Logo
>

Ketika Efisiensi dan PHK Massal Berujung Deflasi 2025

Deflasi dapat muncul ketika ekonomi dalam kondisi sehat, dengan produktivitas meningkat akibat kemajuan teknologi dan efisiensi distribusi.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Ketika Efisiensi dan PHK Massal Berujung Deflasi 2025
Ilustrasi Deflasi dan Inflasi. Foto: KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia kembali mengalami deflasi pada 2025. Ini adalah deflasi tahunan pertama sejak Maret 2000. Sebelumnya, Indonesia mengalami deflasi bulanan berturut-turut dari Mei hingga September 2024. Deflasi ini membuat daya beli masyarakat semakin rendah, yang kini menimbulkan kekhawatiran menjelang Idulfitri 2025.

    Pengamat Ekonomi Abdul Malik menjelaskan bahwa deflasi bisa terjadi karena dua hal utama. Pertama, deflasi dapat muncul ketika ekonomi dalam kondisi sehat, dengan produktivitas meningkat akibat kemajuan teknologi dan efisiensi distribusi.

    "Kemajuan teknologi bisa menekan biaya produksi dan distribusi, sehingga harga barang dan jasa menjadi lebih murah. Tapi, jika produksi berlebihan dan permintaan tidak naik, harga juga bisa turun," jelas dia dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu 8 Maret 2025.

    Namun, situasi di Indonesia saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kedua, yaitu turunnya permintaan barang dan jasa. "Penurunan ini bisa disebabkan oleh meningkatnya pengangguran akibat PHK, ekspektasi sulitnya mendapatkan pekerjaan, serta kebijakan pemerintah yang memperketat belanja dan peredaran uang di masyarakat," tambahnya.

    Kekhawatiran Jelang Idulfitri

    Biasanya, menjelang Ramadhan dan Idulfitri, konsumsi masyarakat meningkat. Namun, tahun ini berbeda. Abdul Malik menilai bahwa daya beli masyarakat tampak lesu. Ia menjelaskan bahwa gelombang PHK dan penghematan anggaran pemerintah semakin menambah kekhawatiran, sehingga banyak orang memilih menabung daripada berbelanja.

    "Secara kasat mata sudah terasa bahwa daya beli masyarakat lesu. Gelombang PHK dan penghematan anggaran pemerintah menambah kekhawatiran, sehingga masyarakat lebih memilih menabung daripada berbelanja," ujar Abdul Malik.

    Menurutnya, kondisi ini berbahaya karena bisa memperburuk ekonomi. Ia menjelaskan bahwa jika belanja masyarakat tetap rendah pada saat seharusnya tinggi, permintaan barang dan jasa akan semakin menurun. Hal ini dapat membuat perusahaan kesulitan, yang pada akhirnya bisa menyebabkan lebih banyak PHK.

    "Jika belanja masyarakat rendah di saat seharusnya tinggi, maka permintaan barang dan jasa semakin turun. Akibatnya, perusahaan bisa mengalami kesulitan dan melakukan PHK lebih banyak lagi," ungkapnya.

    Peran Pemerintah Sangat Dibutuhkan

    Abdul Malik menekankan bahwa di tengah situasi ini, belanja pemerintah sangat penting untuk membantu pemulihan ekonomi. Karena itu ia menekankan bahwa pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk menciptakan lapangan kerja dan mendukung sektor-sektor produktif. Langkah ini dinilai dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk kembali berbelanja dan menggerakkan perekonomian.

    "Pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk menciptakan lapangan kerja dan mendukung sektor-sektor produktif. Ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk kembali berbelanja dan menggerakkan ekonomi," jelasnya.

