor asing, termasuk PMA, untuk menekan arus devisa keluar negeri.
Efek Investasi Asing?
Indonesia bisa belajar dari kasus Pakistan. Sebuah kajian oleh Danish Ahmed Siddiqui, Mohsin Hasnain Ahmad, dan Muhammad Asim dari University of Karachi menunjukkan bahwa investasi asing dapat membawa efek buruk.
"Dampak signifikan dari FDI adalah pelemahan Neraca Pembayaran dalam jangka panjang karena pengalihan laba ke luar negeri, yang harus menjadi perhatian pengambil kebijakan saat menarik investasi asing," ungkap riset tersebut.
"Dalam kasus Pakistan, investasi asing tidak mampu meningkatkan aktivitas ekonomi kecuali peningkatan impor dan pengalihan devisa yang tinggi. Dengan demikian, aktivitas ekonomi dari investasi asing tidak berkelanjutan dan malah menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi, menyebabkan inflasi tinggi, dan menekan nilai tukar mata uang," tambah riset itu.
Alasan utamanya adalah perusahaan asing yang berinvestasi di Pakistan mengalihkan keuntungannya ke negara asal, sehingga membebani neraca pembayaran. Hal ini menyebabkan defisit neraca berjalan yang semakin besar, yang pada gilirannya dapat melemahkan nilai tukar mata uang dan memicu inflasi.
Yang kedua investasi asing di Pakistan tidak mendorong peningkatan aktivitas ekonomi domestik secara signifikan. Hal ini dikarenakan fokusnya pada peningkatan impor dan transfer keuntungan, bukan pada pengembangan industri lokal dan penciptaan lapangan kerja.
Sementara yang terakhir, model ekonomi yang didorong oleh investasi asing di Pakistan terbukti tidak berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh impor dan transfer keuntungan tidak dapat bertahan dalam jangka panjang, dan malah menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi di masa depan (*)