Logo
>

Jelang Pertemuan The Fed, Bagaimana Nasib IHSG

IHSG tetap menguat menjelang rapat The Fed, didorong ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter dan penguatan rupiah, namun analis ingatkan potensi aksi ambil untung.

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Jelang Pertemuan The Fed, Bagaimana Nasib IHSG
IHSG masih menguat jelang pertemuan The Fed, didorong ekspektasi pelonggaran moneter dan penguatan rupiah, namun mendekati zona rawan profit taking. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG masih tampak kokoh menjelang pertemuan Federal Reserve (The Fed) yang dimulai pada Rabu-Kamis, 6–7 Mei 2025.

IHSG ditutup di zona hijau pada perdagangan Selasa, 6 Mei 2025 dengan penguatan signifikan sebesar 66,24 poin atau setara 0,97 persen ke level 6.898,20. 

Founder Stocknow.id, Hendra Wardana, mengatakan saat ini pasar keuangan global tengah mencermati pertemuan kebijakan The Fed. Sebab, ini merupakan pertemuan pertama sejak Presiden Amerika Serikat (ASL Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif timbal-balik (reciprocal tariffs) yang kontroversial. 

Menurutnya, pelaku pasar mulai mengantisipasi adanya pelonggaran kebijakan moneter pada paruh kedua 2025, terutama jika inflasi mulai mereda.  Hal inilah yang menjadi penopang penguatan IHSG. 

"Ekspektasi bahwa The Fed akan melonggarkan kebijakan moneternya pada paruh kedua tahun ini juga turut mendorong sentimen positif di pasar domestik," ujar dia dalam risetnya kepada KabarBursa.com, Selasa, 6 Mei 2025.

Secara keseluruhan IHSG telah menguat hampir 3,5 persen dalam sepekan terakhir dari posisi 6.662. Hendra menilai kinerja solid indeks mencerminkan fokus pelaku pasar terhadap prospek ke depan (forward-looking), bukan semata pada data historis.

"Katalis positif menguatnya nilai tukar rupiah, serta musim pembagian dividen menjadi faktor penopang utama," ujarnya. 

Namun, ia melihat IHSG secara teknikal telah mendekati area rawan aksi ambil untung, mengingat indikator RSI yang memasuki zona jenuh beli. 

"Resistance kuat berada di kisaran 6.900–7.000, dengan level psikologis 7.000 menjadi ujian penting yang hanya bisa ditembus jika didukung oleh aliran dana asing dan keberlanjutan penguatan rupiah," jelasnya. 

Meski demikian, kata dia, arus dana asing masih terpantau belum sepenuhnya meyakinkan, tercermin dari lemahnya sektor perbankan yang selama ini menjadi pendorong utama saat pasar dalam tren bullish.

Hendra melihat sektor perbankan tertekan oleh tingginya suku bunga acuan, penurunan margin bunga bersih (NIM), serta pemulihan kredit yang belum merata.

Dalam konteks ini, ia merekomendasikan sejumlah saham yang layak dicermati sebagai motor penggerak IHSG. Seperti  RAJA (Buy, TP Rp2.360) yang mendapatkan sentimen positif dari ekspansi LNG dan energi bersih, 

Kemudian ada BRMS (Buy, TP Rp420) dan PSAB (Buy, TP Rp330) yang terdorong oleh lonjakan harga emas dunia. Serta UNVR (Buy, TP Rp2.040) yang menarik dari sisi karakter defensifnya di tengah ketidakpastian ekonomi.

"Fokus pada saham berfundamental kuat, serta pemantauan ketat terhadap arah kebijakan fiskal, moneter, dan politik domestik, maka peluang IHSG menembus dan bertahan di atas 7.000 bukan sekadar kemungkinan, melainkan keniscayaan apabila didukung oleh katalis makro yang tepat," katanya. 

Trump Desak The Fed Pangkas Bunga

Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebelumnya kembali menggencarkan tekanannya terhadap The Fed agar segera memangkas suku bunga acuan. 

Di tengah ketegangan akibat perang dagang yang ia picu sendiri, Trump menilai pemangkasan bunga bisa jadi “bantalan” untuk meredam dampak ekonomi yang mungkin terjadi.

Dalam unggahan di Truth Social pada Senin, 21 April 2025, Trump menyebut inflasi saat ini “hampir tidak ada”, mengacu pada data Maret sebelum tarif-tarif baru diberlakukan. Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Selasa, ia kemudian mengarahkan kritik keras kepada Ketua The Fed Jerome Powell, yang ia sebut “selalu terlambat”.

Sikap Gedung Putih pun mulai terlihat lebih ambigu. Kevin Hassett, Direktur Dewan Ekonomi Nasional, yang sebelumnya dikenal membela independensi bank sentral, kini enggan membela Powell secara terbuka. 

Ia hanya menyebut pemerintah masih mempelajari status Powell dan bahkan menuding The Fed selama ini membuat keputusan dengan pertimbangan politis—sesuatu yang langsung dibantah oleh para pejabat The Fed.

WSJ Dollar Index mencatat penurunan tiga pekan berturut-turut, turun 3,5 persen—terbesar sejak November 2022. 

Trump sendiri terus menggoyang independensi The Fed. Dalam jumpa pers beberapa waktu lalu, ia menyatakan bisa memecat Powell kapan saja. “Kalau saya mau dia keluar, dia akan keluar dengan cepat, percayalah,” ujarnya.

Meski pernyataan seperti ini sudah sering terdengar sejak periode pertamanya, investor kini lebih cemas. Ada dua alasannya: pertama, Trump kini jauh lebih berani menabrak norma kelembagaan dan hukum. Kedua, tarif-tarif terbaru jauh lebih besar dan luas dari kebijakan serupa yang ia terapkan pada 2019–2020 sehingga menambah tekanan bagi The Fed yang selama beberapa tahun terakhir telah menaikkan bunga ke level tertinggi dua dekade demi melawan inflasi.

Kekhawatiran pun muncul bahwa The Fed tak lagi bebas menyesuaikan suku bunga seperti yang mereka lakukan pada 2022. Jika benar terjadi, kredibilitas AS dalam pengelolaan ekonomi bisa semakin dipertanyakan, terutama oleh investor asing.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Hutama Prayoga

Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.