Logo
>

Investor Ragu Tanam Modal di Turki Usai Inflasi 69 Persen

Ditulis oleh Syahrianto
Investor Ragu Tanam Modal di Turki Usai Inflasi 69 Persen

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Turki kembali menjadi salah satu negara dengan tingkat inflasi tertinggi di dunia pada April 2024. Inflasi konsumen naik menjadi 69,8 persen year on year (yoy), jika dibandingkan Maret sebesar 68,5 persen.

    Kenaikan ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah seperti kenaikan upah yang bertentangan dengan kebijakan kenaikan suku bunga yang agresif selama setahun terakhir.

    Namun yang terpenting, pertumbuhan harga bulanan, yang menjadi indikator utama bagi bank sentral, stagnan di angka 3,18 persen.

    Menyikapi hal itu, otoritas moneter Turki menyatakan bahwa kemungkinan inflasi tidak akan mencapai puncaknya sampai bulan ini, sebelum kemudian menurun di bawah 40 persen pada akhir tahun.

    Menurut mayoritas pelaku pasar keuangan, bank sentral masih memiliki beberapa bulan lagi sebelum mulai menurunkan biaya pinjaman. Bank sentral telah meningkatkan suku bunga utamanya menjadi 50 persen dari 8,5 persen pada bulan Juni, menandai perubahan arah setelah beberapa tahun mengikuti kebijakan moneter yang sangat longgar yang disuarakan oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan.

    Gubernur bank Fatih Karahan menyoroti kekhawatiran inflasi yang masih ada, termasuk di sektor jasa, ketika bank mempertahankan suku bunga minggu lalu.

    Para investor pasar berkembang sedang mengamati perkembangan Turki dalam menangani laju kenaikan harga, dengan harapan mereka dapat menentukan waktu yang tepat untuk kembali ke negara di mana obligasi lokalnya sebelumnya menjadi daya tarik bagi para pelaku carry trade.

    Arus masuk investasi masih lambat dalam beberapa bulan terakhir. Namun, bank-bank Wall Street seperti Citigroup Inc dan JPMorgan Chase & Co, yang melihat imbal hasil tinggi yang ditawarkan di pasar obligasi, sekarang merekomendasikan untuk membeli lira. HSBC Holdings Plc bahkan menyebut Turki sebagai salah satu pasar favorit.

    Kurs mata uang yang lebih stabil dapat memberikan kelonggaran terhadap inflasi dengan membantu menahan biaya barang impor. Setelah terdepresiasi hampir 4 persen terhadap dolar AS pada bulan Maret, lira sebagian besar stagnan bulan lalu.

    Lira melemah hampir 9 persen sepanjang tahun ini dan diperdagangkan sekitar 32,4 terhadap mata uang AS.

    Lira telah kehilangan hampir 80 persen nilainya sejak awal 2021, kinerja yang disalahkan oleh pelaku pasar atas sikap dovish bank sentral.

    "Menurut kami sinyal kebijakan yang menggembirakan akan menahan tekanan penurunan pada lira," kata Maya Senussi dari Oxford Economics dalam sebuah laporan sebelum rilis data.

    "Risiko depresiasi nominal yang lebih cepat masih besar mengingat prospek inflasi dan risiko kenaikan dari suku bunga global, harga minyak, dan geopolitik," sambung Maya.

    Memburuknya sentimen di antara rumah tangga menambah kerumitan lain. Menurut survei oleh Universitas Koc dan lembaga polling Konda, warga Turki melihat inflasi mencapai 96 persen pada akhir tahun. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat proyeksi dalam survei terbaru bank sentral terhadap pelaku pasar keuangan.

    "Kebijakan moneter akan tetap ketat sampai ada penurunan yang signifikan dan berkelanjutan dalam tren mendasar inflasi bulanan," kata bank sentral.

    Bank sentral mengisyaratkan kenaikan suku bunga lebih lanjut mungkin terjadi jika mereka mengidentifikasi adanya kemunduran yang signifikan dan terus-menerus dalam prospek inflasi.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.