Logo
>

Kisruh Gas Melon, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Ditulis oleh Yunila Wati
Kisruh Gas Melon, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Sejak awal pekan kemarin, Senin, 3 Februari 2025, kisruh gas melon kembali terjadi. Asal muasalnya adalah pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, yang meminta agar pangkalan tidak menjual gas bersubsidi itu kepada pengecer.

    Pernyataan tersebut disampaikan Bahlil untuk mengatasi persoalan distribusi tabung gas bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Sayangnya, di lapangan, keputusan itu membuat tabung melon menjadi langka dan memunculkan antrean panjang masyarakat di sejumlah pangkalan gas.

    Melihat kisruh ini, Presiden Prabowo Subianto meminta agar kebijakan tersebut dihentikan. Gas melon segera dikembalikan ke para pengecer agar masyarakat tidak lagi kesulitan memenuhi kebutuhan harian.

    Lalu, bagaimana kebijakan gas melon ini bermula?

    Penggunaan LPG 3 kg sebagai pengganti minyak tanah mulai diterapkan secara luas pada tahun 2007, melalui program konversi energi yang dicanangkan pemerintah. Kebijakan ini bertujuan untuk menekan subsidi minyak tanah yang terus membengkak, serta mendorong pemanfaatan energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan, terutama bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

    Dasar hukum kebijakan ini tertuang dalam berbagai regulasi, seperti Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, serta Perpres No. 104 Tahun 2007 yang secara khusus mengatur penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga LPG tabung 3 kg. Selain itu, Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2009 semakin mempertegas tata kelola penyediaan dan distribusi LPG bersubsidi ini.

    Namun, sejak awal pelaksanaannya, kebijakan ini menghadapi tantangan besar dalam hal distribusi yang tidak tepat sasaran. Meskipun LPG 3 kg diperuntukkan bagi masyarakat miskin, realitanya tabung gas subsidi ini dijual secara bebas di pasar. Akibatnya, kelompok ekonomi menengah ke atas pun dapat dengan mudah mengakses LPG 3 kg, sehingga alokasi subsidi menjadi tidak merata.

    Analisis DPR pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa mayoritas penerima manfaat subsidi justru berasal dari kelompok menengah ke atas, sementara 30 persen masyarakat termiskin hanya menikmati sekitar 25 persen dari total subsidi yang diberikan pemerintah. Ketimpangan ini terjadi karena sistem pendistribusian yang kurang terkontrol dan tidak memiliki dasar hukum yang mengatur mekanisme penyaluran subsidi secara tertutup.

    Berbagai langkah telah dilakukan untuk memperbaiki ketidaktepatan sasaran subsidi ini. Salah satu kebijakan yang sempat diambil adalah penerapan mekanisme pembelian LPG 3 kg menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang mulai diberlakukan sejak 1 Juni 2024. Dengan sistem ini, masyarakat yang ingin membeli LPG 3 kg harus terlebih dahulu mendaftarkan diri di agen atau pangkalan resmi Pertamina agar tercatat dalam database penerima subsidi.

    Direktur Utama Pertamina saat itu, Nicke Widyawati, menjelaskan bahwa kebijakan ini diterapkan sebagai tahap awal dalam pemetaan penerima subsidi. Data yang dikumpulkan akan digunakan untuk mengevaluasi efektivitas distribusi LPG 3 kg, sehingga ke depannya pemerintah dapat menerapkan sistem subsidi tertutup yang lebih adil.

    Pemerintah juga menyoroti besarnya beban anggaran negara dalam menanggung subsidi LPG 3 kg. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan bahwa harga jual LPG 3 kg yang berlaku saat ini masih jauh di bawah harga keekonomiannya. Masyarakat hanya membayar Rp12.750 per tabung dari pangkalan resmi Pertamina, padahal harga keekonomian LPG 3 kg seharusnya mencapai Rp42.750 per tabung. Dengan selisih harga sekitar Rp30.000 per tabung, subsidi yang ditanggung pemerintah dalam APBN menjadi sangat besar.

    Pada tahun 2024, realisasi anggaran subsidi LPG 3 kg mencapai Rp80,2 triliun, dengan jumlah penerima manfaat sebanyak 40,3 juta pelanggan. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg telah berjalan lebih dari satu dekade, tantangan dalam penyaluran subsidi yang tepat sasaran masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.

    Melalui berbagai kebijakan seperti pendataan berbasis KTP dan rencana penerapan subsidi tertutup, pemerintah berupaya memastikan bahwa manfaat subsidi LPG 3 kg benar-benar dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan. Namun, efektivitas dari langkah-langkah ini masih perlu dievaluasi lebih lanjut untuk memastikan bahwa subsidi energi tidak hanya mengurangi beban masyarakat miskin, tetapi juga dikelola secara efisien demi menjaga keberlanjutan anggaran negara.

    Bahlil: Peraturan Subsidi Belum Pernah Diubah

    Sebagai penanggung jawab subsidi gas 3 kilogram ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memenuhi panggilan Presiden Prabowo Subianto pada Selasa, 4 Februari 2025, untuk memberikan penjelasan.

    Usai pertemuan tersebut, kepada awak media Bahlil menjelaskan, sejak pertama kali diberlakukan pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, kebijakan subsidi LPG 3 kg masih tetap sama meskipun nilai tukar rupiah terhadap dolar terus mengalami kenaikan.

