KABARBURSA.COM - Imbal hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) di berbagai jangka waktu mengalami kenaikan. Hal ini dipicu oleh goncangan terhadap nilai tukar rupiah sehingga menyebabkan penurunan drastis hingga level psikologis terendah sejak 2020.
Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan BI rate sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen sebagai respons terhadap tekanan terhadap rupiah, menegaskan bahwa periode suku bunga tinggi akan berlangsung lebih lama dan akan mempengaruhi tingkat bunga di pasar serta imbal hasil surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah.
Kenaikan imbal hasil terjadi karena investor menjual obligasi negara selama bulan April di pasar SBN dengan total mencapai Rp47,26 triliun. Imbal hasil SBN dengan jangka waktu 10 tahun naik sebesar 50 basis poin, mencapai 7,21 persen. Sementara itu, imbal hasil untuk tenor pendek 1 tahun dan menengah 5 tahun melonjak masing-masing sebesar 78 basis poin dan 50,6 basis poin, menjadi 7,09 persen dan 7,13 persen.
Juga, tenor panjang mengalami tekanan jual. Imbal hasil SBN dengan jangka waktu 15 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun masing-masing naik sebesar 30,9 basis poin, 19,2 basis poin, dan 17,1 basis poin pada bulan April.
Namun, tekanan jual di pasar SBN yang mempengaruhi nilai tukar rupiah telah mengalami penurunan relatif saat ini, dengan kembalinya modal asing dan mengakibatkan imbal hasil kembali ke kisaran 6,88 persen untuk tenor 10 tahun dan 6,89 persen untuk tenor 3 tahun sampai perdagangan Selasa, 7 Mei 2024.
Meskipun imbal hasil SBN sempat tetap tinggi, dan masih ada potensi lonjakan di masa depan karena ketidakpastian global yang masih tinggi, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh emiten obligasi swasta. Pemerintah, yang bertindak sebagai penerbit Surat Berharga Negara, juga menghadapi risiko yang serupa.
Yield yang lebih tinggi berarti biaya dana (cost of fund) lebih besar harus ditanggung oleh pemerintah. Biaya utang jadi lebih besar karena pemerintah harus membayar bunga lebih tinggi pada para investor.
Ini yang terlihat dalam gelar lelang terakhir yang dilakukan pemerintah Senin, 6 Mei. Dalam lelang sukuk negara (SBSN) kemarin, investor masih meminta imbal hasil tinggi meski sentimen di pasar sudah berubah.
Misalnya, untuk tenor pendek PBS032, investor menginginkan yield antara 6,8 persen hingga 7,15 persen, yang lebih tinggi dibandingkan dengan lelang sebelumnya yang berada di kisaran 6,74 persen hingga 7,12 persen. Pemerintah akhirnya berhasil memenangkan lelang dengan yield rata-rata tertimbang sebesar 6,87 persen, meskipun masih tinggi, dibandingkan dengan 6,90 persen untuk seri yang sama pada lelang sebelumnya.
Hal serupa terjadi untuk lelang Surat Utang Negara (SUN) pada 30 April lalu di mana permintaan imbal hasil investor sempat menyentuh 8 persen untuk tenor panjang dan 7,5 persen untuk tenor 10 tahun. Yield tertinggi dimenangkan untuk tenor 5 tahun, FR0101, misalnya, ditetapkan di 7,19 persen dan seri FR0100 dimenangkan tertinggi di 7,28 persen.
Sebelum turbulensi terjadi, yield di seri yang sama hanya di kisaran 6,56 persen–6,70 persen dan dimenangkan tertinggi di 6,61 persem. Begitu juga seri favorit FR0101 dimenangkan tertinggi di 6,51 persen.
Kenaikan imbal hasil itu akan membuat beban utang pemerintah makin besar. "Ini tentu dari Kementerian Keuangan untuk strategi pembiayaan dengan cost of fund yang cenderung mengalami kenaikan, dan nilai tukar kami akan terus melakukan pengelolaan secara hati-hati," kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Bendahara Negara menyatakan akan terus membangun komunikasi dengan BI selaku pemegang kebijakan moneter untuk mempertahankan stabilitas makro di tengah dinamika global tanpa harus mengorbankan instrumen fiskal.
"Tanpa harus mengorbankan stabilitas, momentum pertumbuhan dan kredibilitas dari instrumen fiskal maupun moneter," jelas Sri Mulyani.
Tahun ini, pemerintah menargetkan emisi baru (net issuance) SBN tahun ini sebesar Rp666 triliun. Bila menghitung nilai penerbitan SBN jatuh tempo (refinancing), diperkirakan total emisi surat utang RI tahun ini mencapai Rp1.200 triliun.
Sementara selama kuartal 1-2024, pemerintah telah menggaet utang melalui emisi SBN senilai Rp104,6 triliun, setara 16,1 persen dari target utang APBN terdiri atas penerbitan SBN neto Rp104 triliun dan Rp600 miliar pinjaman.
Total utang pemerintah per akhir Maret 2024 mencapai Rp8.262,1 triliun, turun dibanding akhir Februari yang masih sebesar Rp8.319,22 triliun. Namun dibandingkan Maret tahun lalu, posisi utang pemerintah RI naik 4,86 persen. Posisi akhir Maret 2024 membawa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto mencapai 38,8 persem.
Dari total utang itu, sebesar Rp7.274,95 triliun adalah utang dalam bentuk SBN terdiri atas SBN domestik Rp5.947,95 triliun dari SUN Rp4.797,16 triliun dan SBSN Rp1.150,79 triliun. Sementara global bond atau SBN Valas sebesar Rp1.388,92 triliun.
"Pemerintah terus menjaga agar strategi pembiayaan akan menjaga keseimbangan antara biaya dari funding atau cost of fund dan risiko dari utang," kata Sri Mulyani.