KABARBURSA.COM - Meskipun kemampuan daya beli mengalami penurunan, keyakinan masyarakat terhadap perekonomian Indonesia dinilai masih sangat baik.
Direktur of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengatakan Indeks Keyakinan Konsumen (Consumer Confidence Index) masih terjaga di atas level 100, meskipun pada bulan Juni terjadi penurunan dari 127,7 menjadi 125,2.
Berdasarkan itu, lanjut Nico, masyarakat masih menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap perekonomian Indonesia.
"Kami melihat meskipun daya beli dan konsumsi mengalami penurunan, keyakinan masyarakat terhadap perekonomian masih sangat baik," kata Nico kepada Kabar Bursa, Kamis, 4 Juli 2024.
Namun, dari hasil pengamatannya, penurunan daya beli karenamasyarakat cenderung lebih memilih banyak menabung daripada menghabiskan uangnya membeli sesuatu.
Menurutnya, daya beli dan konsumsi dipastikan menurun di tengah suku bunga yang tinggi. "Selama tingkat suku bunga tinggi, daya beli dan konsumsi pasti akan mengalami penurunan dan uangnya lebih banyak disimpan dalam bentuk tabungan," ungkapnya.
Lebih lanjut, Nico menjelaskan bahwa tingginya suku bunga bertujuan untuk menurunkan inflasi. Namun, inflasi di Indonesia saat ini sudah cukup rendah, sehingga ada kekhawatiran bahwa daya beli masyarakat akan terus berkurang.
"Masalahnya di Indonesia, inflasi kita sudah cukup rendah, sehingga jangan sampai daya beli dan konsumsi semakin jauh berkurang," tuturnya.
Meski demikian, Nico memperkirakan daya beli akan kembali menggeliat pada kuartal tiga dan kuartal empat tahun ini, terutama karena adanya kegiatan pelantikan presiden dan pemilihan kepala daerah (Pilkada). "Untuk kuartal tiga dan empat, diharapkan dengan penyelenggaraan pelantikan presiden terpilih dan pilkada, hal ini mampu meningkatkan daya beli dan konsumsi nanti," pungkasnya.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS)
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa deflasi telah terjadi selama dua bulan berturut-turut pada Mei dan Juni 2024.
Deflasi secara bulanan atau month to month (mtm) pada Mei sebesar 0,03 persen, sedangkan pada Juni mencapai 0,08 persen.
Secara tahunan, Indeks Harga Konsumen (IHK) umum turun menjadi 2,51 persen year on year (yoy) pada Juni 2024 dari 2,84 persen yoy pada Mei 2024. Inflasi tahun kalender (year to date/ytd) untuk semester pertama tahun 2024 tercatat 1,07 persen, lebih rendah dari inflasi ytd 1,37 persen yang tercatat pada semester pertama 2023.
Deflasi bulanan pada kelompok harga bergejolak tercatat 0,98 persen mom pada Juni 2024 dari deflasi 0,69 persen mom pada Mei 2024, didorong oleh penurunan harga pada sebagian besar komoditas makanan.
Komoditas pangan seperti bawang merah, tomat, dan daging ayam ras berkontribusi besar terhadap deflasi ini, disebabkan oleh normalisasi harga setelah musim panen.
Namun, beberapa komoditas seperti cabai merah dan cabai rawit masih mencatatkan inflasi karena pola tanam dan masa tanam yang lebih panjang serta meningkatnya permintaan menjelang perayaan Iduladha.
Secara tahunan, inflasi harga bergejolak melambat menjadi 5,96 persen yoy pada Juni 2024 dari 8,14 persen yoy pada Mei 2024. Komponen inflasi harga diatur pemerintah mengalami kenaikan setelah mengalami deflasi pada periode sebelumnya. Inflasi harga diatur pemerintah secara bulanan naik 0,12 persen mom pada Juni 2024, menyusul deflasi 0,13 persen mom pada Mei 2024.
Angkutan udara memberikan andil terbesar terhadap inflasi harga diatur pemerintah bulanan, terutama karena adanya liburan sekolah dan perayaan Iduladha. Harga energi relatif stabil pada bulan Juni 2024.
Secara tahunan, inflasi harga diatur pemerintah meningkat menjadi 1,68 persen yoy dari 1,52 persen yoy pada Mei 2024.
Inflasi inti bulanan melambat menjadi 0,10 persen mom pada Juni 2024 dari 0,18 persen mom pada Mei 2024. Secara tahunan, inflasi inti menurun menjadi 1,90 persen yoy dari 1,93 persen yoy pada Mei 2024.
Perhiasan emas menjadi kontributor utama inflasi IHK inti, menambah 0,01 persen terhadap inflasi umum, namun kontribusinya lebih rendah dibandingkan dengan Mei 2024 sebesar 0,05 persen. Penurunan harga emas global pada bulan Juni 2024 sedikit mengurangi inflasi terkait harga emas.
Akibat Deflasi Daya Beli Masyarakat bisa Turun
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), indeks harga konsumen (IHK) menunjukkan penurunan atau deflasi pada Juni 2024, melanjutkan tren deflasi dari bulan sebelumnya.
Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Utama BPS Imam Machdi melaporkan bahwa pada Juni 2024 terjadi deflasi sebesar 0,08 persen secara bulanan (month to month/mtm). Angka ini lebih tinggi dibandingkan deflasi bulan Mei yang tercatat sebesar 0,03 persen.
"Deflasi pada Juni 2024 lebih dalam dibandingkan Mei 2024, dan ini adalah deflasi kedua yang terjadi pada tahun 2024," ujar Imam Machdi dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Senin, 1 Juli 2024.
Jika dilihat dari komponennya, penurunan harga terutama disebabkan oleh komponen komoditas pangan yang bergejolak. Komponen ini menyumbang deflasi sebesar 0,98 persen pada Juni, lebih tinggi dari kontribusi deflasi sebesar 0,69 persen pada bulan Mei.
Komponen harga yang bergejolak sering kali dikaitkan dengan daya beli masyarakat, karena pergerakan indeks pada komponen ini dipicu oleh permintaan masyarakat. Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah, menegaskan hal ini.
"Deflasi dua bulan berturut-turut disebabkan oleh komoditas pangan yang bergejolak," ujar Habibullah.
"Komoditas ini cenderung berfluktuasi karena dipengaruhi oleh sisi penawaran," tambahnya.
Namun, Habibullah menjelaskan bahwa deflasi pada komponen harga bergejolak tidak selalu menunjukkan pelemahan daya beli. Fluktuasi harga ini juga dipengaruhi oleh pasokan, seperti saat panen yang menyebabkan harga turun.
"Dari sisi penawaran, panen mendorong harga turun," katanya.
Lebih lanjut, Habibullah mengatakan bahwa untuk melihat daya beli masyarakat secara lebih akurat, perlu dilihat laju IHK secara tahunan (year on year/yoy), yang menghilangkan faktor musiman.
Pada Juni lalu, inflasi tahunan tercatat sebesar 2,51 persen, turun dari 2,84 persen pada bulan sebelumnya.
Ia juga menyebutkan bahwa untuk mengidentifikasi penurunan daya beli masyarakat, dapat dilihat dari data pergerakan masyarakat selama masa liburan. Data ini membantu mengukur kemampuan masyarakat untuk mengeluarkan dana untuk kebutuhan tersier seperti perjalanan wisata.
"Diperlukan analisis lebih mendalam untuk mengetahui penurunan daya beli masyarakat," ujar Habibullah. (yog/*)