KABARBURSA.COM – Pengamat Asuransi, Reza Ronaldo mengungkap berbagai modus financial crime yang terjadi pada industri asuransi. Dia merangkum modus financial crime menjadi empat jenis, yakni penggelapan dana nasabah, manipulasi laporan keuangan, kepemilikan manfaat akhir tersembunyi, hingga penipuan investasi.
Reza menilai, keempat hal tersebut kerapkali luput dari pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pihak regulator terkait. Adapun financial crime di industri asuransi berdampak pada reputasi industri jasa keuangan secara keseluruhan.
“Bahwa publik akan hilang trust-nya terhadap industri yang telah kita bangun susah payah. Lalu dampak ekonominya juga cukup tinggi, cukup signifikan. Sehingga kalau trust-nya hilang, ya reputasinya rusak,” kata Reza dalam acara talk show bertajuk ‘Hati-Hati Modus Financial Crime di Sektor Keuangan’ yang diikuti secara daring, Selasa, 13 Agustus 2024.
Reza juga memberi studi kasus financial crime yang sempat terjadi, khususnya di sektor industri asuransi. Pertama, financial crime yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero), di mana saat itu perusahaan mengalami gagal bayar atas klaim polis yang jatuh tempo nasabah JS Saving Plan dengan total kerugian Rp16,807 triliun.
Di samping Jiwasraya, PT Asuransi Jiwa Kresna atau Kresna Life juga mengalami nasib serupa, gagal bayar klaim pada dua produk asuransinya, yakni Kresna Link Investa dan Protecto Investa Kresna. Adapun total kerugian yang dialami nasabah Kresna Life mencapai Rp5 triliun.
Begitu juga PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (Bumiputera) yang mengalami gagal bayar akibat kesalahan manajemen. Diketahui, tahun 2018 lalu, Bumiputera menunda pembayaran klaim akibat kurangnya pendapatan. Saat itu, aset perusahaan sebesar Rp10,279 triliun dengan kewajiban pembayaran klaim mencapai Rp31,008 triliun.
“Kalau sudah begini itu kan nasabah yang dirugikan. Terkait dengan Undang-Undang P2SK nanti dua tahun ke depan mungkin ada program pemegang polis. Jadi kita harus sehat dulu, industri ini harus baik dulu,” tegasnya.
Reza menilai, financial crime terjadi akibat lemahnya pelaksanaan Good Corporate Governance. Adapun hal itu didasari pada empat aspek, yakni motivasi keuntungan yang berlebihan, lemahnya pengawasan dan pelanggaran regulasi, kegagalan pengelolaan risiko, hingga tindakan memanipulasi informasi dalam laporan keuangan.
“Ini terjadi semua karena lemahnya kita, lemahnya pengawasan. Yang dulu-dulu itu terjadi karena memang integeritasnya, motivasinya terlalu berlebihan untuk meraup yang ‘wah’ dalam waktu cepat sehingga jadi licik,” tegasnya.
OJK Harus Apa?
Diketahui, Kresna Life berhasil memenangkan gugatan banding di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) melawan OJK. Adapun gugatan di PTUN Kresna Life terkait sanksi OJK yang Cabut Izin Usaha (CIU) perusahaan tersebut.
Berdasarkan hasil persidangan, Hakim PTUN resmi menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan Nomor 475/G/2023/PTUN.JKT pada 22 Februari 2024 yang membatalkan sanksi Keputusan Dewan Komisioner OJK nomor KEP-42/D.05/2023 tentang pencabutan izin usaha Kresna Life.
Mengacu pada kasus tersebut, Ketua Komisi Kejaksaan, Pujiyono Suwandi menyebut, financial crime terjadi pada perusahaan asuransi karena terdapat cela hukum yang ada. Sehingga, kata dia, pelaku usaha dalam negeri diisi oleh orang licik yang memanfaatkan cela hukum sebagaimana terjadi pada kasus Kresna Life di PTUN.
Pujiyono menilai, OJK sebagai regulator perlu meneguhkan keberaniannya untuk menindak perusahaan yang terbukti melanggar regulasi. Keberanian pertama menurutnya, memindahkan sejumlah pihak yang bermasalah yang menang banding di pengadilan.
“Yang namanya putusan PTUN itu kan sebagian besar masih bisa kemudian dalam ekskusinya bisa kemudian disiasati, putusan-putusan PTUN. Maka banyak putusan PTUN juga yang menang di atas kertas, tinggal kemudian keberanian hukum dari OJK mencari cela,” jelasnya.
Kedua, Pujiyono menilai kasus financial crime juga bisa ditarik pada sektor tindak pidana. Menurutnya, financial crime masuk dalam kategori tindak pidana sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kendati ancaman kurungannya maksimal lima tahun.
Akan tetapi, financial crime juga dapat dilaporkan sebagai kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). “TPPU itu dianggap tindak pidana utama juga, bukan tindak pidana ikutan. Jadi ketika kita melihat bahwa ini juga disebut sebagai predikat crime, ya sudah selesai jadi TPPU,” tegasnya.
Ketiga, Pujiyono menilai financial crime dapat laporkan sebagai tindak pidana korupsi dengan catatan intervensi dan keberanian OJK dalam menindak perusahaan bermasalah. Ketika kasus financial crime di bawa ke dalam konteks korupsi, tidak hanya OJK yang turun tangan, melainkan juga aparat penegak hukum.
“Kalau benar OJK mau intervensi, kalaupun pemerintah mau intervensi, bisa dilarikan ke tindak pidana korupsi sehingga penegak hukum yang lan, misalnya Kejaksaan Agung bisa turun. Tidak hanya sekadar penuntutan, tetapi masuk sejak penanganan perkara,” jelasnya.
Dengan catatan, kata Pujiyono, jadikan kasus financial crime sebagai kerugian negara dengan cara mencampurkan uang negara sebagai investasi di industri keuangan. Jika pemerintah menilai penting mempertahankan kepercayaan publik terhadap industri asuransi, maka intervensi perlu segera dilakukan.
“Dalam tahap-tahap tertentu misalnya, trobosannya adalah misalnya aturannya kita bagi saja, misalnya A, B, C, D. untuk ketegori apa pemerintah harus menyediakan anggaran, sehingga perusahaan asuransi itu mendapatkan pengawasan yang sangat proteksionis,” tutupnya.(*)