KABARBURSA.COM - Para pakar pertambangan memberikan beberapa saran krusial terkait pengelolaan tambang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, yang baru-baru ini diberikan izin untuk mengakuisisi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang telah berakhir.
Pertama, investasi di sektor pertambangan memiliki kriteria khusus, seperti sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, tingginya kebutuhan modal dan teknologi, serta risiko yang signifikan dari segi bisnis, ekonomi, politik, sosial, dan ketenagakerjaan.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi), Rizal Kasli, menegaskan bahwa ormas keagamaan yang besar tentu memiliki keuangan yang stabil untuk mendirikan badan usaha di sektor pertambangan.
Namun, ada faktor-faktor di luar kendali seperti geopolitik global dan rantai pasokan yang dapat mempengaruhi harga komoditas.
"Saat ini, harga masih menguntungkan dengan potensi keuntungan besar. Namun, kita tidak dapat memprediksi dengan pasti pergerakan harga komoditas tambang karena sangat dipengaruhi oleh geopolitik global dan rantai pasokan," ujar Rizal, dalam wawancara pada Rabu 12 Juni 2024.
Dengan demikian, ada risiko kerugian jika harapan ekonomi tidak sesuai dengan rencana, seperti yang terjadi pada penurunan harga komoditas pada tahun 2013 dan 2018.
Kedua, sektor pertambangan sangat diatur dengan ketat. Oleh karena itu, semua entitas bisnis harus patuh pada regulasi yang berlaku.
Rizal mengakui bahwa pengelolaan WIUPK akan diberikan kepada entitas bisnis yang dimiliki oleh ormas keagamaan.
"Ormas dapat mendirikan entitas bisnis di sektor pertambangan tanpa hambatan, karena tidak ada larangan. Entitas bisnis tersebut akan tunduk pada hukum yang berlaku di sektor pertambangan, sama seperti entitas bisnis lainnya seperti PT, CV, atau koperasi," katanya.
Ketiga, pengelolaan tambang juga rentan terhadap kritik terkait lingkungan dan sosial. Apalagi, menurut Rizal, ormas keagamaan memiliki tanggung jawab moral dan etika karena berperan sebagai pengawas sosial.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa entitas bisnis ormas keagamaan Islam, Nahdlatul Ulama (NU), akan diberi kewenangan untuk mengelola WIUPK dalam waktu dekat.
Bahlil menyatakan bahwa entitas bisnis NU, yang sedang dalam proses, akan mengelola WIUPK yang merupakan bekas lahan PT Kaltim Prima Coal (KPC), anak perusahaan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) milik Grup Bakrie.
Meski demikian, Bahlil tidak memberikan detail mengenai cadangan yang akan dikelola oleh entitas bisnis NU tersebut.
"Pekan depan semuanya akan selesai. Insya Allah, [minggu depan]. Doakan saja. Pemberian kepada PBNU adalah bekas KPC, berapa cadangannya? Nanti tanya begitu kita sudah memberikan, baru tanyakan kepada mereka," kata Bahlil.
Desakan Jokowi Cabut No. 25 Tahun 2024
Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemberian izin tambang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) juga dilakukan dengan ketat. Dia menjelaskan bahwa izin tersebut diberikan kepada koperasi yang terafiliasi dengan ormas atau badan usaha yang berafiliasi dengan ormas keagamaan.
"Jadi yang mendapatkan izin adalah badan usahanya, bukan ormasnya," tegas Jokowi.
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menuai beragam kritik dari masyarakat. Salah satunya datang dari koalisi masyarakat sipil yang menekan Presiden Jokowi untuk segera mencabut kebijakan tersebut.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menjelaskan bahwa dalam Pasal 83A PP 25/2024, terdapat ketentuan memberikan prioritas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan.
Namun, pasal-pasal tersebut dianggap bertentangan dengan UU Minerba. Aryanto menyebutkan bahwa Pasal 83A PP 25/2024 bertentangan dengan Pasal 75 ayat (2) dan (3) UU Minerba yang memberikan prioritas pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Selain itu, Pasal 74 Ayat (1) UU Minerba menekankan bahwa pemberian IUPK harus mempertimbangkan kepentingan daerah.
"Kami mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut PP Nomor 25 Tahun 2024 karena pasal-pasalnya bertentangan dengan UU Minerba," ujarnya dalam keterangan persnya, Rabu 5 Juni 2024.
Kritik tersebut menyoroti adanya ketidaksesuaian antara kebijakan baru dengan regulasi yang sudah ada, menimbulkan keraguan akan keberlanjutan dan keadilan dalam pemberian izin tambang di Indonesia. (*)