KABARBURSA.COM - Di tengah tekanan geopolitik dan membengkaknya defisit perdagangan Indonesia yang menembus USD14,6 miliar, pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bahwa sektor energi dan mineral bisa menyumbang devisa USD10–14 miliar tanpa ubah regulasi, menjadi headline kontroversial di pasar.
Pasar menilai pernyataan tersebut ambisius. Namun bagi Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), target tersebut sebenarnya bukan omong kosong.
“Potensi sektor ESDM kita besar. Kalau hilirisasi dilakukan secara serius, ini bisa jadi mesin devisa yang jauh lebih kuat dibandingkan ekspor ke AS,” ujarnya kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Sabtu, 19 April 2025.
Menurut Fahmy, pengalaman hilirisasi nikel seharusnya jadi bahan refleksi, bukan sekadar catatan masa lalu. Ia menilai kebijakan itu saat diluncurkan terlalu tergesa-gesa.
“Begitu ekspor nikel dilarang, pemerintah dorong smelterisasi. Tapi waktu itu belum siap—teknologi belum ada, investor belum datang. Akhirnya yang datang duluan China,” katanya.
Masalahnya, lanjut Fahmy, smelter-smelter yang dibangun justru mengandalkan teknologi rendah dengan fasilitas fiskal berlimpah, tanpa transfer nilai tambah berarti ke Indonesia.
“Yang untung ya China. Kita hanya jadi penonton di negeri sendiri, sementara alam kita yang rusak, teknologi tidak berkembang, dan produk hilir pun masih mentah, hanya level 1-2,” ujarnya.
Hilirisasi yang Menyentuh Ekosistem, Bukan Sekadar Produksi
Fahmy menegaskan bahwa hilirisasi yang ideal harus menghasilkan dua output utama: peningkatan nilai tambah dan terbentuknya ekosistem industri nasional.
“Jangan berhenti di smelter. Produk hilir harus menjadi bagian dari industri lain—misalnya baterai masuk ke industri kendaraan listrik. Tanpa rantai yang menyambung ini, ya kita cuma jadi penyedia bahan setengah jadi,” tegasnya.
Menurut Fahmy, hilirisasi seharusnya diarahkan untuk memperkuat struktur industri dalam negeri, bukan hanya mengejar angka devisa jangka pendek.
“Jangan ulangi pola lama: tambang digali, diekspor, kita cuma dapat limbah dan kerusakan lingkungan. Kalau hanya begitu, USD14 miliar itu sekadar mimpi di siang bolong,” tutupnya.
Tantangan Tidak Kecil
Surya Rianto, founder Mikirduit.com, menekankan meski sektor ESDM punya potensi besar, tantangan yang ada saat ini tidak bisa dianggap remeh.
“Kalau mau dilakukan impor minyak dan liquified petroleum gas (LPG) dari Amerika Serikat (AS) memang bisa nutup sih. Ini jadi solusi. Untuk respons pasar, terserah bagaimana cara negosiasinya, yang penting timbal baliknya oke seperti tarif 0 persen. Kalau ada yang nyata seperti itu, baru bisa direspons pasar,” ujar Surya kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Kamis, 17 April 2025.
Pernyataan Bahlil mengenai potensi devisa sektor ESDM tentu menggugah banyak pihak, namun bagi investor, fokus utama adalah bagaimana kebijakan tersebut dapat mempengaruhi valuasi saham-saham yang terlibat dalam hilirisasi.
Saham-saham seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Timah Tbk (TINS), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) selama ini menjadi indikator penting dalam mengukur sentimen pasar terhadap sektor hilirisasi ini.
Namun, Surya mengingatkan bahwa ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan. "Terkait hilirisasi ini terkait program di mineral logam ya. Pemerintah baru saja nyesuain royalti terbaru, yang menurut kami dalam jangka pendek efeknya malah enggak terlalu oke untuk bisnis hilirisasi," katanya.
"Karena harga nikel lagi di bawah ditambah kenaikan royalti. Ini bisa jadi seleksi alam untuk menurunkan produksi nikel di Indonesia," tambah Surya.
Meski demikian, Surya tetap melihat prospek positif dalam jangka panjang. “Tapi sektor ini tetap menarik sih menurut saya karena mereka butuh penyesuaian keseimbangan antara supply dan demand. Kebijakan royalti ini bisa membantu menyesuaikan dari supply sambil tunggu demand-nya pulih.” lanjutnya.
Ketegangan tarif global yang terus berlanjut memicu kekhawatiran di kalangan investor. Dengan volatilitas pasar yang meningkat, banyak yang bertanya-tanya sektor mana yang lebih resilient dan layak dilirik untuk memperkuat portofolio defensif di tengah ketidakpastian ini.
Menurutnya, dalam kondisi ketegangan pasar yang terus berlanjut, langkah pertama yang bijak adalah mempertahankan likuiditas.
"Kalau ketegangan berlanjut, ya lebih baik stay cash dulu saja di reksa dana pasar uang atau obligasi negara. Nanti, kalau sudah mulai kelihatan ketegangan mereda, baru kita bisa cicil ke saham-saham yang murah, baik itu saham siklikal maupun defensif," jelas Surya.
Surya juga menyarankan untuk mengambil pendekatan bertahap dalam membeli saham, terutama saham yang undervalued.
"Kalau mau, bisa cicil di saham yang murah saat ini. Saham-saham big bank, misalnya, masih cukup murah. Jika ingin mengambil risiko sedikit lebih tinggi, saham-saham nikel seperti INCO dan NCKL juga bisa menjadi pilihan," tambahnya.
Selain itu, Surya juga menyoroti sektor telekomunikasi, yang menurutnya cukup defensif di tengah ketidakpastian pasar.
"Saham menara telekomunikasi seperti TOWR juga sudah cukup murah. Ini bisa jadi pilihan defensif yang menarik, mengingat kebutuhan terhadap infrastruktur telekomunikasi terus meningkat," katanya.
Namun, Surya mengingatkan agar investor tidak terburu-buru untuk mengejar saham-saham logam yang sudah mengalami kenaikan harga yang signifikan.
"Untuk saham-saham logam yang sudah naik tinggi, sebaiknya kita wait and see dulu saja. Jangan tergoda untuk masuk terlalu cepat, karena harga bisa saja terkoreksi lagi," tutupnya.(*)