KABARBURSA.COM - Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) Yohanes Sumaryo memproyeksikan Indonesia dapat mengejar Brasil, Australia, India, dan Amerika Serikat dalam penerapan energi baru terbarukan (EBT).
EBT Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap, kata Yohanes, telah masif digunakan di beberapa negara tersebut. Setidaknya ada empat cara Indonesia mengejar negara-negara itu.
Pertama, kata dia, peraturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan peraturan PT PLN mengenai kuota rumah tangga memasang PLTS Atap harus dihapus terlebih dulu.
Kedua ialah PLN perlu memberlakukan kembali net metering dengan koefisien ekspor energi listrik satu. Net metering adalah sistem layanan yang diberikan PLN untuk konsumen yang memasang PLTS Atap.
"Yang ketiga hapus penggunaan listrik minimum pelanggan pascabayar," ujarnya kepada KabarBursa, Rabu, 13 Maret 2024.
Pasalnya, pada 2023 AS mencatatkan rekor pemasangan PLTS baik atap maupun non atap sebesar 32,4 Gigawatt. Capaian ini tumbuh sebanyak 37 persen dari 2021 dan 51 persen dari 2022.
Untuk PLTS penggunaan non redensial sebesar 22,5 GW, sedangkan PLTS Atap untuk residensial sebanyak 10 GW. Artinya, jika rata-rata setiap rumah tangga menggunakan 12 KW, maka ada sebanyak 800.000 rumah tangga berpartisipasi dalam mencapai EBT.
Sementara itu, Brasil telah mencatat 40 GW hingga 2023. Sebanyak 27,5 GW merupakan pembangkit listrik generator umum, sedangkan 22,7 GW dengan ukuran hingga KW terdistribusi kepada 2,4 juta sistem.
Brasil juga memiliki sekitar 12,5 GW PLTS skala utilitas yang terpasang. Pada dua bulan pertama 2024 saja, Brasil telah menambahkan 3 GW tenaga surya.
Dengan perbandingan seperti itu, Yohanes menyatakan bahwa Indonesia harus menerapkan integrated grid. Tujuannya demi mencapai bauran energi Indonesia yang lebih baik.
"Terkait kWh ekspor ke grid PLN harusnya bisa diakumulasi tanpa batas waktu offsetnya. Jadi surplus saat musim kemarau bisa dipakai buat offsetting saat musim hujan," ungkapnya. (ari/prm)