KABARBURSA.COM - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melaporkan bahwa aparat kepolisian menangkap 159 orang pengunjuk rasa dalam demonstrasi menolak revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR pada Kamis, 22 Agustus 2024. Aksi tersebut berlangsung dengan pengawasan ketat, dan sekitar pukul 17.00 WIB, polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa. Terlihat pula keterlibatan aparat TNI dalam pengamanan.
Menurut laporan dari YLBHI yang diterima Komnas HAM hingga pukul 20.00 WIB, 159 demonstran telah dibawa ke Polda Metro Jaya, sebagaimana disampaikan oleh Komisioner Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, pada Jumat, 23 Agustus 2024.
Komnas HAM menegaskan bahwa hak untuk menyampaikan pendapat dalam demonstrasi merupakan bagian dari hak asasi manusia dan harus dihormati.
Komnas HAM mencatat bahwa secara umum, aksi unjuk rasa berlangsung kondusif. Namun, mereka menyayangkan tindakan polisi yang dinilai tidak proporsional, termasuk penggunaan gas air mata dan kekerasan fisik terhadap beberapa demonstran, serta keterlibatan TNI yang dianggap berlebihan. Uli menekankan bahwa penegakan hukum seharusnya mengutamakan pendekatan yang lebih manusiawi.
Komnas HAM juga mengkritik penahanan 159 demonstran di Polda Metro Jaya dan mendesak agar aparat penegak hukum segera membebaskan mereka. Pihaknya mengimbau agar penyelenggara negara dan aparat hukum dapat menjaga situasi kondusif dalam aksi mendatang, sembari tetap menghormati dan melindungi hak kebebasan berpendapat serta berekspresi sebagai nilai demokrasi.
Kepala Divisi Hukum LSM Kontras, Andrie Yunus, mengungkapkan bahwa hasil penelusuran mereka di lapangan dan keterangan dari seorang korban kekerasan polisi yang kini ditahan di Polda Metro Jaya, menunjukkan adanya ruang penahanan sementara di kompleks DPR.
Andrie mengklaim bahwa di tempat tersebut, para peserta demonstrasi yang ditangkap mengalami kekerasan berat, dipukuli hingga berdarah sebelum akhirnya dibawa ke Polda Metro Jaya.
Menurut pengakuan korban yang namanya dirahasiakan, saat tembakan gas air mata meledak di sekitar halaman depan gedung DPR pada Kamis malam 22 Agustus 2024, ia berusaha melarikan diri untuk menyelamatkan diri. Namun, malangnya, ia tertangkap oleh polisi dan terjatuh.
Korban mengalami kekerasan dari sekitar 15 orang polisi yang memukul bagian kepalanya dan menendangnya, sambil dipaksa mengaku telah melempar batu dan merusak gedung DPR—tuduhan yang ia bantah keras.
Selain itu, setelah ditangkap di halaman depan DPR dan dipindahkan ke posko di area tersebut, korban mengalami kekerasan serupa di berbagai kantor polisi lainnya, termasuk pukulan dan tendangan selama proses pemindahan.
Tim TAUD yang meneliti pengakuan korban langsung mengunjungi salah satu ruangan di kompleks DPR yang diduga digunakan sebagai tempat penahanan sementara sebelum dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Mereka menemukan banyak bercak darah yang semakin menguatkan dugaan adanya brutalitas dalam penangkapan tersebut.
Selain kekerasan fisik, tim juga meyakini adanya kekerasan psikologis dan verbal selama proses penahanan.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, mengklaim bahwa tidak ada pengunjuk rasa yang ditangkap pada Kamis 22 Agustus 2024.
“Tidak ada yang diamankan,” ujar Ade Ary seperti dilansir Tempo. Ia juga menanggapi pernyataan politikus PDI Perjuangan, Adian Napitupulu, yang menyebut ada 26 demonstran yang ditangkap. Ade Ary menyatakan bahwa informasi tersebut masih dalam verifikasi.
