Logo
>

Belanja Negara Era Prabowo Justru Lebih Besar dari Jokowi

Rekonstruksi efisiensi anggaran ini masih belum memiliki payung hukum resmi dan belum dipublikasikan secara luas.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Belanja Negara Era Prabowo Justru Lebih Besar dari Jokowi
Presiden RI Prabowo Subianto saat meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 24 Februari 2025. Danantara diharapkan menjadi instrumen pembangunan nasional dengan mengelola aset investasi strategis negara. Foto: Dok. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintah tengah menjalankan kebijakan efisiensi anggaran untuk tahun 2025 dengan target pemangkasan belanja negara hingga Rp306,69 triliun. Kebijakan ini diperintahkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 22 Januari 2025, dan langsung ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan melalui Surat Edaran Nomor S-37/MK.02/2025 pada 24 Januari 2025.

    Namun, dalam tiga minggu penyusunan rencana efisiensi tersebut, berbagai dinamika terjadi. Awalnya, Kementerian dan Lembaga (K/L) diminta melakukan perhitungan mandiri serta berkoordinasi dengan mitra komisi di DPR. Akibat kompleksitas yang muncul, pemerintah akhirnya melakukan koordinasi langsung melalui Menteri Keuangan dan Sekretariat Negara untuk menetapkan alokasi anggaran yang baru.

    Menurut Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, rekonstruksi efisiensi anggaran ini masih belum memiliki payung hukum resmi dan belum dipublikasikan secara luas. Namun, dalam pidato di acara partai pada 15 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan bahwa pemerintah akan melakukan tiga putaran pemangkasan anggaran yang secara total dapat menghemat hingga Rp750 triliun.

    "Bahkan, rencana baru oleh Presiden Prabowo dipidatokan pada acara partai tanggal 15 Februari. Disampaikan adanya tiga putaran pemangkasan anggaran, yang menghemat anggaran hingga Rp750 triliun," kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, 12 Maret 2025.

    Pada waktu yang hampir bersamaan, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Dokumen ini memuat analisis kondisi terkini serta arah kebijakan pemerintahan Prabowo hingga 2029, termasuk sasaran fiskal dalam bentuk persentase terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

    Merujuk pada data tersebut, di balik rencana pemangkasan belanja hingga  Rp750 triliun sebagai langkah efisiensi anggaran dan strategi utama dalam pengelolaan keuangan negara. Ternyata berdasarkan RPJMN 2025-2029 belanja negara malah diproyeksikan meningkat lebih tinggi dibanding era Jokowi.

    Untuk diketahui, sasaran belanja negara pada tahun 2029 berada dalam rentang 16,20 persen hingga 20,50 persen dari PDB, dengan nilai tengah sebesar 18,35 persen. "Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi rata-rata belanja negara era 2015-2024 yang hanya 15,40 persen dari PDB," tambah Awalil.

    Sementara, belanja negara dalam RPJMN terbagi menjadi Belanja Pemerintah Pusat (BPP) dan Transfer ke Daerah (TKD). Sasaran BPP pada 2029 ditetapkan dalam rentang 11,79 persen hingga 15,01 persen dari PDB, dengan nilai tengah 13,40 persen. Sementara itu, TKD ditargetkan berada dalam rentang 4,41 persen hingga 5,49 persen dari PDB, dengan nilai tengah 4,95 persen.

    "Jika terealisasi, porsi TKD dalam total belanja negara akan sedikit meningkat dari 25,77 persen menjadi 26,98 persen," tambah Awalil.

    Kondisi Fiskal Indonesia

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga kini belum merilis laporan APBN KiTa untuk periode Januari 2025. Keterlambatan ini mengundang beragam spekulasi terkait dengan kondisi fiskal Indonesia, transparansi pemerintah dan dampaknya terhadap perekonomian nasional.

    Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai, keterlambatan ini bisa menjadi sinyal buruk bagi transparansi fiskal pemerintah.

     “Seharusnya APBNKita dirilis sesuai jadwal untuk memastikan keterbukaan pengelolaan keuangan negara. Keterlambatan ini bisa menimbulkan spekulasi negatif di pasar keuangan dan mengurangi kepercayaan investor,” ujar Ahmad dalam keterangannya, Jumat, 7 Maret 2025.

    Menurutnya, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan keterlambatan rilis laporan tersebut. Salah satunya adalah penerimaan negara yang tidak mencapai target akibat perlambatan ekonomi global dan melemahnya harga komoditas utama Indonesia, seperti batu bara dan minyak sawit.

    “Jika penerimaan negara mengalami tekanan, keterlambatan ini bisa jadi strategi pemerintah untuk menghindari sentimen negatif di pasar,” jelasnya.

    Achmad menyoroti dampak dari kurangnya transparansi dalam pengelolaan APBN terhadap stabilitas ekonomi. Menurutnya, investor, pelaku pasar, hingga lembaga keuangan internasional sangat bergantung pada data fiskal pemerintah. 

    Jika laporan tersebut terus tertunda, ia menilai kredibilitas fiskal Indonesia bisa terganggu, yang berpotensi memicu capital outflow, melemahkan nilai tukar rupiah, serta meningkatkan volatilitas pasar keuangan.

    “Investor, pelaku pasar, hingga lembaga keuangan internasional sangat bergantung pada data fiskal pemerintah. Jika laporan ini terus tertunda, kredibilitas fiskal Indonesia bisa terganggu, memicu capital outflow yang melemahkan nilai tukar rupiah dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan,” tambahnya.

    Dampak di Pasar Obligasi

    Lebih lanjut, Achmad menjelaskan bahwa juga dapat berdampak pada pasar obligasi. Ia menilai penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sangat bergantung pada kepercayaan investor terhadap kondisi fiskal. Jika laporan APBNKita menunjukkan defisit yang lebih besar dari perkiraan, ia memperkirakan yield obligasi bisa meningkat, yang pada akhirnya menambah beban utang pemerintah.

    “Pemilu baru saja usai, dan ada kemungkinan tekanan politik untuk meningkatkan belanja sosial serta infrastruktur. Jika penerimaan negara tidak sesuai ekspektasi, defisit APBN bisa melebar dan pemerintah harus mencari sumber pembiayaan tambahan, seperti utang baru,” paparnya.

    Selain itu, Achmad juga menyinggung dampak keterlambatan ini terhadap kebijakan fiskal pada tahun politik. Ia menjelaskan bahwa setelah pemilu, kemungkinan adanya tekanan politik untuk meningkatkan belanja sosial serta infrastruktur cukup besar. Jika penerimaan negara tidak sesuai dengan ekspektasi, ia memperkirakan defisit APBN bisa melebar, sehingga pemerintah perlu mencari sumber pembiayaan tambahan, seperti utang baru.

    Adapun ketidakpastian akibat lambatnya rilis APBNKita berpotensi menghambat perencanaan sektor swasta. Ia menjelaskan bahwa banyak perusahaan menjadikan data APBN sebagai acuan dalam menyusun strategi bisnis mereka. Jika data tersebut tidak tersedia, ia memperkirakan perusahaan cenderung bersikap lebih konservatif dalam pengambilan keputusan, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.