    Pada awal kebijakan ini diterapkan, kurs dolar berada di kisaran Rp8.000, kini telah menyentuh Rp16.000. Hal ini tentu saja berdampak langsung pada biaya impor dan beban subsidi pemerintah.

    Pada tahun 2025, alokasi anggaran untuk subsidi LPG 3 kg mencapai Rp87 triliun, jumlah yang sangat besar dan memerlukan distribusi yang lebih tepat sasaran. Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa harga jual LPG bersubsidi ini kerap melambung tinggi akibat rantai distribusi yang tidak terkontrol dengan baik.

    Seharusnya, harga satu tabung LPG 3 kg tidak lebih dari Rp18.000 hingga Rp19.000, tetapi di beberapa daerah masyarakat harus membayar hingga Rp25.000 atau bahkan Rp30.000 per tabung.

    Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah sempat mengambil langkah drastis dengan melarang penjualan LPG 3 kg di tingkat pengecer mulai 1 Februari 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan harga tetap terkendali dan subsidi tidak bocor ke pihak yang tidak berhak.

    Namun, setelah melalui evaluasi dan masukan dari berbagai pihak, termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, keputusan tersebut akhirnya direvisi.

    Pemerintah kini memilih pendekatan baru dengan mengubah status pengecer menjadi subpangkalan, yang memungkinkan mereka mendapatkan fasilitas serupa dengan pangkalan resmi. Dengan sistem ini, harga LPG 3 kg dapat lebih mudah dikontrol menggunakan teknologi informasi, sehingga disparitas harga di lapangan bisa ditekan.

    Bahlil menjelaskan, bahwa PT Pertamina saat ini masih mampu mengendalikan harga dari tingkat agen ke pangkalan, yakni di kisaran Rp12.000 hingga Rp13.000 per tabung di tingkat agen, dan Rp16.000 hingga Rp17.000 di pangkalan. Namun, kendali terhadap harga di tingkat pengecer masih menjadi tantangan besar, karena tidak adanya instrumen pengawasan yang memadai.

    Dengan adanya sistem baru ini, diharapkan distribusi LPG bersubsidi dapat lebih tertata, harga di tingkat konsumen tetap terjangkau, dan alokasi subsidi dapat benar-benar dinikmati oleh masyarakat yang berhak.

    Pemerintah berupaya agar subsidi energi yang selama ini menjadi beban besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat dikelola lebih efektif dan efisien, sehingga manfaatnya benar-benar dirasakan oleh golongan yang membutuhkan.

    Pengecer Harus Terdaftar

    Sejak akhir Januari 2025, pemerintah terus berupaya menata distribusi LPG 3 kg agar lebih tepat sasaran dan sesuai dengan harga yang telah ditetapkan. Salah satu langkah terbaru yang diambil adalah mengubah sistem pengecer menjadi subpangkalan, yang mewajibkan mereka untuk terdaftar secara resmi melalui Nomor Induk Berusaha (NIB) di sistem Online Single Submission (OSS).

    Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung, menegaskan bahwa kebijakan ini bukan berarti pengecer akan dihapus, melainkan mereka akan mendapatkan status resmi sebagai pangkalan agar distribusi lebih transparan dan terpantau. Dengan cara ini, pengecer yang sebelumnya beroperasi tanpa regulasi kini diwajibkan untuk memiliki legalitas usaha, sehingga jalur distribusi bisa lebih tertib dan harga jual LPG 3 kg tetap sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah.

    Proses transisi ini mulai berlaku pada 1 Februari 2025, dengan masa peralihan selama satu bulan. Selama periode ini, pengecer diberikan kesempatan untuk mendaftarkan diri dan mendapatkan NIB.

    Proses pendaftaran dilakukan secara digital melalui OSS, yang telah terintegrasi dengan sistem kependudukan Kementerian Dalam Negeri. Dengan sistem ini, masyarakat yang ingin menjadi pangkalan resmi dapat mendaftarkan nomor induk kependudukan (NIK) mereka sebagai dasar legalitas usaha.

    Tujuan utama dari kebijakan ini adalah memutus rantai distribusi yang selama ini menyebabkan harga LPG 3 kg melambung di pasaran. Sebelumnya, LPG bersubsidi sering kali berpindah tangan melalui beberapa lapisan distribusi sebelum sampai ke konsumen, menyebabkan harga jual jauh lebih tinggi dari yang seharusnya.

    Dengan mengurangi jumlah perantara, pemerintah berharap harga LPG 3 kg bisa lebih terkendali dan subsidi benar-benar sampai kepada masyarakat yang berhak.

    Selain itu, transformasi pengecer menjadi pangkalan juga memberikan keuntungan bagi mereka yang berbisnis di sektor ini. Dengan status resmi sebagai pangkalan, mereka mendapatkan akses langsung ke distribusi Pertamina dan dapat menjual LPG dengan harga yang lebih stabil.

    Hal ini tidak hanya menguntungkan masyarakat sebagai konsumen, tetapi juga menciptakan ekosistem usaha yang lebih tertata dan adil bagi para pedagang LPG.

    Melalui kebijakan ini, pemerintah ingin memastikan bahwa subsidi yang dialokasikan melalui APBN benar-benar tepat sasaran. Dengan mekanisme baru yang lebih transparan dan sistematis, distribusi LPG 3 kg diharapkan menjadi lebih efisien, harga lebih terkontrol, dan subsidi benar-benar dinikmati oleh kelompok masyarakat yang membutuhkan.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79