KABARBURSA.COM - Pengamat politik saat ini menilai bahwa kesempatan Anies Baswedan untuk maju sebagai calon dalam Pilkada Jakarta semakin meredup. Mantan calon presiden pada Pemilu 2024 ini berisiko kehilangan peluang untuk menjadi calon gubernur pada pilkada mendatang.
Cecep Hidayat, Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI), melihat adanya tanda-tanda perpecahan antara Anies dan PKS dalam beberapa waktu terakhir. Potensi Anies kehilangan salah satu partai pengusungnya, yang juga merupakan bagian dari Koalisi Perubahan pada Pilkada DKI Jakarta 2017, semakin besar.
“Awalnya PKS ingin mendukung Anies. Ada dua opsi; jika Anies tidak menggandeng Sohibul Iman, maka Anies sebaiknya jadi figur sekunder di PKS. Namun, Anies menolak,” ujar Cecep dikutip, Selasa 13 Agustus 2024.
Konflik ini menunjukkan bahwa PKS mungkin akan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk membentuk KIM Plus. Koalisi ini direncanakan akan mengusung mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.
Namun, Cecep berpendapat bahwa kepergian PKS ke KIM Plus tidak hanya disebabkan oleh perselisihan dengan Anies Baswedan. Sebagai pemenang Pileg Jakarta, PKS tentu memiliki posisi tawar yang kuat dalam membentuk KIM Plus.
“PKS memiliki strategi politiknya sendiri, mengingat mereka adalah peraih kursi DPRD tertinggi di Jakarta,” tambah Cecep.
Tidak hanya PKS, Partai Nasdem juga diprediksi akan bergabung dengan KIM Plus, meski partai yang dipimpin Surya Paloh itu berulang kali menyatakan dukungannya terhadap Anies dalam Pilkada mendatang.
“Memang ada tarik-menarik di Nasdem,” jelas Cecep.
Situasi ini, menurut Cecep, menyisakan PDIP dan PKB sebagai opsi terakhir bagi Anies untuk berlaga di Pilkada DKI Jakarta. Saat ini, PDIP bersama Partai Perindo dan PPP menguasai 17 kursi di DPRD Jakarta. Mereka berpotensi mengusung calon jika berhasil berkoalisi dengan PKB yang memiliki 10 kursi.
Namun, Cecep mencatat bahwa PDIP mungkin tidak mudah menerima Anies. Kedua pihak memiliki sejarah perseteruan sejak Pilkada DKI Jakarta 2017. Selain itu, PDIP juga bersikeras untuk mengusung kadernya sendiri sebagai calon gubernur di Jakarta.
“Beberapa petinggi PDIP, seperti Hasto atau Puan, memang pernah menyebut Anies sebagai calon potensial,” ungkap Cecep.
Dia juga menambahkan bahwa dinamika politik menjelang Pilkada Jakarta akan sangat fluktuatif hingga hari pendaftaran di KPU, 27-29 Agustus 2024. Beberapa partai politik mungkin akan berubah posisi dan kembali mendukung Anies.
“Kondisi politik sangat dinamis, seperti yang terjadi dengan Golkar saat ketua umumnya, Airlangga Hartarto, tiba-tiba mengundurkan diri pada Sabtu lalu,” katanya.
Elektabilitas Anies Turun Sejak Pilpres
Peta politik menjelang Pilpres 2024 menunjukkan bahwa persaingan akan berlangsung ketat dan kemungkinan besar memerlukan dua putaran. Meski pemungutan suara tinggal delapan bulan lagi, tiga kandidat calon presiden terkuat, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan, masih terpecah, dengan tidak ada kandidat yang benar-benar dominan, ungkap sejumlah lembaga survei.
Berdasarkan hasil survei terkini, Prabowo, Ganjar, dan Anies menduduki posisi teratas dalam hal elektabilitas. Namun, Anies mengalami penurunan signifikan dalam enam bulan terakhir, sementara Prabowo menunjukkan tren kenaikan yang konsisten.
