Logo
>

Kampus Berbisnis dengan Industri: Solusi atau Tantangan?

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Kampus Berbisnis dengan Industri: Solusi atau Tantangan?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Wacana agar kampus bekerja sama dengan industri kembali mencuat setelah usulan anggota DPR RI yang berharap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dapat menanggulangi biaya operasional tanpa menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, memberikan klarifikasi terkait hal ini. Menurut dia, tujuan utama adalah kerja sama dengan industri, bukan berbisnis dengan mahasiswa.

    Menurut Dede, kampus bisa bekerja sama dengan industri sehingga tidak hanya mengandalkan pendanaan dari mahasiswa. Ia mencontohkan, Perguruan Tinggi dapat memberikan hasil riset yang meningkatkan produktivitas industri. “Jadi bukan berbisnis dengan mahasiswa tapi berbisnis dengan industri,” ujar Dede kepada KabarBursa, dua hari lalu.

    Ia menambahkan, contoh sederhana adalah sebuah industri manufaktur kayu yang bisa meningkatkan produktivitas dari 1.000 unit menjadi 2.000 unit per hari melalui riset kampus. Dengan demikian, industri mendapatkan manfaat berupa peningkatan produktivitas, sedangkan kampus mendapatkan pendanaan untuk riset. “Itulah yang disebut berbisnis dengan industri karena pada dasarnya Perguruan Tinggi itu adalah laboratorium riset,” jelasnya.

    Dede tak membantah jika akhirnya dosen-dosen kampus harus mengajukan proposal kerja sama kepada industri untuk bisnis riset ini.

    Namun, pandangan ini mendapat tanggapan berbeda dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji. Menurut Ubaid, langkah ini bisa mengarah pada komersialisasi pendidikan dan menimbulkan risiko bagi kampus.

    Misalnya, kata dia, independensi dan nalar kritis kampus akan redup jika harus berbisnis. Ia mencontohkan, kerja sama riset dengan perusahaan tambang dapat menimbulkan konflik kepentingan yang menghambat independensi akademik. “Kalau kampus sudah berbisnis, intelektual dan nalar kritisnya pun akan mati,” katanya kepada KabarBursa, Minggu, 1 Juli 2024.

    Lebih lanjut, Ubaid menyoroti dampak dari perubahan status PTN menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Menurutnya, sejak awal kebijakan ini dirilis, banyak penolakan terjadi karena diprediksi akan memberatkan mahasiswa. “Kebijakan ini justru melenceng dari tujuan awalnya dan menyebabkan uang kuliah semakin mahal dan tidak terjangkau,” ungkapnya.

    Ubaid menjelaskan, PTN-BH diharuskan mandiri dan diizinkan berbisnis, yang menurutnya berpotensi menghilangkan ruh pendidikan sebagai pencerdas kehidupan bangsa. Konsekuensinya, kata dia, negara tidak lagi membiayai kampus, tapi justru kampus diminta untuk mandiri mencari sumber keuangan.

    Pandangan Ubaid juga didukung oleh fakta bahwa tidak ada satu pun kampus PTN-BH yang UKT-nya tidak mahal dan tidak memberatkan mahasiswa. Ia mempertanyakan apakah kebijakan PTN-BH ini layak dilanjutkan jika ternyata justru membebani mahasiswa. “Apa kita mau lanjutkan kebijakan PTN-BH ini?” tanyanya.

    Akibat PTN-BH

    Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Edi Subkhan, mengatakan status PTN-BH memberikan kewenangan kepada kampus untuk mengelola keuangannya secara mandiri, tetapi juga membawa konsekuensi berupa pengurangan subsidi pendidikan dari pemerintah.

    "Kampus hanya mendapat subsidi sekitar 30 persen. Selebihnya, kampus harus mencari sumber dana sendiri," kata Edi.

    Dia menjelaskan, kampus yang ingin menjadi PTN-BH harus menyiapkan tabungan sekitar Rp 100 miliar. Oleh karena itu, kampus dengan biaya kuliah terjangkau, terpaksa menaikkan UKT untuk meningkatkan pendapatan. Selain menaikkan UKT, kampus juga menerapkan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) dan memperbesar kuota mahasiswa jalur mandiri. "Ini adalah strategi kampus untuk meningkatkan pendapatan," kata Edi.

    Edi mengungkapkan banyak perguruan tinggi saat ini berlomba-lomba untuk menjadi PTN-BH karena tertarik dengan otonomi keuangan yang dijanjikan. Namun, otonomi ini juga disertai dengan pengurangan bantuan anggaran dari pemerintah.

    Menurut Edi, kondisi ini tidak sesuai dengan tujuan dasar berdirinya kampus negeri, yaitu untuk menyediakan layanan pendidikan berkualitas dengan biaya yang terjangkau, bahkan gratis. "PTN-BH yang membuat biaya kuliah menjadi mahal tidak sesuai dengan dasar historis, politik, dan ideologi berdirinya sekolah serta kampus negeri," tegasnya.

    Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, saat ini terdapat 21 kampus negeri yang berstatus PTN-BH dari total 184 kampus negeri di Indonesia.

    Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herdiansyah Hamzah, berpendapat bahwa kebijakan PTN-BH merupakan bentuk liberalisasi pendidikan. Dengan status ini, perguruan tinggi tidak lagi menjadi badan publik sepenuhnya, tetapi menjadi badan hukum yang harus mandiri dalam pembiayaannya. Karena itu, kampus terpaksa mencari sumber pendanaan sendiri.

    "Cara mudahnya dengan menaikkan UKT," kata dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman ini.

    Usul Perguruan Tinggi Berbisnis

    Anggota Komisi X DPR RI, Djohar Arifin Husin, sebelumnya mengusulkan agar perguruan tinggi di Indonesia memiliki dan menjalankan bisnis untuk meringankan beban biaya pendidikan mahasiswa. Menurut Djohar, langkah ini diperlukan agar uang kuliah tidak sepenuhnya dibebankan kepada mahasiswa, sesuai dengan konstitusi yang melarang hal tersebut.

    "Saya harapkan semua perguruan tinggi memiliki tim yang mengurus pendidikan dan tim yang mengurus bisnis. Jadi, uang kuliah tidak dibebankan ke mahasiswa karena ini melanggar konstitusi. Tidak boleh," kata Djohar dalam Rapat Dengar Pendapat Panja Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR RI dengan sejumlah rektor di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 27 Juni 2024.

    Djohar menyarankan agar setiap perguruan tinggi memiliki tim penggalang dana (fundraising team) yang bertugas mencari dan mengumpulkan dana yang dapat dimanfaatkan untuk biaya pendidikan. Dengan adanya tim ini, mahasiswa tidak perlu dibebankan biaya pendidikan yang tinggi.

    Saat ini, Djohar menilai bahwa perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri, cenderung menaikkan uang kuliah atau UKT untuk menutupi biaya pendidikan yang tidak mampu dicukupi oleh APBN.

    "Kondisi ini tidak boleh berlanjut terus karena beban hidup masyarakat semakin berat. Kehidupan semakin tidak baik. Asal ada kenaikan iuran, pasti diributkan masyarakat," katanya.

    Oleh karena itu, Djohar menekankan kembali pentingnya perguruan tinggi di Indonesia untuk memiliki bisnis, seperti yang dilakukan oleh perguruan tinggi di luar negeri. "Di luar negeri, bisnis mereka banyak sekali dan menyokong pendidikan, ada fundraising team," kata Djohar. (alp/*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).