KABARBURSA.COM - International Coffee Organization (ICO) melaporkan, harga kopi robusta telah mencapai level tertinggi dalam 45 tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh ketatnya pasokan untuk jenis kopi ini, yang digunakan dalam campuran espresso dan minuman instan.
Menurut laporan bulanan yang diunggah pada Jumat, 3 Mei 2024, ukuran harga grosir ICO naik 17 persen selama bulan April, merupakan kenaikan terbesar sejak tahun 1979.
Vietnam, yang merupakan produsen kopi Robusta terbesar di dunia, terus mengalami kesulitan pasokan setelah gagal panen pada musim lalu dan saat ini.
Masalah-masalah tersebut berisiko bertambah buruk karena kekeringan dan panas melanda wilayah-wilayah pertanian di Vietnam, menghabiskan air untuk irigasi, dan membatasi prospek panen pada tahun 2024.
Kontrak berjangka di London telah naik dalam lima dari enam bulan terakhir, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi biaya konsumen.
Namun, wilayah penghasil kopi di Vietnam mungkin mulai pulih dari kekeringan pada bulan ini dan dana lindung nilai (hedge fund) bersiap untuk menaikkan harga lebih lanjut. Pasokan biji arabika yang lebih banyak juga membantu meredam kenaikan harga robusta tersebut.
Di sisi lain, peningkatan harga kopi, khususnya robusta, mungkin menguntungkan beberapa produsen kopi terbesar di dunia, termasuk Indonesia.
Menurut data terbaru dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), terdapat daftar 10 negara utama penghasil kopi beserta jumlah produksi tahunan masing-masing (dalam ton) pada 2023.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, ekspor kopi Indonesia pada periode tersebut menunjukkan bahwa kopi robusta, yang merupakan penyumbang terbesar dari total ekspor kopi, mencapai 86,13 persen.
Negara tujuan ekspor kopi Indonesia dicatat bahwa Amerika Serikat (AS), yang sering disebut Paman Sam, menjadi yang terbesar dengan volume ekspor mencapai 55.810 ton, diikuti oleh India dengan 43.597 ton, dan di urutan ketiga terdapat Mesir dengan 37.428 ton.
Secara total, ekspor dari Indonesia mencapai 433,78 ribu ton, dengan nilai mencapai USD1,14 miliar atau setara dengan sekitar Rp18,46 triliun. Dengan kenaikan harga saat ini, Indonesia berpotensi mendapatkan keuntungan yang lebih besar.