Data dari Saiful Munjani Research & Consultant (SMRC) memperlihatkan bahwa pada Desember 2022, dukungan untuk Anies mencapai 28,1 persen, setara dengan Prabowo. Namun, pada awal Mei 2023, angka dukungan untuk Anies turun menjadi 19,7 persen, sementara Prabowo merangkak naik.
Hasil survei Indikator Politik menunjukkan bahwa Anies sempat mengantongi 28,4 persen pada Oktober 2022, meski masih di bawah Ganjar dan di atas Prabowo. Pada Mei 2023, dukungan untuk Anies merosot menjadi 21,8 persen, sedangkan Prabowo melambung hingga 34,8 persen, sedikit di atas Ganjar yang memperoleh 34,4 persen.
Menurut Direktur Riset SMRC, Deni Irvani, dan peneliti Indikator Politik, Bawono Kumoro, basis pemilih Anies dan Prabowo cenderung overlap. Anies sempat menarik dukungan dari pendukung Prabowo, namun dalam beberapa bulan terakhir, Prabowo berhasil mengembalikan dukungan tersebut.
Sementara itu, Anies, yang mengusung tema "perubahan" sebagai oposisi pemerintahan Jokowi, dinilai belum berhasil memperluas basis pemilihnya. Modal awal Anies berasal dari para pemilih yang kecewa dengan kinerja Jokowi atau sikap Prabowo yang bergabung dalam kabinet Jokowi setelah kalah pada Pilpres 2019.
Bawono menjelaskan bahwa pada November 2022, elektabilitas Anies sempat tinggi seiring dengan deklarasi Nasdem yang mengusungnya sebagai capres. Saat itu, Prabowo mengalami penurunan tren elektabilitas, dan Gerindra belum menunjukkan usaha signifikan untuk Pilpres 2024.
Anik, seorang warga Sumatra Barat berusia 56 tahun, mengaku mempertimbangkan untuk memilih Anies meski sebelumnya mendukung Prabowo pada Pilpres 2019. Keengganan terhadap Jokowi dan ketidakpuasan dengan hubungan Prabowo-Jokowi mempengaruhi keputusan Anik.
Anggara Alvin, seorang pemilih muda, juga beralih dukungan dari Prabowo ke Anies, merasa bahwa Anies lebih dekat dengan rakyat dan generasi milenial. Namun, survei terbaru menunjukkan bahwa Anies menghadapi tantangan dalam memperluas dukungannya.
Anies dan Prabowo memiliki rekam jejak yang kuat di kalangan pemilih Islam. Anies menang dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 melawan Ahok, sementara Prabowo unggul di kalangan pemilih Islam pada Pilpres 2014. Namun, hasil survei sepanjang 2023 menunjukkan distribusi suara pemilih Muslim yang relatif merata antara Ganjar, Anies, dan Prabowo.
Deni Irvani dari SMRC menjelaskan bahwa Anies tidak sepenuhnya sejalan dengan posisi ideologi pemilih Indonesia yang umumnya moderat nasionalis. Anies dianggap lebih condong ke kanan, berbeda dengan Ganjar dan Prabowo yang lebih dekat dengan nasionalisme.
Strategi Anies sebagai kandidat perubahan belum berhasil menarik lebih banyak pemilih karena tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi berada pada angka tertinggi. Survei menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap Jokowi mencapai 79,2 persen hingga 81,7 persen. Bawono menambahkan bahwa kepuasan ini menyebabkan elektabilitas Anies tertekan karena banyak pemilih merasa tidak perlu perubahan drastis.
Dalam konteks ini, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto mendapatkan keuntungan dari meningkatnya kepuasan publik terhadap Jokowi, sedangkan Anies harus menghadapi tantangan dalam menarik dukungan baru. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.