“Kami pastikan lagi, kami belum mendapatkan informasi tersebut. Sejauh ini situasi masih terkendali,” katanya.
Ade Ary menambahkan bahwa situasi aksi tersebut berlangsung aman dan terkendali, dengan semua potensi kerusuhan berhasil dikelola dengan baik oleh Polda Metro Jaya.
“Dinamika pengamanan berjalan lancar, potensi gangguan ketertiban dapat dikomunikasikan dengan baik oleh Polda Metro Jaya dengan stakeholder terkait,” jelasnya.
Pihaknya juga berencana untuk mengevaluasi pengamanan aksi tersebut, terutama terkait kerusakan fasilitas umum.
“Evaluasi terhadap pelaksanaan pengamanan akan terus dilakukan secara internal agar pelayanan pengamanan dapat lebih optimal,” tambahnya.
Pengacara publik LBH Jakarta, Muhammad Fadhil, bersama Kepala Divisi Hukum LSM Kontras, Andrie Yunus, melaporkan bahwa Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) telah menemukan indikasi kekerasan brutal oleh aparat dalam penanganan aksi demonstrasi menolak RUU Pilkada pada Kamis 22 Agustus 2024.
Di antara tindakan tersebut adalah penembakan gas air mata yang tidak terkendali ke segala arah, dugaan penggunaan tongkat oleh satuan Brimob, serta pemukulan dan penangkapan sewenang-wenang. Selain itu, ada juga penggeledahan yang dilakukan tanpa prosedur yang benar dan represi terhadap kebebasan pers.
Penembakan gas air mata yang sembarangan ini, menurut Andrie, tidak hanya membahayakan peserta aksi, tetapi juga warga sipil yang tidak terlibat. Selain itu, penggeledahan handphone dilakukan tanpa izin pengadilan dan terdapat dugaan pelanggaran terhadap proses hukum anak, yang seharusnya mengikuti sistem peradilan anak.
Buntut dari kekerasan tersebut, Polda Metro Jaya dilaporkan menahan puluhan orang yang diduga terlibat dalam demonstrasi, berdasarkan pengamatan di lapangan.
Fadhil mengungkapkan bahwa pada Kamis malam 20 Agustus 2024, mereka mendapatkan informasi bahwa beberapa peserta aksi akan diserahkan ke Polda Metro Jaya untuk proses hukum lebih lanjut. Malam itu juga, Tim TAUD segera menuju Polda Metro Jaya untuk memberikan bantuan hukum.
"Kami berkomitmen untuk mendampingi hukum, itu adalah kewajiban kami," kata Fadhil dalam konferensi pers di Jakarta.
Fadhil menambahkan, hak untuk mendapatkan pendampingan hukum juga berlaku bagi setiap individu yang berhadapan dengan proses peradilan pidana.
Ia mengkritik tindakan Polda Metro Jaya yang dianggap menghalangi profesi advokat dengan berbagai cara, seperti mengadang, meneriaki, dan memberikan alasan yang tidak logis.
Menurutnya, argumen bahwa mereka tidak memiliki kuasa hukum karena tidak ada surat kuasa tertulis adalah keliru, karena kuasa hukum secara lisan juga memiliki kekuatan yang sah.
Lebih mengejutkan, Fadhil melaporkan bahwa upaya bantuan hukum mereka dihalangi dengan alasan belum ada arahan dari atasan.
"Perdebatan seperti ini terjadi hingga lima kali," kata Fadhil. "Bagi kami, ini tidak masuk akal."
Dengan akses yang terbatas, pihaknya hanya dapat mendampingi 40 orang demonstran yang masih berada di Polda Metro Jaya. Namun, status hukum mereka—apakah sebagai saksi atau tersangka—masih belum jelas, mengingat pemeriksaan hanya dituangkan dalam secarik kertas yang disebut berita acara interogasi, yang tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.