KABARBURSA.COM – Ekonom Senior Institute For Develompment of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri mengungkap dampak pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk China yang tengah diusulkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Adapun usul tersebut menyusul temuan KADI yang dirilis beberapa waktu lalu, terkait dumping atas produk impor barang yang diduga berasal dari perusahaan China sebesar 100,12 persen hingga 199,88 persen.
Faisal menegaskan, BMAD bak pemburuan rente atau pemburuan keuntungan ekonomi tanpa harus menciptakan nilai tambah. Dia menilai, sektor industri dan perdagangan harus memperhatikan betul dampak BMAD.
“Jadi hati-hati Perindustrian, hati-hati pedagangan. Jangan menyuburkan pemburuan rente,” kata Faisal dalam diskusi yang digelar INDEF di Jakarta, Selasa, 16 Juli 2024.
Faisal menuturkan, tanpa adanya transaksi ekspor dan impor konsumen akan dirugikan lantaran kebutuhannya tidak terpenuhi. Meski pun dipenuhi, harga keramik yang dibutuhkan akan dipatok dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Sementara produsen keramik, kata Faisal, hanya untung di satu bidang dan pemerintah dalam bentuk bea masuk. Tetapi ada yang menguap di bidang lain dalam bentuk inefisiensi dalam proses produksi.
“Macam-macam (penyebab kerugian industri). (Tetapi) Semua ini disalahkan ke China. Semua China. Kasian banget China. Saya paling gak suka kalau kebijakannya ngawur. Apapun saya kritik. Kalau kebijakannya ngawur, merugikan rakyat banyak. Menguntungkan, segelintir orang,” jelasnya.
Faisal merinci, pada tahun pandemi Covid resmi muncul di Indonesai 2020 lalu, produksi keramik jika dilihat dari sektor industri yang menggunakannya terjadi penurunan hingga tahun 2022. Di sektor kontruksi, 2020 mengalami penurunan hingga 3,26 persen, kemudian kembali naik pada tahun 2021 sebesar 2,81 persen, dan tahun 2022 kembali recovery di angka 2,01 persen.
Begitu juga di sektor real estate, terjadi penurunan pada masa pandemi Covid di tahun 2020 sebesar 2,32 persen, tahun 2021 naik tipis 2,78 persen, dan 2022 kembali menurun di angka 1,72 persen. Adapun gross domestic products (GDP) di ketiga tahun tersebut juga mengalami penurunan, 2020 sebesar 2,07 persen, 2021 naik 3,70 persen, dan 2022 menguat di 5,31 persen.
Di sisi lain, berdasarkan data yang dikutipnya dari International Trade Center (ITC), volume impor HS 6907 atau keramik dan ubin dari China pada tahun 2022 tercatat sebanyak 1 juta ton lebih rendah dari 2018 sebesar 1,3 juta ton. Secara tren impor, sejak 2019 sebanyak 900 ton, 2020 sekitar 863 ton, 2021 naik 1,1 juta ton, kemudian turun di 2022 menjadi 1 juta ton.
“Ini pemerintah tuh, kalau ngitung mbok ya pake hati. Jadi ongkos inefisiensinya tinggi, konsumen dirugikan paling banyak,” tegasnya.
Faisal sendiri mempertanyakan data yang dihimpun KADI. Pasalnya, sampling yang digunakan KADI berasal dari tiga perusahaan keramik dari total keseluruhan perusahaan di seluruh Indonesia.
Industri Keramik Menguntungkan
Di sisi lain, Faisal menyebut juga menyebut sejatinya industri keramik memiliki potensi yang cukup potensial di masa mendatang jika pemerintah bisa memperhitungkan benefit and cost ratio yang baik.
“Kalau pemerintah melaksanakan fungsinya secara proper, ini industri kereaik ini menguntungkan. Cukup kompetitif. Utamanya di keramik merah praktif enggak ada impor deh keramik merah itu, kita penuhi sendiri,” jelasnya.
Kendati begitu, Faisal tak memungkiri potensi negative cash low di awal produksi. Akan tetapi, menurutnya hal tersebut wajar terjadi di awal-awal ekspansi mengingat cost transport industri keremik yang tinggi.
