KABARBURSA.COM - Meski telah berlalu dua tahun sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) meletakkan batu pertama untuk proyek hilirisasi batubara menjadi dimetil eter (DME) melalui kolaborasi antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina, dan Air Products and Chemicals, Inc., proyek tersebut masih terus berjalan di tengah berakhirnya masa pemerintahan Jokowi.
Seremoni groundbreaking ini dilakukan pada 24 Januari 2022, di Kawasan Industri Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatra Selatan, dan dihadiri oleh berbagai pejabat, termasuk Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Pada acara tersebut, Presiden Jokowi mengharapkan agar proyek tersebut dapat selesai sesuai dengan target, yaitu kurang dari tiga tahun.
Proyek ini bertujuan untuk mengubah batubara menjadi dimetil eter (DME) dan mengurangi impor liquefied petroleum gas (LPG) serta subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Berdasarkan rencana awal, PT Bukit Asam akan memasok kebutuhan batubara sebanyak 6 juta ton per tahun untuk menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun. Proyek senilai US$ 2,1 miliar ini juga diharapkan dapat mensubstitusi impor LPG hingga 1 juta ton per tahun dan menghemat devisa impor sebesar Rp 9,1 triliun per tahunnya.
DME yang dihasilkan akan dijual ke PT Pertamina Patra Niaga sebagai substitusi LPG. Harga DME yang direncanakan sekitar US$ 378 per ton diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi Pertamina, karena lebih murah dibandingkan harga LPG yang rata-ratanya sekitar US$ 470 per ton.
Proyek hilirisasi batubara ini juga mendapat dukungan pemerintah sebagai proyek strategis nasional (PSN) berdasarkan Perpres No 109 Tahun 2020. Meskipun ada ketidakpastian menjelang akhir rezim Jokowi, proyek ini tetap berjalan dengan harapan memberikan manfaat signifikan bagi perekonomian dan industri energi nasional.
Lalu Apa Kabar Hilirisasi Batubara?
Proyek gasifikasi batu bara yang dinantikan dan diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo tampaknya mengalami hambatan serius menjelang akhir masa kekuasaannya. Pada Maret tahun lalu, Air Products and Chemicals, perusahaan yang menguasai teknologi gasifikasi, memutuskan untuk mundur dari proyek tersebut, bersama PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Pertamina, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Arutmin Indonesia.
Alasan utama mundurnya Air Products adalah bisnis di Amerika Serikat yang lebih menarik dibandingkan di Indonesia. Pemerintah AS juga memberikan insentif kepada investor untuk proyek energi baru dan terbarukan (EBT). Meskipun Pertamina menyatakan kesiapannya, hingga November 2023 belum ada perjanjian pembelian atau offtake agreement yang ditandatangani.
Dengan mundurnya mitra utama, PTBA kini terus berusaha mencari mitra pengganti untuk melanjutkan proyek gasifikasi batu bara. Corporate Secretary PTBA, Niko Chandra, menyatakan keterbukaan perusahaan untuk bekerja sama dengan mitra yang kompeten dalam bidang hilirisasi batu bara.
Proyek hilirisasi Dimethyl Ether (DME) merupakan kewajiban PTBA setelah memperoleh perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sebagai pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diperpanjang ke IUPK, PTBA wajib menjalankan hilirisasi batubara.
Selain PTBA, sejumlah perusahaan lain seperti PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Multi Harapan Utama, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, dan PT Adaro Indonesia juga diwajibkan untuk melakukan hilirisasi batu bara.
Meskipun pemerintah memberikan insentif fiskal dan non-fiskal untuk mendukung proyek hilirisasi batu bara, proyek ini menghadapi tantangan, terutama di aspek finansial. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, menyebut bahwa proyek gasifikasi memerlukan investasi besar, dan dukungan perbankan baik dari dalam maupun luar negeri semakin sulit.