KABARBURSA.COM - Pasar saham dan mata uang emerging market Asia kompak melemah menjelang penutupan perdagangan Jumat 17 Oktober 2025. Sentimen risk-off kembali mencengkeram investor, dipicu kekhawatiran terhadap rapuhnya pasar kredit Amerika Serikat dan memanasnya tensi dagang antara Washington dan Beijing.
Menurut laporan Reuters, sekitar pukul 15.00 WIB, indeks saham MSCI emerging market Asia merosot 1,5 persen, menghapus reli dua sesi sebelumnya dan menuju penurunan mingguan kedua beruntun. Indeks MSCI untuk mata uang pasar berkembang turut tergelincir 0,2 persen.
“Masalah kualitas aset di pasar kredit AS memicu aksi jual tajam pada saham-saham bank regional, menekan selera risiko secara menyeluruh,” ujar Michael Wan, analis mata uang senior MUFG.
Kabar penghapusan pinjaman oleh Zions Bancorporation memperburuk kecemasan pasar kredit AS. Kekhawatiran itu datang setelah kebangkrutan dua entitas besar - pemasok suku cadang otomotif First Brands dan pemberi pinjaman subprime Tricolor - mengguncang sentimen pasar.
Wan menilai, meskipun kasus-kasus tersebut tidak bersifat sistemik, kemunculannya secara beruntun menimbulkan rasa waswas di kalangan pelaku pasar global.
Di kawasan Asia, indeks saham Singapura merosot 0,8 persen, dengan saham DBS - bank terbesar di Asia Tenggara - turun 1,2 persen. Bursa Thailand dan Malaysia ikut tertekan, masing-masing jatuh 1,3 persen dan 0,4 persen.
Pasar Taiwan tak luput dari tekanan. Indeks sahamnya anjlok 1,3 persen, sementara saham raksasa semikonduktor TSMC terperosok 2,4 persen meski mencatat laba kuartalan tertinggi dan memberi proyeksi positif.
Di Korea Selatan, indeks Kospi yang sempat menyentuh level tertinggi di awal sesi berakhir mendatar, meski masih mencatatkan kenaikan mingguan 3,8 persen.
Sementara itu, indeks saham Indonesia tumbang 2,2 persen usai data menunjukkan penurunan tajam investasi asing langsung (FDI) sebesar 8,9 persen pada kuartal III - kontraksi terdalam sejak awal 2020. Rupiah pun tak luput, melemah 0,1 persen terhadap dolar AS.
Tekanan juga dirasakan oleh mata uang regional lain. Peso Filipina dan won Korea Selatan masing-masing tergelincir 0,3 persen dan 0,4 persen.
Menambah ketegangan, China menuding Amerika Serikat menebar kepanikan terkait kebijakan ekspor mineral langka. Negeri Tirai Bambu juga mengecam pernyataan Menteri Keuangan AS Scott Bessent yang dianggap menyimpang dari jalur diplomasi dagang. Beijing menolak permintaan Gedung Putih untuk mencabut pembatasan tersebut.
Parisha Saimbi, ahli strategi valas BNP Paribas, menilai volatilitas perdagangan dolar terhadap mata uang Asia akan tetap tinggi dalam waktu dekat. Minimnya rilis data ekonomi AS akibat government shutdown, ketidakpastian hubungan AS–China, hingga kemungkinan pertemuan antara Presiden Donald Trump dan Xi Jinping di akhir bulan, disebut sebagai faktor utama.
Saimbi memperkirakan baht Thailand dan dolar Taiwan akan menjadi mata uang dengan kinerja terlemah di kawasan. Hingga sore ini, baht tercatat turun 0,5 persen, sementara dolar Taiwan bergerak mendatar.(*)