KABARBURSA.COM - Beberapa badan usaha milik negara (BUMN) di sektor farmasi mencatat kinerja keuangan yang buruk sehingga menjadi perhatian banyak pihak. Penurunan kinerja perusahaan farmasi ini menyebabkan utang mereka semakin membesar.
Sebagai tanggapan, Menteri BUMN Erick Thohir membentuk satuan tugas (task force) untuk merestrukturisasi dan memulihkan BUMN Farmasi yang bermasalah. Masalah keuangan ini terutama menimpa PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF), PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF), dan anak usaha INAF, PT Indofarma Global Medika (IGM).
Situasi BUMN Farmasi ini bahkan sempat dibahas dalam rapat bersama DPR. Para legislator mengkritik keras memburuknya kondisi keuangan perusahaan farmasi BUMN tersebut, yang diduga terkait dengan fraud atau kecurangan. Lalu seperti apa sebenarnya dan seberapa buruk kondisi BUMN farmasi saat ini?
Kimia Farma
PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) mengalami peningkatan jumlah rugi bersih sepanjang tahun 2023 menjadi Rp1,48 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya yang rugi Rp190,4 miliar.
Berdasarkan laporan keuangannya, meskipun perusahaan mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp9,96 triliun sepanjang tahun 2023, naik 7,93 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp9,23 triliun, namun beban pokok penjualan meningkat 25,83 persen menjadi Rp6,86 triliun dari sebelumnya Rp5,45 triliun, yang menyebabkan rugi perusahaan semakin besar.
Akibatnya, laba bruto perusahaan turun menjadi Rp3,10 triliun dari sebelumnya Rp3,77 triliun.
Selain itu, perusahaan juga mencatatkan peningkatan beban usaha sebesar 35,4 persen menjadi Rp4,66 triliun dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp3,44 triliun.
Beban keuangan perusahaan juga naik 18,4 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp622,8 miliar. Total aset perusahaan hingga akhir Desember 2023 tercatat sebesar Rp17,58 triliun, turun dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp19,79 triliun.
Indofarma
PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF) mencatat kinerja keuangan negatif. Mengutip laporan keuangan INAF, pada tahun 2020 laba Indofarma yang dapat diatribusikan kepada entitas induk atau laba bersih senilai Rp27,58 juta. Angka tersebut ambles nyaris 100 persen dari periode tahun 2019 sebesar Rp7,96 miliar.
Kemudian, pada tahun 2021, kinerja bottom line Indofarma kembali tergerus. INAF melaporkan rugi bersih sebesar Rp37,58 miliar.
Tahun berikutnya, rugi INAF semakin besar. Rugi bersih perusahaan sebesar Rp428 miliar atau naik lebih dari 1.000 persen.
Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Shadiq Akasya mengungkapkan, sepanjang tahun 2023 emiten BUMN farmasi Indofarma (INAF) mencatat penjualan sebesar Rp524 miliar. Angka tersebut turun secara tahunan sebesar 54,2 persen dari Rp1,1 triliun pada tahun 2022.
"Kinerja Indofarma mengalami tren yang menurun dari tahun 2021 hingga tahun 2023, baik secara pendapatan maupun profitabilitas," ujarnya saat rapat dengan Komisi VI DPR RI Jakarta.
Ia memaparkan, kerugian pendapatan perseroan membengkak sepanjang tahun 2023 atau ambles 41 persen menjadi Rp605 miliar dari sebelumnya yang sebesar Rp428 miliar.
"Pendapatannya Indofarma dominasi oleh penjualan produk dalam negeri sebesar Rp501 miliar, untuk produk etikal itu khususnya di Rp311 miliar, dan adanya peningkatan pendapatan ekspor di tahun 2022 sebesar Rp22 miliar," jelasnya.
EBITDA tahun 2023 tercatat negatif sebesar Rp293 miliar atau mengalami perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya pada minus Rp361 miliar. "Hal ini sebabkan oleh penurunan beban pemasaran dan distribusi seiring dengan penurunan penjualan dan pelaksanaan efisiensi atas berbagai biaya operasional kantor," tuturnya.
Ia menambahkan, Indofarma saat ini masih dalam proses PKPU dan proses untuk legal juga masih berjalan.
Indofarma Global Medika
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengungkapkan bahwa Indofarma berawal dari Indofarma Global Medika, yang bertugas mendistribusikan produk-produk Indofarma. Ditemukan bahwa ada Rp470 miliar dana yang seharusnya masuk ke Indofarma namun tidak disetorkan oleh Indofarma Global Medika.
Indofarma Global Medika, sebagai anak usaha Indofarma, juga menjadi penyebab kerugian Indofarma. Selain dana yang tidak disetor ke INAF, IGM juga terlibat dalam kejahatan fraud dengan pinjaman online mencapai Rp1,26 miliar.
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 yang dilaporkan BPK ke DPR, Indofarma dan anak usahanya, Indofarma Global Medika, melakukan berbagai aktivitas yang berindikasi fraud atau kecurangan.
"Ketika ditanya kepada Indofarma Global Medika apakah tagihan tersebut sudah ditagih ke pihak ketiga, ternyata sudah ditagih semua oleh Indofarma Global Medika," kata Arya. "Tagihannya sudah masuk tapi tidak disetorkan ke Indofarma. Di situ lah masalah utamanya," imbuhnya.
Hal ini mengganggu keuangan Indofarma sehingga sulit membayar gaji karyawan. Akibatnya, sejak tahun lalu, gaji karyawan Indofarma ditanggung oleh induk perusahaannya, Biofarma. Namun, Biofarma mulai membatasi pembayaran gaji karyawan Indofarma karena dana yang disalurkan sudah mencapai ratusan miliar.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi pidana dalam laporan keuangan PT Indofarma Tbk dan anak perusahaannya yang merugikan negara Rp371,83 miliar. Hal ini terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigatif atas pengelolaan keuangan Indofarma, anak perusahaan, dan instansi terkait lainnya dari 2020 hingga 2023. Laporan tersebut telah diserahkan kepada Jaksa Agung di Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin (20/5).
Keuangan BUMN Farmasi ini sangat buruk, hingga tidak mampu membayar gaji karyawan. Direktur Utama Indofarma, Yeliandriani, mengakui bahwa gaji karyawan tidak dibayar per Maret 2024. (*)