KABARBURSA.COM - Imbal hasil Treasury, obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS), mengalami penurunan dari rekor tertinggi setelah hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Federal Reserve. Peluang penurunan suku bunga acuan, Fed Funds Rate, kini diantisipasi hanya sekali dan diproyeksikan pada bulan Desember.
Perubahan arah ini di pasar obligasi global mungkin akan membawa sedikit perbaikan sentimen di pasar Surat Utang Negara (SUN), Kamis, 2 Mei 2024. Penurunan harga surat berharga negara yang telah mendorong kenaikan yield hingga di atas 7 persen di semua tenor, kemungkinan akan menarik minat investor untuk kembali masuk.
Imbal hasil SUN telah mendekati level tertinggi dalam enam bulan terakhir, dengan imbal hasil tenor 10 tahun sudah mencapai sekitar 7,25 persen, melampaui imbal hasil surat berharga pemerintah India sebesar 7,19 persen, dan merupakan yang tertinggi di Asia dengan perbedaan yield dengan US Treasury semakin melebar menjadi 262 basis poin, level terlebar sejak Februari.
Sinyal perubahan arah telah terlihat pada lelang SUN pada Selasa lalu. Permintaan masuk mencapai lebih dari Rp50 triliun, jauh lebih tinggi dari lelang SUN sebelumnya.
Permintaan masuk masih didominasi oleh investor dalam negeri, yang sejauh ini menjadi pemegang terbesar surat utang Indonesia. Sementara itu, investor asing mencatatkan permintaan sekitar 18 persen dari total permintaan masuk dalam lelang, meningkat dari 9 persen dalam lelang sebelumnya.
Investor memanfaatkan sentimen yang masih negatif saat lelang berlangsung dengan menawarkan yield tinggi hingga 8 persen untuk seri tenor panjang, meskipun tidak semua dimenangkan dan pemerintah akhirnya menyerap di bawah target indikatif Rp23 triliun.
Pada pembukaan pasar pagi ini, terlihat penurunan yield SUN yang menunjukkan minat beli yang berlangsung. Yield SUN 2 tahun turun menjadi 7,065 persen, sementara tenor 5 tahun kini berada di 7,127 persen, dan 10 tahun bergerak ke 7,232 persen pada Kamis, 2 Mei.
Meskipun ada peluang untuk memperbaiki sentimen, tampaknya pemulihan pasar obligasi Indonesia tidak akan segera terjadi karena secara umum, sentimen global masih belum sepenuhnya positif.
Semalam, pasar Treasury mengalami reli, terutama pada tenor pendek 2 tahun yang imbal hasilnya turun di bawah 5 persen. Sementara itu, tenor 10 tahun turun 5 bps menjadi 4,63 persen.
Namun, kenaikan pasar Treasury tidak diikuti oleh kenaikan harga obligasi di pasar negara maju, dengan indeks harga obligasi negara di pasar developed market mengalami penurunan kemarin. Sementara itu, indeks harga obligasi di pasar negara berkembang juga mengalami penurunan.
Selain itu, minat pasar tampaknya masih terhenti ketika mengantisipasi prospek kebijakan fiskal Indonesia di bawah pemerintahan baru yang dihasilkan dari Pemilu 2024.
Pada awal tahun, ketika sentimen global masih positif setelah sinyal dovish dari The Fed pada bulan Desember, tekanan pada pasar obligasi pemerintah RI telah dimulai.
Pada saat itu, sentimen terhadap Pemilu 2024 masih menahan minat investor. Setelah hasil Pemilu 2024 diumumkan, minat asing bahkan semakin menurun. Ini disebabkan oleh kekhawatiran tentang prospek kebijakan fiskal pemerintahan baru hasil Pemilu 2024, di mana ada potensi defisit yang semakin besar karena berbagai rencana program populis seperti makan siang gratis.
Pada saat yang sama, tren penurunan kinerja ekspor juga mengurangi nilai surplus neraca perdagangan, yang memberikan tekanan tambahan pada fundamental pasar dolar AS. Defisit transaksi berjalan yang sudah terjadi pada tahun 2023 diperkirakan akan semakin membesar tahun ini, memicu defisit ganda dalam lini fiskal dan neraca pembayaran.
Bank Indonesia mencatat, selama 2024 ini hingga 25 April lalu, pemodal asing di Indonesia mencatat posisi jual bersih SBN sebesar Rp47,26 triliun. Selama empat hari perdagangan saja, 22-25 April, asing melepas Rp2,08 triliun.
Pada 29 April, asing kembali melepas USD239,6 juta SBN menurut laporan Kementerian Keuangan. Nilai penjualan itu setara dengan Rp3,88 triliun, angka penjualan asing tertinggi setidaknya sejak 26 Maret lalu.
Asing sejauh ini menguasai sekitar 14 persen SBN di pasar sekunder. Kepemilikan terbesar masih oleh perbankan lokal dan industri asuransi, dana pensiun serta aset manajemen. Selain juga dipegang oleh bank sentral.
Dibanding sebelum pandemi, kepemilikan asing itu masih jauh lebih kecil karena pada 2019 porsi penguasaan investor asing di SBN bisa mencapai 40 persen.
Selama bulan lalu, harga obligasi rupiah terjun. Sentimen global yang memburuk terkait arah bunga acuan Federal Reserve, telah memicu aksi jual masif di pasar obligasi domestik bulan lalu. Tingkat imbal hasil melesat ‘sundul langit’ tertekan aksi jual yang tak terjeda sejak awal tahun.
Mengacu data Bloomberg, selama sebulan terakhir hingga akhir April lalu, lonjakan yield Surat Berharga Negara (SBN) mencatat angka eksepsional di semua tenor di mana yield 10Y sudah sempat menyentuh 7,25 persen.