KABARBURSA.COM - Penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dinilai memudahkan dalam bertransaksi. Lalu, bagaimana masyarakat menilai terkait kemanan data pribadi dalam pemakaian teknologi ini?
Riyan, tidak khawatir dalam menggunakan QRIS. Ia sangat yakin jika kemanan data pribadinya bisa terjaga.
"Karena kan saya konsumen jadi secara transaksi lebih aman. Beda lagi kalau saya penjual, mungkin saya khawatir ya karena takut ada yang iseng," ujarnya kepada Kabar Bursa, Kamis 23 Mei 2024.
Menurut Riyan sejak menggunakan QRIS setahun belakangan ini, ia mendapat banyak manfaat positif. Seperti pemakaian yang mudah dan simple.
"Cara pemakaian mudah, simpel, engga ribet, terus ga harus bawa dompet karena kemana-mana, bisa transaksi lewat handphone," ujarnya.
Meski begitu, bapak satu anak ini melihat masih ada beberapa kendala saat menggunakan QRIS. Misal, tidak adanya sinyal saat ingin melakukan pembayaran.
"Masih banyak toko-toko atau warung yang masih belum bisa menggunakan QRIS, terus lebih boros, suka gangguan pada sinyal handphone, jadi transaksi terganggu," ucapnya.
Pengguna QRIS lainnya, Adan, juga berbagi pengalaman tentang pemakaian sitem pembayaran ini. Sama seperti Riyan, Adan mengaku tidak khawatir dengan keamanan datanya.
.
"Enggak khawatir sih selama kita sendiri yang pakai, terus ga dipakai untuk macam-macam," ungkapnya.
Pria yang berprofesi sebagai design grafis itu kemudian membeberkan terkait manfaat penggunaan QRIS. Menurut dia, sistem pembayaran ini memudahkannya bertransaksi.
"Positifnya bisa bayar apapun dengan cepat dan gak perlu repot repot buat nyiapin uang cash cuma tinggal scan masukin pin langsung bayar," katanya.
Kendati begitu, Adan merasa masih ada biaya tambahan ketika melakukan pembayaran melalui QRIS. Ia berpandangan, seharusnya biaya tambahan itu dihapuskan.
"Terkadang ada biaya tambahan yang dibebankan ke kita yang bayar pakai QRIS, kan kalau emang udah standar Indonesia, seharusnya sudah tidak ada biaya tambahan," cerita dia.
Masyarakat Indonesia perlahan-lahan mulai meninggalkan penggunaan kartu ATM atau debit perbankan. Kondisi ini terlihat dari penurunan jumlah transaksi dari tahun ke tahun (year on year/yoy).
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bahwa pada April 2024 jumlah transaksi menggunakan kartu ATM mencapai Rp619,19 triliun. Jumlah ini tercatat turun sebesar 12,49 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Nominal transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM atau debit turun sebesar 12,49 persen yoy mencapai Rp619,19 triliun,” kata Perry,” kata Perry Warjiyo dalam acara konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta pada Rabu, 22 Mei 2024.
Di sisi lain, jumlah transaksi bank digital mencapai Rp5.340,92 triliun. Jumlah ini mengalami peningkatan signifikan sebesar 19,08 perssn dibandingkan tahun sebelumnya.
Selain itu, transaksi menggunakan uang elektronik juga mengalami peningkatan yang signifikan. Pada April 2024, nominal transaksi menggunakan uang elektronik mencapai Rp90,44 triliun, naik 33,99 persen yoy. Sedangkan nominal transaksi QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) tumbuh luar biasa sebesar 194,06 persen yoy, dengan jumlah pengguna mencapai 48,90 juta dan jumlah merchant mencapai 31,86 juta.
Menurut Perry, Kenaikan ini mencerminkan pergeseran perilaku konsumen yang semakin nyaman dan terbiasa dengan transaksi digital.
Ancaman Kebocoran Data
Kebocoran data masih menjadi ancaman serius yang dapat merugikan individu dan perusahaan di Indonesia sehingga menunjukkan perlunya langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif dan maksimal, salah satunya penerapan Undang Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Fenomena kebocoran data semakin sering terjadi seiring meningkatnya penggunaan teknologi dan internet dalam berbagai aspek kehidupan. Muncul tantangan yang begitu kompleks dalam mengelola data,” kata CEO PT Equnix Business Solutions Julyanto Sutandang dalam keterangan di Jakarta.
Saat peluncuran Fitur ESE 11DB/PostgresTM dia mengatakan, setidaknya ada lima hal penyebab kebocoran data itu Internal fraud, rendahnya kesadaran keamanan TI, akses yang tidak legal, Malware (virus, trojan, ransomware), dan pelanggaran perjanjian kerahasiaan.
UU PDP telah disahkan pada 17 Oktober 202., Hal tersebut merupakan wujud komitmen negara dalam menjaga hak privasi dan keamanan informasi setiap individu. Namun, aturan pelaksanaannya belum diterbitkan sehingga salah satu tantangan utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah penyelesaian turunan dari UU tersebut.
Meski sudah disahkan dan harusnya langsung berlaku, UU PDP masih menyediakan masa transisi. Pasal 74 UU PDP menyatakan bahwa perusahaan atau lembaga memiliki masa transisi selama dua tahun sejak UU PDP ini diundangkan (2022-2024), artinya tenggat waktu masa transisi ini tinggal 4 bulan lagi. Jadi perusahaan atau lembaga perlu memastikan bahwa seluruh pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UU PDP.
Mengutip data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada Juli 2023 ada beberapa dugaan kebocoran data pribadi dari entitas swasta, termasuk data 34 juta penduduk Indonesia yang terkait dengan paspor.