KABARBURSA.COM - Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengultimatum para pihak yang masih menjajakkan produk impor ilegal. Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Barang Impor Ilegal untuk mengawasi peredaran barang impor ilegal.
Kata Zulkifli Hasan, pembentukan Satgas Pengawasan Barang Impor Ilegal ini sebagai respon terhadap meningkatnya kekhawatiran mengenai masuknya barang-barang yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dia menegaskan pentingnya pembentukan satgas tersebut untuk memitigasi dan mengawasi barang-barang yang berpotensi merugikan industri dalam negeri.
“Saya sudah bertemu dengan Jaksa Agung. Mungkin Jumat besok satgas sudah terbentuk. Hati-hati bagi yang ilegal, yang dagang barang impor tidak jelas. Dalam minggu-minggu ini, kami akan terjang semua,” ungkap Zulkifli Hasan di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu, 17 Juli 2024.
Pembentukan Satgas Pengawasan Barang Impor Ilegal berlandaskan banyaknya laporan dari asosiasi, termasuk Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia serta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Zulkifli menjelaskan, dalam praktiknya nanti Satgas Pengawasan Barang Impor Ilegal akan melibatkan aparat penegak hukum, seperti polisi dan Kejaksaan Agung, untuk menindak tegas oknum-oknum yang melanggar.
“Kami akan melibatkan aparat terkait, seperti polisi dan Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan dan penegakan hukum,” ujarnya.
Zulkifli Hasan dan Jaksa Agung ST Burhanuddin telah bertemu pada Selasa, 16 Juli 2024. Keduanya membahas pembentukan Satgas Pengawasan Barang Impor Ilegal yang melibatkan 19 kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.
Dia pun menyatakan keprihatinannya terhadap dampak impor ilegal terhadap industri tekstil dalam negeri.
“Kami mendengar banyak keluhan mengenai ancaman tutupnya industri tekstil dan masalah-masalah serupa yang berkaitan dengan barang impor,” kata Zulkifli Hasan.
Satgas Pengawasan Barang Impor Ilegal akan fokus mengawasi tujuh jenis barang tertentu, antara lain tekstil dan produk tekstil, pakaian jadi, aksesori pakaian, keramik, elektronik, alas kaki, serta kosmetik.
Dengan adanya pengawasan yang lebih ketat, Zulkifli Hasan berharap produk-produk lokal dapat terlindungi dari gempuran barang impor ilegal yang masuk tanpa registrasi.
Sebagai tambahan, Kementerian Perdagangan juga melakukan pengawasan melalui mekanisme Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional, Bara Hasibuan, menjelaskan bahwa penyelidikan serta penerapan BMAD dan BMTP terkait dengan produk-produk impor yang berkaitan langsung dengan bahan baku industri dalam negeri.
“Produk-produk yang dimaksud antara lain pakaian dan aksesori, kain, tirai, karpet, benang, ubin keramik, serta berbagai barang lainnya yang penting untuk industri lokal,” ungkap Bara, Senin, 15 Juli 2024.
Perlu dicatat bahwa BMAD dan BMTP diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Anti Dumping dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
Perbedaan utama antara kedua instrumen ini terletak pada subjek pengenaannya, di mana tindakan antidumping lebih berfokus pada praktik dumping yang merugikan industri dalam negeri.
Indonesia telah melakukan penyelidikan terhadap beberapa negara yang terlibat dalam praktik perdagangan tidak adil, termasuk India, China, Jepang, dan negara-negara lainnya. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan industri dalam negeri dapat terjaga dan bersaing secara sehat di pasar global.
Soal BMAD, Faisal Basri: KADI seperti Pesilat Mabuk
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mengajukan penetapan BMAD untuk produk keramik impor asal China. Adapun rencana itu muncul setelah temuan KADI terkait adanya dumping atas impor barang yang diduga berasal dari perusahaan asal China sebesar 100,12 persen hingga 199,88 persen.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Senior Institute For Develompment of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri menilai, KADI terlalu gegabah mengajukan BMAD bagi produk-produk impor asal China. Dia juga meragukan data yang dihimpun oleh KADI.
Pasalnya, data yang ditampilkan KADI dalam hasil investigasinya terlihat tidak mengalami penurunan pada masa pandemi Covid-19. Padahal, kata Faisal, pandemi Covid-19 menjadi momok yang menakutkan bagi seluruh sektor industri dunia.
“Yang unik ya dari kajian KADI ini, tidak ada Covid-nya, seolah-olah COVID itu tidak pernah terjadi. Padahal COVID itu memorak-moradakan ekonomi termasuk industri yang terjadi di periode (dibentuknya) KADI,” kata Faisal dalam salah satu acara diskusi public yang digelar INDEF, Jakarta, Selasa, 16 Juli 2024.
Faisal merinci, pada tahun pandemi COVID resmi muncul di Indonesai 2020 lalu, produksi keramik jika dilihat dari sektor industri yang menggunakannya terjadi penurunan hingga tahun 2022. Di sektor kontruksi, 2020 mengalami penurunan hingga -3,26 persen, kemudian kembali naik pada tahun 2021 sebesar 2,81 persen, dan tahun 2022 kembali recovery di angka 2,01 persen.
Begitu juga di sektor real estate, Faisal merinci terjadi penurunan pada masa pandemi COVID di tahun 2020 sebesar 2,32 persen, tahun 2021 naik tipis 2,78 persen, dan 2022 kembali menurun di angka 1,72 persen. Adapun gross domestic products (GDP) di ketiga tahun tersebut juga mengalami penurunan, 2020 sebesar -2,07 persen, 2021 naik 3,70 persen, dan 2022 menguat di 5,31 persen.
“Nah ini mengubah seluruh cerita KADI itu. Makanya ada peningkatan import dari China, Juli 2021-Juni 2022, peningkatan ya recovery semua, iya enggak? Kan sudah recover dibandingkan dengan masa COVID, jadi ya dia naik lah, ampun deh,” jelasnya.
Faisal menilai, KADI tidak melihat pelemahan sektor industri karena fenomena COVID tetapi justru memukul rata kesalahan impor disebabkan oleh dumping China. Padahal, KADI juga mencatat adanya pengaruh dinamika perekonomian global.
“Nah jadi hidup matinya keramik di Indonesia juga disebabkan oleh kondisi perekonomian global. Itu kata KADI. Kok semua ditumpahkan ke China. Jadi tidak sesederhana itu,” tegasnya.
Dalam laporannya, Faisal juga menyebut KADI tidak memisahkan produk keramik merah dan porcelain. Sementara produksi keramik dalam negeri sendiri tidak menutupi kebutuhan dalam negeri.
Pasalnya, produk yang dimiliki Indonesia lebih banyak keramik merah. Sementara yang sering digunakan lebih banyak yang berbahan porcelain sebagaimana yang dipasang di beberapa gedung milik negara.
“Jadi industri dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ini porselen kalau saya nggak salah ya. Yang besar-besar ini tidak ada lah yang diproduksi dalam negeri.
Dalam negeri kebanyakan 30×30 dan 60×60. Kalau yang besar-besar di Sukarno Hatta deh, Terminal 3. Itu kan tadinya kan karpet. Sekarang udah di rombak karpetnya dipakaiin porselen. Impor itu BUMN,” ungkapnya.
“Terus pukul rata mengukuran berapa aja dikenakan 5 subtil gini. KADI ini seperti jurus silat mabuk, pesilat mabuk. Semua dilibas,” tambahnya. (yog/*)