KABARBURSA.COM – Pemerintah berencana membentuk regulasi tata kelola niaga dan legalitas tanaman kratom yang dianggap memiliki nilai ekspor besar kendati mengandung senyawa narkotika.
Adapun rencana itu dibahas dalam rapat terbatas (ratas) yang dipimpin langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama jajaran menteri terkait di Istana Kepresidenan, Jakarta.
Berdasarkan dara Kementerian Perdagangan (Kemendag), Amerika Serikat (AS) menjadi negara utama tujuan ekspor tanaman kratom dengan nilai USD4,86 juta atau 66,3 persen dari total ekspor kratom asal Indonesia. Di sisi lain, tanaman kratom juga diminati negara lain, seperti Jerman dengan nilai ekspor USD0,61, India sebesar USD0,44 juta, dan Republik Ceko USD0,39.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Isntitut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Muhammad Firdaus menilai, mestinya pemerintah jeli melihat potensi ekonomi dari tanaman kratom, mengingat komoditas tersebut memiliki nilai tambah setelah memasuki tahap pengolahan.
“Seharusnya yang kita ekspor itu bukan bahan baku yang kemudian nilai tambahnya diambil oleh negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat,” kata Firdaus saat dihubungi Kabar Bursa, Sabtu, 22 Juni 2024.
Jika berdasarkan penelitian yang tengah dilakukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut bahwa kratom efektif sebagai bahan baku obat-obatan, kata Firdaus, pemerintah mestinya memberikan lisensi kepada perusahaan farmasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan budidaya dan pengolahan khusus.
Firdaus menuturkan, hal dilema ini juga sempat terjadi pada wacana melegalisasi tanaman ganja asal Aceh. Menurutnya, sangat disayangkan jika Indonesia hanya menjadi pihak ekspor bahan baku, sementara nilai tambahnya di dapat oleh negara tujuan ekspor.
Kendati demikian, Firdaus mengakui Indonesia juga memiliki kekurangan dalam mengeksplor bidang ilmu kimia organik. Sehingga, lanjutnya, penelitian yang dilakukan tidak sampai pada tahap menentukan batas kandungan dan penggunaannya.
“Meskipun ada ITB (Institut Teknologi Bandung), IPB yang punya kimia organik dan sebagainya, tetapi mungkin berdasarkan penelitian dari teman-teman itu belum sampai membuktikan betul-betul bahwa ini kandungan, kemudian batasan penggunaan seperti apa,” jelasnya.
Meski begitu, hal ini yang mesti didukung oleh pemerintah dalam mengoptimalkan potensi yang ada. Dengan begitu, kata Firdaus, BUMN, BRIN, dan para akademisi bisa menggali potensi nilai tambah dari tanaman kratom tersebut.
“Jadi jangan dijadikan ini sebagai cara singkat untuk mendapatkan devisa,” tegasnya.
Di sisi lain, ujar Firdaus, ketika regulasi dan legalitas telah diberikan pemerintah untuk pengolahan khusus, peredaran tanaman kratom akan sulit dikontrol sebagaimana yang terjadi di Thailand ketika mengkonversi opium.
“Pengalaman Raja Thailand mengkonfersi opium menjadi pistachio itu patut ditiru, ya, tapi itu tidak mudah (mengontrolnya seperti di Thailand), karena rakyat Thailand itu sangat patuh pada Rajanya,” ungkapnya.
Wacana serupa juga pernah diusulkan pada tanaman ganja di Aceh yang hendak dikonversi dengan komoditas tanaman yang bernilai tinggi kendati gagal dilaksanakan. “Karena ini adalah endosgenous knowledge seperti kratom yang ada di Kalimantan, ya, nggak apa-apa dia berkembang di situ, karena masyarakat setempat tau batasan penggunaan yang efektif yang memang tidak merusak Kesehatan,” tutupnya.
Daun kratom diketahui memiliki kandungan aktif yaitu alkaloid mitragynine dan 7-hydroxymitragynine. Kedua bahan aktif ini memiliki efek sebagai obat analgesik atau pereda rasa sakit. Senyawa aktif mitragynine yang terkandung dalam kratom ini yang berpotensi menimbulkan kecanduan layaknya mengonsumsi narkotika.
Efek yang dirasakan dari konsumsi kratom adalah perasaan relaks dan nyaman, serta euforia berlebihan jika kratom digunakan dengan dosis tinggi. Kratom banyak tumbuh di Kalimantan. Daun kratom biasanya digunakan untuk teh atau diolah menjadi suplemen, yang bermanfaat untuk membantu mengurangi rasa nyeri, meningkatkan kesehatan kulit dan menaikkan libido.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan, akan ada batasan dalam pemanfaatan dan penggunaan tanaman kratom sebagai obat di dalam negeri. “Dalam negerinya, tentu akan ada batasan-batasan yang akan diatur,” ungkap Airlangga beberapa waktu lalu.
Batasan Pemanfaatan
Airlangga menyebut, aturan batasan pemanfaatan dan penggunaan kratom akan diatur oleh Kementerian Kesehatan bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sementara itu, aturan mengenai tata niaga tanaman kratom akan diatur oleh Kementerian Perdagangan.
“Jadi, ini akan digunakan sebagai bahan baku obat dan aturan untuk ekspornya akan diatur dalam tata niaga,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menyampaikan Kementeri Perdagangan sedang merancang aturan tata niaga untuk tanaman kratom guna memberikan kepastian kepada seluruh pemangku kepentingan.
Menyinggung status tanaman kratom yang termasuk dalam kategori narkotika yang ditetapkan Badan Narkotika Nasioan (BNN), Moeldoko menyebut pemerintah telah meminta BRIN untuk melakukan pengkajian lanjutan.
“Kita ingin memastikan dengan jelas mengenai kondisi kratom. Masih ada perbedaan pendapat. Oleh karena itu, saya meminta BRIN untuk melakukan penelitian. Hasil penelitian tersebut akan menunjukkan bahwa memang terdapat kandungan narkotika, namun dalam jumlah tertentu. Saya juga meminta untuk menentukan seberapa besar jumlahnya yang dapat membahayakan kesehatan,” ujarnya. (and/prm)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.