    Ia membandingkan deflasi 2025 dengan yang terjadi pada Maret 2000. Menurutnya, deflasi pada tahun 2000 lebih disebabkan oleh penyesuaian sistem harga setelah krisis 1998, di mana kondisi ekonomi sudah mulai ditata ulang. Namun, saat ini situasinya berbeda karena ketidakpastian masih berlanjut dan belum dapat dipastikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

    "Deflasi di tahun 2000 lebih merupakan dampak dari penyesuaian sistem harga setelah krisis 1998. Saat itu, kondisi ekonomi sudah mulai ditata ulang. Tapi sekarang, kita justru masih berada dalam ketidakpastian dan belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," ujarnya.

    Menurutnya, deflasi dalam beberapa tahun terakhir sering dianggap sebagai pencapaian positif. Namun, ia menegaskan bahwa dalam banyak kasus, deflasi bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini justru bisa menjadi tanda bahaya bagi perekonomian.

    "Padahal, dalam banyak kasus, deflasi bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Jika tidak ditangani dengan baik, ini bisa menjadi tanda bahaya bagi perekonomian," pungkasnya.

    Inflasi Indeks Harga Konsumen 

    Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Januari 2025 menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan bulan sebelumnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, IHK Januari 2025 mencatat deflasi sebesar 0,76 persen secara bulanan (mtm), yang menyebabkan inflasi tahunan turun menjadi 0,76 persen (yoy) dari 1,57 persen (yoy) pada Desember 2024.

    Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa deflasi ini terutama disebabkan oleh penurunan pada kelompok administered prices, dengan komoditas tarif listrik sebagai kontributor utama.

    “Inflasi IHK yang terjaga rendah ini merupakan hasil konsistensi kebijakan moneter serta sinergi pengendalian inflasi yang kuat antara Bank Indonesia dan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID),” ujar Ramdan dalam siaran persnya, Selasa, 4 Februari 2025.

    Ramdan juga menambahkan bahwa implementasi Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan(GNPIP) di berbagai daerah turut berperan dalam menjaga stabilitas harga.

    Ke depan, Bank Indonesia optimistis inflasi akan tetap terkendali dalam kisaran sasaran 2,5±1 persen pada tahun 2025.

    Inflasi Inti Tetap Terkendali 
    Inflasi inti, yang mencerminkan pergerakan harga-harga yang lebih stabil tanpa pengaruh harga pangan bergejolak dan harga yang diatur pemerintah, tercatat sebesar 0,30 persen (mtm) pada Januari 2025, meningkat dari 0,17 persen (mtm) pada bulan sebelumnya. Kenaikan ini dipengaruhi oleh peningkatan harga komoditas global serta pola musiman di awal tahun.

    “Realisasi inflasi inti Januari 2025 disumbang terutama oleh kenaikan harga minyak goreng, emas perhiasan, dan biaya sewa rumah,” kata Ramdan.

    Secara tahunan, inflasi inti tercatat sebesar 2,36 persen (yoy), naik dari 2,26 persen (yoy) pada Desember 2024.

    Meskipun mengalami peningkatan, inflasi inti masih berada dalam kisaran yang terkendali, sejalan dengan ekspektasi inflasi yang tetap stabil.

    Kelompok Volatile Food Mengalami Kenaikan Inflasi
    Kelompok volatile food, yang mencakup komoditas pangan dengan fluktuasi harga tinggi, mencatat inflasi sebesar 2,95 persen (mtm) pada Januari 2025, meningkat dari 2,04 persen (mtm) pada bulan sebelumnya. Kenaikan ini didorong oleh naiknya harga aneka cabai dan daging ayam ras.

    Ramdan menyebutkan bahwa peningkatan inflasi pada kelompok ini disebabkan oleh curah hujan tinggi di sejumlah sentra produksi utama, yang memengaruhi hasil panen cabai, serta kenaikan biaya input produksi pakan dan bibit untuk daging ayam ras.

    “Secara tahunan, inflasi volatile food mencapai 3,07 persen (yoy), meningkat signifikan dari 0,12 persen (yoy) pada bulan sebelumnya,” tambahnya.

    Namun, inflasi volatile food diperkirakan tetap terkendali dengan dukungan sinergi antara Bank Indonesia, TPIP, dan TPID melalui program GNPIP.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.