KABARBURSA.COM - Kebijakan pemerintah yang mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang telah memicu pro dan kontra di masyarakat.
Kebijakan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, banyak pihak menilai kebijakan ini rentan digugat oleh berbagai elemen masyarakat.
Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Minerba, Arya Rizqi Darsono, menjelaskan bahwa meski niat pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat melalui izin tambang untuk Ormas Keagamaan itu baik, tetap harus patuh pada Undang-Undang yang berlaku.
"PP 25/2024 perlu dicermati dengan baik, bukan Ormas Keagamaan yang diberikan tapi melalui badan usaha yang didirikan oleh Ormas, di mana Badan Usaha harus tunduk pada UU tentang Perseroan Terbatas," kata Arya, Senin, 10 Juni 2024.
Arya menambahkan, bahwa perlu ada penyempurnaan terhadap UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, terutama pada Pasal 75 yang mengutamakan BUMN dan BUMD dalam mendapatkan IUPK.
Jika BUMN dan BUMD tidak berminat, barulah tawaran tersebut dapat dilelang kepada pihak swasta.
Pasal 78 ayat (2) menyebutkan bahwa IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau Badan Usaha swasta. Sedangkan Pasal 78 ayat (3) menegaskan BUMN dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.
Arya menyatakan bahwa UU adalah produk legislatif yang pelaksanaannya berada di tangan pemerintah. "Pemerintah harus mengacu pada UU saat menerbitkan PP, namun masih terdapat ketidaksempurnaan dalam PP 25 Tahun 2020 yang perlu diperbaiki. Perlu dilakukan revisi UU apabila PP akan dijalankan. Bisa dilakukan revisi pengajuan oleh DPR atau pemerintah. Atau Presiden menerbitkan Perpu dengan mekanisme yang ada," ujar Arya.
Dia mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini bisa menimbulkan implikasi hukum yang rentan terhadap gugatan.
Meski tidak menampik penerbitan WIUPK eks PK2B kepada ormas keagamaan dapat meningkatkan penerimaan negara melalui royalti serta menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, tapi diperlukan perangkat hukum yang lebih sempurna.
"Semangatnya baik, tetapi perlu pemerintah mencermati masih ada kekurangan ketidaksempurnaan di dalam perangkat per UU. PP secara hierarki di bawah UU," tutur Arya.
Di sisi lain, sebuah petisi muncul menuntut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk mengelola energi baru terbarukan daripada tambang batu bara.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, menyebut bahwa PP 25 Tahun 2024 dan sejumlah regulasi sebelumnya yang memudahkan pelaku bisnis mencerminkan arogansi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Seluruh produk hukum/kebijakan tersebut berlangsung tanpa partisipasi publik, secara sengaja mengabaikan itu," kata Melky, Senin, 10 Juni 2024.
Dia menambahkan bahwa proses tersebut sarat dengan korupsi politik, di mana kekuasaan politik yang dimiliki disalahgunakan untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
JATAM mendesak Ormas Keagamaan untuk menolak pemberian konsesi tambang dari Presiden Jokowi secara tegas.
Kebijakan pemerintah yang mengizinkan Ormas Keagamaan untuk mengelola tambang memunculkan banyak perdebatan. Di satu sisi, ada potensi peningkatan kesejahteraan dan penerimaan negara. Di sisi lain, ada kekhawatiran akan ketidakpatuhan terhadap peraturan yang ada dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Perlu penyempurnaan regulasi dan partisipasi publik yang lebih luas untuk memastikan kebijakan ini berjalan sesuai dengan tujuan awalnya.
Jatah Ormas Keagamaan yang Menolak akan Dilelang
Pemerintah berencana melelang jatah lahan tambang yang diberikan kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan jika ormas tersebut menolak untuk mengelolanya.
Hingga saat ini, pemerintah hanya memberikan izin pengelolaan tambang kepada enam ormas keagamaan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menjelaskan bahwa terdapat enam lahan tambang yang akan diberikan kepada enam ormas keagamaan untuk dikelola. Namun, jika ormas tersebut menolak, lahan tambang akan dikembalikan ke negara dan dilelang sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Ya, kembali kepada negara. Kita berlakukan sebagaimana aturan yang ada, lelang kalau tidak mau ambil," ujar Arifin di Kantor Ditjen Migas, Jakarta, Jumat, 7 Juni 2024.
Lahan tambang yang disiapkan pemerintah untuk ormas keagamaan merupakan hasil penciutan dari lahan beberapa perusahaan besar. Seluruh lahan tersebut merupakan tambang batu bara, termasuk lahan eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dari PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung.
Saat ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah memproses Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dan dipastikan mendapatkan izin pengelolaan tambang di lahan eks PKP2B PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Sementara itu, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) telah menyatakan penolakannya terhadap tawaran pemerintah untuk mengelola lahan pertambangan.
Menurut Arifin, ada sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi oleh badan usaha ormas tersebut jika ingin mengelola lahan tambang. Salah satunya adalah melakukan feasibility study (FS) atas lahan yang diberikan sehingga dapat mengetahui pasar tujuan untuk produk batu bara yang dihasilkan.
"Harus bikin dulu FS, dia mau marketnya ke mana, dengan market itu ingin produksi berapa. Untuk produksi itu dia (badan usaha ormas) perlu peralatan berapa, itu masuk dalam FS," jelas Arifin.
Setelah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), badan usaha ormas keagamaan tersebut wajib mengelola lahan dalam kurun waktu lima tahun.
Targetnya adalah agar lahan tambang bisa berproduksi setidaknya dalam dua hingga tiga tahun setelah IUP diterbitkan. Selain itu, ormas yang mendapatkan IUP juga harus membayar biaya kompensasi data informasi (KDI).
“Harus memenuhi persyaratannya, ada KDI. Semuanya ada aturan yang harus dipatuhi,” tegas Arifin. (*)