“Ekspansinya kan, katakanlah setahun enggak dapat apa-apa dari tambahannya. Sementara cost-nya naik terus, tapi itu NPV-nya (net present value) misalnya 10 tahun positifnya tinggi. Dengan diberikannya bea anti-dumping anda akan melihat balik modalnya lebih cepat NPV-nya lebih tinggi. Nah inilah ketamakan-ketamakan pihak tertentu itu,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, KADI Kementerian Perdagangan merekomendasikan pengenaan BMAD atas impor ubin keramik yang berasal dari China dengan pos tarif 6907.21.24, 6907.21.91, 6907.21.92, 6907.21.93, 6907.21.94, 6907.22.92, 6907.22.93, 6907.22.94, 6907.40.91, dan 6907.40.92 dengan pengenaan tarif maksimal 199,98 persen.
Adapun KADI melakukan periode penyelidikan untuk kerugian meliputi Juli 2019 sampai dengan Juni 2020 (P1), Juli 2020 sd Juni 2021 (P2), Juli 2021 sd Juni 2022 (PP), sedangkan untuk periode penyelidikan (PP) dumping adalah Juli 2021 sd Juni 2022 (PP).
Saat ini hasil investigasi KADI sudah dikirimkan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Investasi/BKPM untuk mendapatkan pertimbangan penetapan BMAD. Jika dalam 14 hari kerja kementerian terkait tidak kunjung menyampaikan pertimbangan, KADI akan dianggap menyetujui.
Curiga Intervensi
Faisal mencermati pergantian Ketua KADI, Dona Gultom, yang tiba-tiba digantikan Danang Prasta Danial. Dia menilai, mundurnya Dona dari kepemimpinan KADI lantaran menolak perintah untuk mengubah data yang sebenarnya.
Faisal menduga, perintah merubah data itu diintruksikan langsung oleh Kepala Staf Kepresiden, Moeldoko. “Ada intervensi. Kalau nggak salah ada memo dari Moeldoko,” ungkapnya.
Akibat banyaknya intervensi, Faisal menilai peranan industri di Indonesia terus merosot. Sekalipun bertumbuh, dia menilai, tidak pernah lebih tinggi dari pertumbuhan PDB dengan tingkat share yang terus tergerus hingga 18,6 persen.
Dia menilai, fenomena ini sebagai deindustrialisasi lantaran stakeholder terkait selalu mengganggu industri. Padahal, Faisal menilai, data impor produk China tidak sejalan dengan perhitungan ekonomi. Hal itu yang mengindikasikan adanya intervensi.
“Kan buat kebijakan ini enggak dalam ruang hampa. Ditambah lagi, ya ini tadi ya. Faktor luar, faktor perekonomian global. Masa KADI enggak relevanlah KADI ngomong perekonomian global. Melemahkan dirinya sendiri,” jelasnya.
Faisal menuturkan, periode penyelidikan keramik pada tahun 2022 sebetulnya juga dialami mayoritas industri lainnya. Menurutnya, tidak ada kaitannya dengan dumping produk impor asal China.
“Jadi ini tren industri. Eh tiba-tiba solusinya BMAD. Apa sih gitu? Norak banget gitu. Jump konklusinya. Cari kambing hitam. Banyak perusahaan bangkrut. Bukan hanya keramik,” tegasnya.
Di sisi lain, Faisal menilai banyaknya sektor industri yang belum recovery paska Covid-19. Apalagi program restrukturisasi sudah selesai dilakukan kendati disebut-sebut akan kembali diperpanjang pemerintah.
Meski begitu, dia meragukan pemerintah akan kembali melahirkan kebijakan yang pro terhadap nasib industri. Apalagi, kata Faisal, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang, menjadi bagian dari petinggi Partai Golkar yang terlibat dalam beberapa kegiatan kampanye di Pemilu 2024 lalu.
“Mana ngurusin. Anda pernah dengar Menteri Perindustrian bikin pernyataan? Jarang ya? Mungkin gak semua Anda juga tahu nama Menteri Perindustriannya siapa. Industri kita sedang limbung,” ucapnya. (and/*)